Mohon tunggu...
Moyang Raafi W
Moyang Raafi W Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Raden Mas Said Surakarta yang sedang mengejar cita-cita .

Suka berpetualang!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Skripsi "Korelasi Pembolehan Kawin Gantung Dalam Putusan Muktamar Nahdatul Ulama' Ke-32 Di Makassar Dengan Realitas Sosial"

2 Juni 2024   00:02 Diperbarui: 2 Juni 2024   00:07 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

REVIEW SKRIPSI

KORELASI PEMBOLEHAN KAWIN GANTUNG DALAM PUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE - 32 DI MAKASSAR 2010 DENGAN REALITAS SOSIAL 

 

Karya : SHEVIA PRIANA ALBERTY

 

  • PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mengikat keduanya untuk senantiasa berbagi rasa baik suka maupun duka. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa ketentuann atau peraturan yang mengatur khusus perihal perkawinan ini, seperti pada UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 16 Tahun 2019 dan KHI. Di samping penting bahwa sebuah ikatan perkawinan harus sah menurut agama maka begitu pula sama kedudukan atau urgensi sebuah perkawinan harus sah menurut UU atau hukum nasional. Dalam hal ini, urgensi bahwa perkawinan harus sah sesuai hukum nasional adalah untuk melindungi keduanya dari akibat adanya suatu hukum baru (perkawinan) yang dipandang oleh negara sebagai sebuah perjanjian antar individu yang masuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata.

System hukum nasional Indonesia disamping berkiblat pada system hukum common law, tentunya juga mengakomodasi hukum adat kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat untuk masuk dalam system hukum nasional. Banyak hukum adat kebiasaan yang telah di akomodasi oleh system hukum nasional Indonesia saat ini walaupun tidak secara signifikan terpampang secara eksplisit eksistensinya. Sebut saja seperti kawin gantung. Kawin gantung sendiri merupakan sebuah budaya atau adat kebiasaan masyarakat yang dilaksanakan oleh pasangan suami istri yang telah kawin secara sah menurut agama namun setelah perkawinan pasangan tersebut tidak tinggal satu atap dalam waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak.

Perkawinan gantung sendiri menyebabkan belum timbulnya hak dan kewajiban secara penuh antara suami dan juga istri, pemberian nafkah suami terhadap istri juga dapat diringankan dalam praktiknya. Dalam Majelis Muktamar NU ke -- 32 Bahtsul Masail Diniyah Waqi'yah di Makassar, Sulawesi Selatan pada 25 Maret 2010 praktik kawin gantung disahkan. Menurut keputusan Muktamar NU ke-32 kawin gantung hukumnya sah apabila ijab kabul dilakukan oleh wali mujbir serta memenuhi syarat dan rukun nikah lainnya.

  • ALASAN MEMILIH JUDUL SKRIPSI (REVIEW)

Penelitian tentang kawin gantung yang merupakan sebuah adat kebiasaan masyarakat yang kemudian dihubungkan dengan hukum nasional dan akhirnya bermuara pada realitas social sangat menarik untuk dikulas. Maksudnya adalah bagaimana cara respon masyarakat terhadap hasil Majelis Muktamar NU ke -- 32 mengenai pembolehan kawin gantung yang secara gamblang jelas -- jelas bertentangan dengan UU perkawinan yang berlaku di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa NU adalah ormas Islam dengan pengikut terbanyak di Indonesia tentunya memiliki dampak signifikan pada anggotanya terhadap setiap keputusan yang telah dibuat. Dalam hal ini dapat menjadi pertanyaan, bagaimanakah respon masyarakat luas? Apakah akan lebih memilih untuk tunduk patuh dan menggunakan UU nasional atau justru malah memilih menggunakan keputusan Majelis Muktamar NU ke -- 32 perihal praktik kawin gantung?

  • PEMBAHASAN
  • BAB I

Dalam permulaan penelitian ini tentunya terdapat bab I yang membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, kerangka teori, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Diawali dengan pengertian perkawinan dalam perspektif fikih Islam yang memiliki hukum beragam. Mulai dari wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, bergantung pada konteks perkawinan dan keadaan adan tidaknya manfaat suatu perkawinan. Kemudian penjelasan keanekaragaman adat kebiasaan di Indonesia yang mana salah satunya termasuk kawin gantung. Dalam hal ini pengertian kawin gantung sendiri adalah perkawinan yang dimaksudkan menggantung (mengikat) calon pasangan agar dewasa kelak tidak menikah dengan orang lain. Karena usia yang masih terlalu muda untuk membina rumah tangga, pasangan kawing gantung harus menunggu sampai cukup matang fisik dan psikisnya agar kuat menghadapi badai dalam bahtera rumah tangga.

