Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun ini menuai kritikan dari para siswa. Kritikan tersebut disampaikan dan disebarluaskan di media sosial. Akhirnya kritikan tersebut sampai juga kepada pemerintah. Bapak Menteri Pendidikan menanggapi kritikan tersebut dengan lapang dada. Dan dalam salah satu tanggapan yang dimuat di kompas, beliau mengatakan:
"Saya minta maaf kalau ada beberapa kalangan yang merasa mengalami kesulitan, yang sulit, yang tidak bisa ditoleransi."
"Dengan ini dan saya janji bahwa akan kami benahi, tetapi mohon maklum bahwa ujian nasional dari waktu-waktu harus semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan kita."[1]Â
Yoga Sukmana, penulis artikel "Permintaan Maaf Mendikbud..." mencatat:
Muhadjir mengakui, pemerintah memang menaikkan tingkat kesulitan soal UNBK tahun ini. Menurut dia, soal UNBK 2018 sudah menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS).
Mendikbud mengatakan, HOTS diterapkan untuk mendorong siswa memiliki kemampuan berpikir kritis. Hal itu dianggap enting (sic, seharusnya "penting") untuk pembentukan karakter siswa.[2]Â
Respons Bapak Menteri Pendidikan ini ternyata menimbulkan kasak kusuk di beberapa kalangan orang tua, pendidik, serta siswa. Jika kita melihat komentar di bawah artikel tersebut di Kompas, maka kita akan mendapati banyak respons kebingungan dan protes atas apa yang disampaikan. Saya tidak tahu bagaimana konteks keseluruhan tanggapan Bapak Menteri Pendidikan. Mungkin Bapak Muhadjir Effendy bisa memberikan penjelasan yang lebih baik. Tetapi saya kira ada beberapa hal yang dapat kita telaah tentang tanggapan yang dimuat di artikel singkat di Kompas sesuai dengan batasan yang ada.
Permintaan maaf Bapak Menteri Pendidikan adalah langkah yang baik dalam menjawab keresahan kalangan pendidikan dan orang tua. Janji untuk membenahi UNBK juga adalah suatu jawaban yang sangat baik di dalam menjawab protes yang diluncurkan. Tetapi pernyataan Bapak Menteri Pendidikan berikutnya bahwa UNBK akan dibuat semakin sulit dengan tujuan mengejar ketertinggalan inilah yang akhirnya berpotensi menimbulkan polemik lain.
Jika memang kalimatnya berhenti disana sesuai dengan yang dilaporkan di Kompas, maka tidaklah heran jika muncul pertanyaan: "Apa yang dimaksudkan dengan ketertinggalan?" atau "Tertinggal dari siapa?" atau "Standar yang dipakai apa?" atau "Apakah benar kita tertinggal?" atau "Dalam hal apakah kita tertinggal?"
Pertanyaan kedua yang mengikuti adalah: "Jika memang tertinggal, bagaimana meningkatkan kesulitan UNBK akan dapat mengejar ketertinggalan?" atau "Adakah bukti bahwa dengan meningkatkan kesulitan UNBK ketertinggalan dapat dikejar?" atau "Apa yang dimaksudkan dengan meningkatkan 'kesulitan' UNBK?" atau "Jika yang sekarang saja sudah sulit dan dirasa tidak masuk akal, peningkatan kesulitan beikutnya akan seperti bagaimana?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang perlu sekali diberikan jawaban yang memuaskan sebab beberapa kalangan pendidikan terlihat tidak bisa memahami maksud peningkatan kesulitan UNBK dengan maksud mengejar ketertinggalan.
Catatan reporter Yoga Sukmana yang memparafrasekan pernyataan Bapak Muhadjir tentang penggunaan "HOTS (High Order Thinking Skills)" di UNBK 2018 dengan maksud menguji kemampuan siswa berpikir kritis juga menimbulkan reaksi kebingungan di beberapa kalangan pendidikan. Apalagi karena penggunaan HOTS ini akhirnya menjadikan UNBK 2018 sesulit seperti yang baru saja dialami oleh para siswa.