3. Kompetensi
Ini yang paling krusial, kasus desain Drawa ini bukan kali pertamanya publik mencemooh desain maskot. Kesalahan fatalnya adalah pemerintah - sebagai pemilik acara, selalu menganggap sepele sebuah desain. Mulai dari pembuat brief, pengerjaan desain, hingga pengambil keputusannya, adalah pihak internal pemerintah itu sendiri. Mereka seolah tidak percaya dengan pihak luar. Jikalau ada pihak agensi yang mengerjakan desain, selalu saja "orang pemerintahan" ikut campur.
Tidak sesekali pula akhirnya mereka membuat sebuah karya desain yang dikerjakan oleh "orang dalam" saja, karena cenderung manut. Terlepas dari hasilnya bagus atau jelek, namun demikian pemerintah sudah melanggar kompetensi dan job description mereka sebagai petugas aparat negara. Karena itu bukan bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Jika mereka mendesain secara sukarela dan tidak menggunakan anggaran negara, ya silakan saja. Apalagi hasil desain itu hanya digunakan internal.Â
Sudah terlalu sering kita melihat bagaimana pemerintah, pemkot, pemda, kementrian, dan seterusnya, memaksakan diri untuk terlibat dalam pembuatan desain secara internal. Mulai dari desain pamflet, poster, banner, baliho, hingga desain gapura, tugu, ornamen kantor, dan juga logo termasuk maskot. Perhatikan, sudah berapa banyak kita menyaksikan "hasil karya desain" buatan pemerintah. Apa iya dalam pembuatannya mereka melalui proses desain yang umum dilakukan? Saya yakin tidak.. OK katakanlah iya.. tapi apa iya itu kompetensi mereka?
Saatnya berubah
Dari ketiga masalah utama ini, saya berfikir sudah saatnyalah pemerintah itu sadar diri dan jangan lagi cari-cari dan curi-curi kesempatan dari pekerjaan atribusi desain ini. Setiap kementrian sudah pasti akan ada kebutuhan desain, sudahlah.. serahkan pada yang lebih kompetensi. Terserah caranya bagaimana, entah melaui lelang atau penunjukkan, atau magang, dan seterusnya. Yang pasti.. jangan lagi dipaksakan untuk dikerjakan secara internal. Baik dari pembuat brief-nya, yang mengerjakannya, hingga yang menilai dan meng-approve-nya.
Ini kan sudah masuk kategori penyelewengan dalam proses desain dan estetika kan? Estetika itu masalah referensi, bagaimana mungkin mengandalkan estetika yang baik jika desain itu dikerjakan oleh orang-orang yang kesehariannya tidak berhubungan dengan referensi estetika? Desainer mebel yang baik sudah pasti melakukan referensi dari mebel-mebel yang baik, desainer fashion juga begitu, desainer sepatu, logo, animator, karakter, dan seterusnya.
Suka tidak suka, hasil karya desain itu selain masalah informasi, juga masalah estetika dan kenyamanan audiensinya. Tahukan bagaimana amburadulnya desain poster anti-narkoba? Belum lagi bermasalah dengan visual juga bermasalah dengan penulisan pesan dan copywriting. Lantas bagaimana bisa dipertanggungjawabkan skala penyampaian pesannya jika hanya dikerjakan oleh orang dalam?
Dari reaksi media sosial, akhirnya pihak Kemenpora bereaksi dengan merespon akan diadakan sayembara perubahahan si maskot Drawa ini. Apakah ini akan menjadi solusi? Tergantung! Yaitu tergantung sejauh mana orang dalam pemerintahan masih ikut campur? Lalu siapa juri atau decision maker hasil desainnya? Selama masih didominasi oleh orang-orang pemerintahan, saya pikir sayembara revisi ini cuma jadi ajang buang-buang anggaran jilid dua saja.
Contoh sederhana yang bisa kita lihat. Kita bisa lihat bagaimana perubahan penampilan seacara signifikan dari bandara-bandara baru di berbagai kota di Indonesia? Kenapa saat ini bisa begitu bagus? Ya karena dirancang dan dikerjakan oleh para pihak yang kompetensinya di desain arsitektur. Perhatikan pula perbedaan bangunan kantor pemerintahan yang dikerjakan dengan desain selera pemerintahan dengan yang dikerjakan oleh profesional, sangat kentara bedanya bukan?
Hal ini bisa tercapai bukan karena sihir atau pun rocket science koq, cukup serahkan pekerjaan itu kepada yang berkompetensi.. itu saja!