Proses kawin gantung dilakukan melalui perjodohan anak yang masih dibawah umur 15 tahun. Anak -- anak pada usia tersebut memiliki kecenderungan untuk menuruti perkataan orang tuanya untuk segera menikah dengan alasan agar anak tersebut memiliki jodoh yang sesuai dengan keinginan orang tuanya. Banyak faktor yang menjadi sebab adanya praktik tersebut, diantaranya adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor perjodohan, faktor pergaulan bebas dan lain sebagainya.

Perkawinan anak dapat menimbulkan beberapa dampak negative, yaitu perkawinan seseorang yang belum dewasa sepenuhnya dikhawatirkan ia belum bisa menerima dan menjalankan kehidupan bahtera rumah tangga dengan baik dimasa depan sehingga akan berimplikasi pada tren perceraian dan masalah keharmonisan keluarga di masa mendatang. Namun selain dampak negative tersebut, kawin gantung juga memiliki dampak positif karena bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi pergaulan bebas yaitu menghindarkan calon pasangan laki-laki dan perempuan dari perbuatan zina. Kawin gantung dapat mencegah terjadinya hamil diluar nikah dan hal lain yang dilarang oleh agama. Hal tersebut juga diperkuat dengan keputusan Majelis Muktamar NU ke -- 32 yang salah satu putusannya adalah membolehkan praktik kawin gantung.

Nahdatul Ulama' (NU) adalah ormas Islam yang memiliki peran dan pengaruh signifikan di Indonesia dalam menyelesaikan berbagai problematika keagamaan, termasuk dalam hal ini adalah keputusan mengenai pembolehan kawin gantung dari Majelis Muktamar NU ke -- 32 yang dipandang sah selama ijab qobul dilakukan oleh wali mujbir serta memenuhi syarat dan rukun nikah.

            Dalam skripsi ini peneliti menggunakan kerangka teori usia perkawinan untuk dapat melihat dan mencerna berbagai manfaat dan dampak negative yang muncul jika usia perkawinan dipandang belum memenuhi. Kemudian peneliti juga menggunakan kerangka teori perlindungan anak dibawah umur untuk mengetahui dampak daripada pelaku praktik kawin gantung ini, seperti hilangnya akses terhadap hak kesehatan reproduksi dan seksual, hak pendidikan, hak atas penghidupan yang layak, hak bebas dari kekerasan dan lain sebagainya.

            Penulisan skripsi ini menggunakan beberapa kajian pustaka yang mendukung topic pembahasan untuk menganalisis problematika yang dibahas agar mencapai titik temu pemahaman yang sesuai fakta data dilapangan sehingga dapat dipertanggungjawabkan dikemudian hari. Beberapa kajian pustaka yang digunakan peneliti adalah Skripsi Mubarok dengan judul "Analisis Keputusan Muktamar NU Ke-32 tentang Batas Minimal Usia Menikah"; Skripsi Maurizka Chairani Agza dengan judul "Praktik Kawin Gantung di Desa Ciapaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler Kabupaten Tangerang"; Skripsi Johansyah dengan judul Praktik "Kawin Gantung" (Studi Kasus Etnik Madura di Desa Baliangin Kecamatan Sambung Makmur Kabupaten Banjar), Skripsi Mohamad Hazwan dengan judul "Tradisi Nikah Gantung di Kalangan Mahasiswa Negeri Pulau Pinang Ditinjau dari Fikih syafi'i dan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Pulau Pinang) Tahun 2004; Skripsi Ali Rahmatillah dengan judul "Praktik Kawin Gantung pada Mayarakat Muslim di Desa Cikawung Kecamatan Pancatengah Kabupatn Tasikmalaya" UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2021; Artikel Tatik Hidayati & Ah Mutam Muchtar dengan judul "Kawin Anak dan Child Abuse dalam Pandangan Pendidikan Islam"; dan Artikel Ila Hidatilaha & Zein Bastian dengan judul Tradisi Kawin Gantung di Jawa Barat dalam Perspektif Perlindungan Hak Anak di Bawah Umur, fakultas hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2021.

            Penelitian ini menggunakn metode kualitatif yang mana fokusnya adalah penelitian fenomena atau kejadian. Untuk mendukung metode kualitatif ini peneliti menggunakan sumber data primer yang diperoleh dari proses wawancara narasumber dan dokumentasi serta menggunakan data sekunder untuk memperkuat analisis penelitian.

