Bagaimana dengan makna peribahasanya ?
Oh, boleh. Mari kita coba. Karena sependek pengetahuan saya, makna peribahasa masih lebih “longgar” dari pada makna idiomatikal dimana makna peribahasa masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur – unsur yang terkandung di dalam ujaran tersebut dikarenakan adanya ‘asosiasi’ antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Sebagaimana yang terdapat dalam kalimat seperti anjing dengan kucing yang bermakna sebagai “dua orang yang tidak pernah akur”. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa hewan yang namanya anjing dan kucing jika bertemu selalu berkelahi dan tidak pernah damai.
Nah, kemanakah “je” diposisikan ? Baik itu secara idiomatikal maupun peribahasa ? Rasa – rasanya, saya tidak pernah ketemu kalimat peribahasa yang mengandung “je” di dalamnya yang berperan sebagai komponen utama peribahasa itu. Mohon beritahu saya, bilamana anda menemukannya ya. Agar saya bisa menelaahnya dan bilamana masuk ke dalam fikiran saya, saya akan merevisi pemikiran saya tentang idiomatikal dan peribahasa yang menggunakan “je” sebagai “komponen utama” idiom dan peribahasa tersebut.
KEENAM, ada yang disebut makna kata dan makna istilah. Yang menegaskan bahwa walaupun setiap leksem atau kata memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah berada dalam konteks kalimat atau konteks situasi tertentu. Sebaliknya, suatu istilah mempunyai makna yang jelas, pasti, tidak meragukan, walaupun tanpa konteks kalimat. Oleh karenanya istilah sering disebut sebagai bebas konteks dan yang perlu diingat adalah, istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan dan kegiatan tertentu seperti kedokteran, musik, biologi, dan lain – lain.
Untuk lebih jelasnya, pada dua kalimat ini, yakni tangannya tertusuk jarum suntik dan lengannya tertusuk jarum suntik.
Antara tangan dan lengan pada dua kalimat itu memiliki sinonim. Namun dalam bidang kedokteran, keduanya memiliki makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan atau dalam bahasa Inggris disebut hand, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu atau biasa disebut arm dalam Bahasa Inggris. Kalimat contohnya adalah May I shake your hand ? Bukan May I shake your arm ketika situasinya dalam perkenalan antara orang yang satu dengan orang yang lain di mana orang yang satu mengajak berjabat tangan kepada yang lain.
Nah, “je” di”makna” kan dan di”istilah” kan ke mana, coba ? Dia tidak memiliki makna kata, juga bukan suatu istilah. Tambah mumet kan ? Sama ! Hihihihi !
Terakhir, yang KETUJUH. Yakni makna kias. Sim salabim, fuhhh.....fuuuhhh...fuuuhhh, tiup telapak tangan dan gosok – gosok agar “je” bisa diketemukan makna kiasannya. Hehehe. Mudah – mudahan juga, dengan kategori yang ketujuh ini, sang “je” bisa teridentifikasi.
Kita mengenal istilah “kias” atau “kiasan” adalah sesuatu yang digunakan sebagai oposisi dari arti yang sebenarnya yang cakupannya adalah semua bentuk bahasa yang meliputi kata, frase, atau kalimat yang tidak merujuk pada arti sebenarnya baik arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif disebut mempunyai arti kiasan. Contohnya puteri malam adalah arti kiasan dari bulan, raja rimbaadalah untuk menyebut harimau, dst.
Lalu, dikiaskan kepada apakah “je” itu ? Sedangkan posisi dari “je” saja tidak diketahui dengan pasti, bagaimana kita bisa mengetahui syarat – syarat agar “je” bisa dimasukkan sebagai bentuk kiasan ? Nah lho, lagi – lagi tidak diketemukan dimaknakan kepada kiasan yang mana “je” ini. Lagi – lagi mumet kan ? Sama !
Jadi, dinisbatkan kepada apakah “je” itu ? Untuk sementara, saya hanya bisa menjawab “sebagai gong pada gamelan, dimana “je” adalah bunyi “gong” yang memungkasi larik alunan gamelan setelah alat – alat musik lainnya beradu bunyi secara serempak mengikuti irama tertentu”.
Kok bisa ?
Mudah – mudahan bisa.
Namun untuk ini, saya mohon dibantu agar Bapak Ibu yang sedang membaca tulisan sepele saya ini berkenan mendengarkan alunan gamelan baik melalui youtube atau sarana apapun yang membuat irama gamelan terpetakan di indera pendengaran anda. Atau secara sederhana saya onomatope kan sebagai “blangpak pang pak pang pak dung deng.......gooong !”Nah, “je” yang saya maksudkan, memiliki kedudukan yang dengan kata “gooong” yang memungkasi onomatope gamelan yang saya tuliskan tadi. Yakni sebagai penyedap, pemanis, pelengkap, penyempurna suatu ekspresi tutur yang ada dalam Bahasa Jawa Jogja dan sekitarnya !
Kok bisa disebut begitu ?
Mudah – mudahan bisa.
Mari sama – sama kita fikirkan kalimat ini,
“Aku arep menyang nang Solo je, Mas Budi. Kowe melu ora ?”
Yang artinya, “saya mau berangkat ke Solo je, Mas Budi. Kamu mau ikut tidak ?”
Sekarang, bandingkan dengan kalimat ini,
“Aku arep menyang nang Solo, Mas Budi. Kowe melu opo ora ?”
Saya menghilangkan “je” nya. Artinya tetap sama, tidak berubah. Yakni, “saya mau berangkat ke Solo, Mas Budi. Kamu mau ikut atau tidak ?”
Sama kan ?
Tapi bedanya, kalimat pertama menggunakan “je” sebagai penyedap, pemanis, pelengkap, penyempurna suatu dialog sedangkan kalimat kedua tidak menggunakan “je”, walau tanpa “je” pun, kalimat kedua tetap sempurna dan punya arti yang jelas.
Tambah bingung ? Sama ! Hihihi !
Ok, dari pada makin bingung, mari kita panggil “Jeh”, karena di awal tulisan ini, saya menulis bahwa “Je” punya jodoh bernama “Jeh”.
Yang bener ?
Iya, bener