Soal yang lebih mendalam dan serius adalah krisis etika sosial. Khalayak kita kurang percaya, lembaga negara bekerja untuk mengabdi kepada kepentingan umum bangsa ini. Banyak yang curiga, peningkatan fasilitas kantor tidak akan meningkatkan pelayanan kepada kepentingan umum. Jadi bukan soal berapa harga kolam rengan di Bekasi, rumah Gubernur Jawa Tengah, atau mobil dinas di Sulawesi Selatan yang penting. Tetapi untuk  (si)apa harga itu dibayar?
Bagaimana semua itu berhubungan dengan banjir di Jakarta? Di Ibu Kota ini banyak orang mahakaya, tetapi mereka hanya dapat menikmati enaknya jadi orang kaya sebatas kehidupan pribadi. Hidup superwemah di rumah sendiri. Mulai dari halaman depan yang dibentengi pagar kekar hingga kamar tidur yang paling tersembunyi. Belasan pembantu dan puluhan binatang peliharaan di rumah itu hidup lebih makmur daripada rata-rata pegawai negeri.
Tetapi satu meter keluar dari rumah mereka, aspal jalan rusak berat. Sampah tersebar. Selokan buntu. Itulah wajah dan wilayah publik Jakarta. Di luar dunia pribadi, tak ada yang peduli. Juga miliarder yang melewati jalan itu setiap hari.
Keluar rumah, mereka naik mobil pribadi. Dalam mobil mereka menikmati AC sejuk, parfum harum, musik anggun, dan telepon canggih. Di luar badan mobil itu terhampar dunia publik yang seakan-akan berada di planet lain. Jalanan berlubang, berdebu, dan tergenang banjir. Udara cemar dan bisingnya minta ampun. Dalam mobil mereka bicara romantis dengan pacar dan santun dengan sahabat. Di luar mobil, mereka sadis saling serobot jalur dengan mobil lain. Dalam mobil tak ada ampun bagi abu rokok. Keluar mobil mereka membuang sembarangan sampah ke jalanan.
Sehari-hari mereka berada di kantor kerja pribadi. Letaknya di pusat Ibu Kota yang paling mahal. Tetapi begitu keluar gedung kantor, mereka berhadapan dengan dunia publik yang dekil. Persis di depan kantor mewah itu, trotoar rusak berat. Di situ pengemis dan gelandangan tiduran. Ada telepon umum tidak bekerja. Halte bus amburadul. Sampah berserakan. Kabel telepon, kabel listrik, papan iklan bersaing kesemrawutan.
Kesenjangan Indonesia bukan sekedar antara kaya/miskin, kota/desa, Indonesia Timur/Barat, tetapi juga antara wilayah kehidupan publik dan privat yang terpisah hanya beberapa meter. Antara surga bagi kepentingan pribadi, dan neraka bagi kepentingan bersama.
Di pusat huni orang-orang metropolitan terkaya di Indonesia, bisa terjadi banjir dengan wajah dan sebab yang sangat kampungan. Yang terkena akibatnya bukan hanya orang miskin, atau hanya orang kaya. Yang cerewet mengecam pembangunan rumah dinas, mobil dinas atau kolam renang mewah bukan warga bangsa yang paling miskin tapi kelas menengah kota yang terdidik. Ini soal kebingungan etika sosial, bukan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H