  • BAB II (PEMBAHASAN)
  • Konsep Kawin Gantung

Perkawinan gantung adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan yang masih kecil yang mana sebelumnya telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya dan kemudian dikawinkan walaupun usianya masih sangat muda dan belum cocok untuk membina bahtera rumah tangga. Proses kawin gantung  diawali dengan prosesi lamaran terhadap anak gadis yang masih dibawah umur. Dalam praktik kawin gantung sendiri biasanya umur seorang gadis yang dilamar berkisar 12 tahun atau lulus Sekolah Dasar (SD). Ketika lamaran tersebut diterima maka orang tua dari gadis tersebut dilarang untuk menerima lamaran orang lain, baru setelah keduanya menginjak usia akil baligh maka keduanya dinikahkan kembali. Kawin gantung adalah perkawinan yang tidak atau belum diresmikan dengan perayaan dan pasangan pengantin yang melakukan kawin gantung tidak akan tinggal satu atap selama waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Hukum Islam mengatur agar pernikahan dilaksanakan dengan akad dan perikatan hukum pihak -- pihak terkait dengan disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Hematnya dapat ditarik pengertian bahwa pernikahan menurut hukum Islam adalah "suatu akad perikatan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup kelurga yang diliputi dengan rasa kasih saying, ketentraman dan keberkahan oleh Allah SWT."

Menurut Imam Syafi'I, kawin (nikah) ialah akad yang dengan adanya akad tersebut maka menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Menurut Imam Hambali, nikah ialah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual seorang pria dan wanita. Menurut Imam Malik, nikah ialah akad yang mengandung ketentuan hukum yang semata -- mata untuk membolehkan adanya hubungan seksual, bersenang -- senang atas satu sama lain dan menikmati apa-apa yang ada pada diri wanita yang telah dinikahi. Menurut Imam Hanafi, nikah ialah akad dengan menggunakan lafaz nikah untuk membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita yang dinikahi.

Dari definisi diatas terkandung pengertian bahwa perkawinan atau pernikahan adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syara' bahwa dengannya seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya yang mana semula sebelum adanya aka dhal tersebut dilarang.

  • Usia Kawin Gantung

Perkawinan dengan cara kawin gantung bilamana dilihat dari sudut pandang batas usia minimal seseorang untuk melakukan perkawinan maka tidak linear dengan ketetapan peraturan  Undang-Undang Perkawinan mengenai batasan minimal usia menikah yakni baik bagi pria maupun wanita minimal berusia 19 tahun sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang usia perkawinan. Proses kawin gantung yang terlebih dahulu dilaksanakan melalui cara perjodohan terhadap anak-anak yang masih berusia belia berusia (SD) menyebabkan anak-anak tidak memiliki daya kuasa untuk menyatakan kehendak dan pendapatnya secara bebas dalam hal mengambil keputusan menjalankan pernikahan dan cenderung tunduk patuh pada keputusan orang tuanya untuk segera menikah sehingga dengan terpaksa anak-anak tersebut menerima perjodohan yang dikehendaki oleh orangtuanya.

  • Faktor Penyebab Kawin Gantung

Banyak faktor yang menjadi alasan seseorang melakukan praktik kawin gantung, diantaranya adalah :

  • Menghindari zina
  • Memperbaiki garis keterunan
  • Adat istiadat

 

  • Fenomena Kawin Gantung

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali Rahmatilah, daerah di Jawa Barat yang sampai saat ini masih mempertahankan praktik tradisi kawin gantung salah satunya adalah Desa Cikawung, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya. Salah satu kasus yang menyita perhatian masyarakat luas adalah kasus yang terjadi pada seorang anak gadis bernama Hilda Fauziah yang berasal dari Kampung Cijambu, Desa Cikawung, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya yang lebih memilih untuk melarikan diri karena tidak dapat menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya sejak kecil atau kawin gantung dengan seorang pemuda satu kampung.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya, masih terdapat praktik tradisi kawin gantung pada sebagian masyarakat Kampung Cijambu, Desa Cikawung Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya yang menikahkan anak perempuannya di usia sekitar 13 tahun dengan terlebih dahulu dilakukan kawin gantung. Anak gadis tersebut sejak Sekolah Dasar (SD) sudah di datangi dan dilamar oleh orang tua lelaki. Karena sudah "dicirian", anak gadis tersebut tidak lagi bebas memilih dan berhubungan dengan lelaki lainnya. Tradisi lainnya di kampung tersebut adalah pernikahan harus dilakukan sesama warga satu Kampung Cijambu, tidak boleh dengan daerah yang lain. Tradisi kawin gantung di Kampung Cijambu ini dibenarkan oleh Kepala Desa Cikawung bernama Asep Sambas yang menyatakan bahwa di Kampung Cijambu sejak lama terjadi tradisi kawin gantung, "namun bukan perjodohan akan tetapi hasil kesepakatan anak kedua belah pihak".

