Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, industri perkapalan kita belum mampu memasok kebutuhan nasional. Kita masih membeli banyak kapal laut angkut penumpang dan militer dari luar. Bahkan untuk menggantikan kapal layar latih Dewaruci pun kita memesannya dari suatu perusahaan galangan kapal di Spanyol. Barang-barang yang kita ekspor masih didominasi oleh hasil bumi mentah, yang walau jumlahnya besar nilai tambahnya kecil.
Â
Memang di era SBY program modernisasi alutsista TNI sempat menaikkan pamor PT Pindad yang berhasil membuat produk unggulan seperti panser Anoa. Tapi di sektor-sektor lain seperti transportasi, energi, dan telekomunikasi kita lebih banyak membeli, mengimpor, atau merakit produk-produk buatan luar ketimbang mengembangkan dan memproduksinya sendiri.
Â
Prestasi Indonesia di bidang teknologi kurang lebih tercermin oleh indeks pencapaian teknologi (Technology Achievement Index) Program Pembangunan PBB (UNDP). Indeks ini dikembangkan untuk mengukur hasil karya-karya dan pemakaian teknologi suatu negara, terutama untuk pembangunan manusianya. Di tahun 2013, indeks pencapaian teknologi Indonesia (yang diukur antara lain berdasarkan jumlah hak paten, lisensi, dan royalti per kapita; pengguna internet; jumlah telepon dan listrik terpasang; dan tingkat keahlian dan keterampilan warga negara) berada di peringkat ke-60 dari 72 negara.
Â
Di bidang sains kita juga tidak menggema di dunia. Jumlah artikel-artikel ilmiah di jurnal-jurnal iptek prestisius yang ditulis oleh orang Indonesia atau oleh ilmuwan yang tinggal di Indonesia mungkin bisa dihitung dengan jari per tahunnya. Untuk bidang yang ramai jumlah penelitinya pun seperti ilmu politik, karya para ilmuwan kita tidak banyak diketahui ilmuwan-ilmuwan luar karena kebanyakan ditulis dalam Bahasa Indonesia.
Â
Kenapa kondisi iptek Indonesia setelah 20 tahun "bangkit" tetap terpuruk? Salah satu masalah utamanya adalah karena tradisi ilmiah bangsa Indonesia rendah. Kita memang punya banyak doktor di beragam ilmu pengetahuan, tetapi hasil karya ilmiah mereka di kancah ilmu pengetahuan dunia minim. Kebanyakan lulusan S3 ini terserap bekerja menjadi birokrat yang disibukkan oleh banyak tugas non-ilmiah baik di lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Sehingga produksi karya ilmiah mereka biasanya berhenti di disertasi yang dihasilkan. Jumlah perguruan tinggi Indonesia cukup banyak, tetapi strukturnya yang condong kaku dan tertutup kurang mampu mencetak sarjana-sarjana yang cakap memproduksi ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang baru.
Â
Bagaimana caranya supaya bangsa Indonesia benar-benar dapat bangkit dari tidurnya dan mengembangkan tradisi ilmiah yang baik untuk menghasilkan produk-produk intelektual yang handal? Menelaah dari karya-karya sejarah sains dan teknologi serta pengalaman pribadi saya tinggal, kuliah dan bekerja selama dua puluh tahun lebih di Amerika Serikat, ada tiga cara yang bisa kita terapkan.