Tanggal 28 Maret 2014 lalu, ketika kotaku masih diguyur hujan sepanjang hari, peristiwa ini terjadi.
Saat itu, sekitar pukul 17.20, aku ada di Trans Studio/BSM, menggendong back pack isi tepak dan scanner serta buku-buku yang berat sampai punggung dan bahuku rasanya sakit sekali. Di tangan kananku ada kresek isi seporsi kwetiaw goreng dari Hero Fast Food kesukaan anak gadis semata wayangku.
Di luar hujan, tapi aku tak mungkin menunggu sampai hujan reda. Bayangan anak gadis semata wayangku yang juga masih di perjalanan sepulang praktek di salah satu rumah sakit, menari - nari di fikiranku. Dia pasti lapar, mudah - mudahan dia tidak kehujanan dan disergap kemacetan, begitu doaku. Agak repot jika suamiku dinas ke Bangkalan Madura seperti saat itu. Anak beranak ini harus pulang sendiri - sendiri, naik angkutan umum dengan segala resikonya.
Lamunanku tersadar oleh tawaran para pengojek payung yang tak kusadari sudah berdiri berjajar di depanku. Rata-rata usia SD dan SMP. Malah ada yang masih pakai celana merah seragam SD dan celana pendek biru tua seragam SMP. Mereka menenteng payung terbuka ukuran besar di tangan yang satu dan menenteng sebuah payung ukuran sama yang tertutup di tangan lainnya.
Aku, sering bimbang untuk memilih salah satu dari tampang-tampang penuh harap. Khawatir mereka gimana - gimana. Jadi, kugelengkan kepala. Mereka bubar, cari pelanggan lain.
Tiba-tiba, seorang Ibu tua menghampiriku.
"Payung, Neng. Biar tidak basah,"
Aku tersentak !
Logat itu ! Aksen itu ! Bukan aksen Sunda !
Sulit kukenali dalam waktu sangat singkat dia berlogat dan aksen mana !
Kuperhatikan sekilas Ibu sepuh itu. Pakai rok mirip daster batik warna merah selutut dan baju hangat rajutan warna coklat sudah usang.
Ketika kulirik ke bawah, Masya Allah ! Dia tak memakai alas kaki, nyeker menapaki jalanan becek dengan sepasang kaki sepuhnya.
Tanpa fikir panjang kuambil payung yang dia ulurkan, kunanti sampai dia membuka payung yang satunya.
"Ke depan, Neng ?" tanya Ibu sepuh itu lagi.
Aku tidak menjawab. Sibuk mengingat aksen mana dia.
"Neng ?" tanyanya lagi.
"Eh iya, Ibu. Tunggu bentar ya," kataku.
"Kenapa Ibu tidak pakai sendal ?" tanyaku.
"Hehehe. Iya, Ibu punya sandal putus, Neng. Mau ganti lain sandal, rumah Ibu jauh. Hujan besar ini. Mungkin ada sedikit rejeki Ibu," jawabnya.
Logat itu ! Logat itu !
Aku berfikir keras.
Logat itu tak asing kudengar semasa aku kecil !
Tapi logat mana ?!
Otak mulai tuaku tak sigap lagi mengingat !
"Rumah Ibu di mana ?" tanyaku.
Berharap bisa dengar logatnya lagi.
"Di belakang ini BSM, Neng,"
Ah iya ! Aku teriak dalam hati. Aku ingat !
"Ibu, bukan orang Bandung ya ?" tanyaku.
"Bagaimana Neng tahu, Ibu bukan orang Bandung ?"
"Ibu dari Indonesia Timur ? Dari Dilli ? Timor Timur ?!" tanyaku lagi.
"Iya, Neng. Ibu orang Dilli. Timor Timur. Sekarang Timor Leste," jawabnya.
Di langit kilat sambar menyambar disusul guntur susul - menyusul.
Hujan makin deras. Hatiku bergidik miris, kembali teringat anak semata wayang yang tak kunjung membalas sms dariku.
"Bagaimana Ibu bisa sampai di sini ?" tanyaku lagi.
Sejenak Ibu sepuh itu mengusap mukanya.
Entah air mata atau tetesan hujan yang disekanya, tidak kuperhatikan benar. Hp ku bunyi soalnya, dari anakku.
"Neng tahu referendum ?" tanyanya.
"Iya, Bu," jawabku sambil membaca deretan kata dari sms yang dikirim anakku.
"Saya memilih setia kepada Republik Indonesia. Negara saya, Neng. Walau resikonya saya harus kehilangan semuanya," kata Ibu sepuh itu.
Aku tertegun.
Seperti ada yang menohok dadaku.
Rasanya sakit sekali di perut kanan bawah igaku.
Jawaban Ibu itu dan penekanan pada kata saya yang dia ucapkan, membuat hatiku seperti disayat-sayat.
"Ibu dulu guru SD, Neng. Kita punya toko besar. Tapi hancur diserang orang. Ibu dengan suami mengungsi ke Atambua. Terus ke Jakarta ikut anak. Tak ada kerja bagus di Jakarta. Kita pindah ke sini. Susah payah beli rumah kecil dengan sisa uang. Suami Ibu kena stroke sudah lima tahun. Jadi Ibu harus kerja keras. Asuh anak orang, cuci baju orang dan ojek payung," paparnya lagi.
Payung yang kupakai, aku miringkan bersandar di bahu kiriku. Jadi aku bisa merengkuh bahu wanita ringkih berambut hampir semua putih yang tak sampai tinggi bahuku posturnya dengan tangan kananku dan menariknya mepet ke dinding Trans Studio yang tidak terkena tetesan hujan.
"Ibu menyesal ikut Indonesia ?" tanyaku dengan perasaan melayang.
Jujur, saat itu aku tidak siap bila dia mengeluarkan sesalannya.
Entah kenapa....
Tapi,
"Tidak, Neng. Saya tidak menyesal. Ini negara saya. Hidup mati saya, bersama Allah Bapa dan Indonesia,"
Cepat-cepat kututup payung yang kupakai dan kuberikan padanya. Dengan tangan kanan kurengkuh bahunya dan kami pun jalan sepayung berdua ke depan TSM sampai angkot merah tiba. Kuberikan beberapa lembar. Dia memandang seakan tak percaya. Aku cepat-cepat masuk angkot duduk di sudut belakang angkot untuk menyembunyikan air mata. Wanita sepuh itu, masih berdiri di sana, sampai hilang dari pandanganku karena angkutan kota merah yang membawaku, berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H