  • Manfaat Kawin Gantung

Setelah pasangan suami istri melalui kawin gantung mereka boleh bertemu, bermesra, malahan jika mereka melakukan hubungan seksual pun hingga melahirkan anak tidak akan salah dan tidak haram. Mereka tidak perlu merasa panik dengan anak yang dikandung karena anak yang dikandung tersebut adalah sah. Mereka yang telah melakukan kawin gantung adalah pasangan suami istri yang sah dari sudut pandang agama Islam. Dapat ditarik benang merah bahwa ajaran Islam itu sangatlah mudah dan mampu mengakomodasi umatnya dalam menjalani kehidupan seharian seperti adanya kawin gantung. Eksistensi praktik perkawinan dengan cara kawin gantung sampai saat ini masih dilakukan secara turun temurun di sebagian wilayah Indonesia. Menurut hukum adat dan hukum agama Islam tidak ada ketentuan yang melarang adanya praktik kawin gantung atau perkawinan dibawah usia tertentu sehingga hal ini yang menjadi salah satu faktor mengapa sebagian masyarakat tetap mempertahankan praktik tradisi kawin gantung karena dianggap sudah lumrah dilakukan sejak dahulu dan dianggap sebagai cara pernikahan yang paling sesuai dengan adat istiadat setempat.

  • Kawin Gantung dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam tidak terdapat nash atau dalil syara' yang jelas mengenai kawin gantung karena Islam sendiri tidak mengenal istilah kawin gantung. Dalam Al -- Qur'an  QS. An -- Nur : 32 disebutkan : (Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi memampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui".)

Dasar hukum yang tertera dalam QS. An -- Nur : 32 dapat digunakan sebagai pondasi dasar terhadap pemaknaan kawin gantung. Maksudnya dalam hal ini dapat digunakan sebagai tolak ukur sejauh mana praktik kawin gantung dapat diterapkan. Ditambah pula dengan penundaan tinggal satu atap dan menjalin hubungan suami istri dalam satu keluarga pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw, saat beliau menikahi Siti Aisyah.

  • Rukun dan Syarat Kawin Gantung

Rukun dan syarat kawin gantung tidaklah berbeda dengan rukun dan syarat nikah pada umumnya. Kawin gantung pada hakikatnya adalah sama seperti nikah biasa, mengikuti hukum Islam yang memiliki lima rukun dan syarat sah pernikahan seperti adanya calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi (laki-laki) dan akad pernikahan (ijab dan qabul). Disebabkan rukun nikahnya sama, justru antara kawin gantung dengan nikah yang biasa sama saja prosesnya. Dalam prinsip asal mereka adalah tetap saja suami istri. Yang membedakan hanyalah pada usia dan juga setelah akad yang mana pada kawin gantung pasangan yang telah menikah tidak akan tinggal satu atap selama masa yang telah disepakati oleh orang tua keduanya.

  • BAB III (PANDANGAN DAN ARGUMENTASI PARA TOKOH AGAMA DALAM ORGANISASI MASYARAKAT ISLAM DI KABUPATEN DEMAK MENGERNAI KOLERASI PEMBOLEHAN KAWIN GANTUNG DALAM PUTUSAN MUKTAMAR KE-32 DENGAN REALITAS SOSIAL)
  • Sekilas Keputusan Muktamar NU ke -- 32

Dalam pembahasan Muktamar NU ke -- 32 tersebut menghasilkan jawaban bahwa kawin gantung sebenarnya sah hukumnya apabila terdapat ijab qabul yang memenuhi syarat. Walaupun banyak pro kontra dalam hal ini, Islam sendiri tidak ada batas usia minimal dalam pernikahan, meskipun sebaiknya dilakukan setelah baligh mengingat beberapa pertimbangan fisik dan psikis. Begitu juga untuk bersetubuh sebaiknya menunggu sampai kuat disetubuhi.

  • Dasar Hukum yang Digunakan Dalam Keputusan Muktamar NU ke - 32 Tentang Kawin Gantung

Dalam pengambilan keputusan tentunya didasari pada beberapa petimbangan, diantaranya :

  • Sarah An-Nawawi 'la muslim Juz 9 halaman 206
  • Al-Fiqhu Al-Islami Juz 9 halaman 171
  • Pandangan Para Tokoh Agama Tentang Pembolehan Kawin Gantung Dalam Putusan Muktamar Ke-32

Dalam hal ini peneliti mengambil sampel dari tiga ormas Islam yang diakui di Indonesia, yaitu NU, Muhammadiyah dan LDII. Dari ketiga sampel wawancara narasumber tersebut dapat diambil kesimpulan singkat bahwa hanya tokoh NU yang sependapat dengan keputusan Muktamar NU ke -- 32 mengenai kawin gantung sedangkan tokoh narasumber dari Muhammadiyah dan LDII berpandangan sebaliknya dengan berbagai alasan rasional.

 

  • BAB IV (IMPLIKASI UU NO.16 THN 2019 TENTANG BATAS USIA PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN KORELASI PEMBOLEHAN KAWIN GANTUNG DALAM PUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE -- 32 DI MAKASSAR 2010 DENGAN REALITAS SOSIAL)
  • Analisis UU No.16 Tahun 2019 Mengenai Perubahan Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 Tentang Batas Usia Perkawinan

Perubahan batas usia dalam UU No. 16 Tahun 2019 menjadi hal yang sangat urgent untuk dilakukan mengingat tren pernikahan usia anak yang perlu diperhatikan oleh semua stakeholder. Perubahan ini memiliki dampak signifikan dalam konteks hukum dan masyarakat di Indonesia.

  • Implikasi Kedudukan Kawin Gantung Terhadap Batas Usia Perkawinan yang Diatur Dalam Undang-undang di Indonesia dan Keputusan Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar

Keputusan Muktamar NU ke -- 32 mengenai kawin gantung walaupun tidak mengajukan batasan minimal usia perkawinan, memberikan penekanan bahwa seyogya perkawinan dilakukan pada saat usia yang cukup sehingga dapat tercapai kemaslahatan secara kaffah. Namun meski begitu terdapat beberapa kondisi yang dapat mengesampingkan hal tersebut. Hal yang demikian tentunya berimplikasi pada pandangan interpelatif dan disiplin internal Islam.

  • Kontradiksi Batas Usia Minimal Perkawinan Menurut Ketentuan Hukum Perkawinan di Indonesia

Perkawinan dalam system hukum nasional diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16 Tahun 2019 yang mana perkawinan harus sah menurut agama dan negara serta batas minimal usia menikah bagi laki -- laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Walaupun sudah tertera secara gamblang bahwasannya usia minimal untuk melakukan perkawinan adalah 19 tahun, tentunya terdapat berbagai hal yang memungkinkan atau menjadi alasan untuk seseorang melakukan perkawinan sebelum usia 19 tahun. Demikian pula dengan tidak adanya sanksi atas pelanggaran UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16 Tahun 2019 membuat makin maraknya perkawinan usia anak dengan dispensasi kawin pengadilan.

  • BAB V (PENUTUP)

Dinamika perkembangan hukum memang tidak ada habisnya. Oleh sebab itu kita sebagai manusia haruslah dapat menyesuaikan pembuatan dan penerapan hukum yang relevan sesuai zaman agar tidak  tergerus oleh arus waktu. Demikian pula mengenai persoalan pro -- kontra kawin gantung seyogya disikapi secara dewasa. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan anugerah dari sang Pencipta yang semestinya tidak perlu kita ributkan secara fanatic. Selama tidak keluar dari koridor etika kemanusiaan biarlah hukum berlaku dan bilamana dirasa perlu konfigurasi ulang maka lakukan.

 

  • RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DITULIS 

Saya berencana membuat skripsi mengenai batasan usia menikah bagi perempuan yang tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2019 yang kemudian dikomparasikan dengan perkembangan zaman. Seperti yang kita kita bahwa hukum dinegeri ini tumpang tindih satu sama lain sehingga kiranya dengan penelitian saya nanti dapat membuka mata stakeholder untuk dapat membuat kebijakan secara efisien dan efektif sehingga tidak membingungkan warga masyarakat dikemudian hari.

Nama               : Moyang Raafi Wiguno

NIM                : 222121008   

Prodi/kelas       : HKI/4A

#hukumperdataislamdiindonesia

#uinsurakarta2024

#prodiHKI

#muhammadjulijanto

#fasyauinsaidsurakarta

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun