[caption caption="Foto milik GoJek"][/caption]
Semua gara-gara GoJek nih..! Umpat seorang pegawai kantoran yang sedang makan siang di warteg sekitaran Jl. Fatmawati. Sebelum ada GoJek kayaknya dunia perojekan gak ribut-ribut kayak gini koq! - lanjut dia. Saya jadi mikir.. benarkah gitu?
Belakangan publik Jakarta ramai karena Menhub mengeluarkan edaran larangan beroperasinya GoJek berikut semua bisnis ojek di gawai aplikasi. Reaksinya simpel, yaitu dianggap tidak pro kepada masyarakat yang selama ini kesulitan mendapatkan akses transportasi publik yang selama ini dirasakan semrawut. Presiden pun bereaksi dan Menhub pun lansung menarik surat edaran larangan tersebut. Apa iya artinya saat ini Menhub berpihak pada rakyat dari yang sebelumnya tidak?
Kita lupa, bahwa sejak jaman Ali Sadikin pun transportasi ojek itu memang tidak ada payung hukumnya, atau legalitasnya. Selama itu pula warga Jakarta menggunakan transportasi umum tanpa aturan main. Siapa yang diuntungkan? jelas pengendara ojek yang mendapatkan untung dan pengguna jasa ojek yang bisa naik angkutan umum berupa motor, cepat, bisa menyalip-nyalip, harga bisa tawar-menawar tanpa tarif dasar, dan bisa beroperasi pada jam dan lokasi di mana saja mereka mau.
Jaman makin maju, warga makin sibuk mencari uang, jalanan makin macet, dan kekusutan mulai muncul di Jakarta. Warga butuh transportasi yang ideal di tengah kekusutan itu, sambil tidak sabar menunggu pembangunan infrastruktur MRT, warga sudah tak tahan dengan kepenatan ini dan ojek adalah pilihan angkutan umum yang paling ideal. Saya sudah punya ojek langganan sejak tahun 2006. Tinggal telpon dan janjian dia akan menjemput saya untuk antar kesana-sini atau kirim paket. Hingga akhirnya keberadaan jasa ojek ini sudah diatas angin dan si tukang ojek bisa semena-mena menggetok harga. Tapi warga tetap tidak punya pilihan.Â
Lantas munculnya aplikasi yang konon katanya memberikan solusi, yaitu solusi "harga rata" pada setiap jasa ojek. Solusi harga ini jelas menguntungkan pihak pengguna seperti saya. Tapi bagi ojek pangkalan solusi ini jelas dianggap "merusak harga". Suara pasar makin kuat, keberadaan aplikasi ojek mendominasi dibanding ojek pangkalan. Mulailah terbelah kubu di kalangan para tukang ojek, ojek aplikasi dengan ojek pangkalan. Sementara itu semua pengguna jasa ojek kini beralih ke GoJek, alasan kebanyakan rata-rata senang karena jadi lebih murah, ya.. cuma itu. Apakah jadi lebih aman? lebih cepat? Tidak juga.
Sejak kemunculan GoJek sebagai aplikasi, denyut bisnis-nya mulai terasa. Investor pun takjub dan melihat bisnis ini sebagai bisnis yang menguntungkan. Tak heran akhirnya GoJek mendapatkan suntikan dana investasi dan sanggup menempatkan kantor-kantornya di wilayah Kemang yang tidak murah. Secara model bisnis, GoJek jelas seksi sekali, tak heran dalam beberapa bulan pun langsung bermunculan aplikasi ojek saingan. Kini mereka saling berlomba mencari pasar dengan promo dan diskon harga. Di saat bisnis ini mulai membara dan akan memanas, kita sebagai pengguna jelas akan bertepuk tangan karena saat ini kita sebagai konsumen bisa dengan leluasa memilih jasa aplikasi ojek mana yang berani kasih lebih murah tarifnya. Persaingan ini pun menurut saya sudah mulai tidak sehat.
Tiba-tiba, pemerintah lewat MenHub mendadak melarang, alasannya karena transportasi roda dua itu ilegal.. publik dan penyelenggara bisnis ini pun bereaksi dan berteriak. Argumen mereka sekedar: kenapa baru sekarang ojek dilarang? dulu-dulu tidak?
Jika melihat kronologis di atas, sebetulnya pemerintah lah yang berpihak kepada warga, yaitu dengan membiarkan keberadaan ojek itu beroperasi tanpa ada legalitas hukumnya sebagai angkutan umum. Namun demikian, ketika OJEK sudah masuk ke ranah bisnis bernama GOJEK, maka mau tidak mau di sana akan ada perusahaan berbadan hukum, ada pegawai, ada aturan perusahaan, ada hak, ada kewajiban, ada transaksi, ada jaminan konsumen, asuransi, dan seterusnya. Padahal, keberadaan ojek sendiri tidak legal secara UU. Di sini saja mulai terlihat bahwa pemerintah akhirnya dipaksa terseret untuk bersikap dan bersuara atas keberadaan ojek yang sebelumnya sudah dibiarkan beroperasi tanpa legalitas. Terlebih lagi ketika pesaing GoJek mulai bermunculan, artinya mulai ada persaingan usaha dan mau tidak mau pemerintah harus terseret kesana. Hal ini nampak ketika Menhub mengeluarkan larangan, langsung direspon dengan penolakan dari Kemendag (Kementrian Perdagangan).
Suka tidak suka.. kini ojek sudah jadi bahasan legalitas, ia dipaksa untuk dibahas ke ranah hukum. Tak heran jika Menhub pun mengusulkan perubahan UU atas ojek ini. Kalau mau dilegalkan, ya dilegalkan sekalian jangan cuma digantung. Pertanyaannya.. apakah solusi UU ini akan baik dan menguntungkan bagi pengguna jasa ojek dan pengendara? Kita lihat saja nanti.. paling tidak akhirnya ojek sudah tidak bisa lagi liar, jangan harap nanti ojek pangkalan bisa seenaknya bikin pangkalan dan mengangkut orang sembarangan. Bisa jadi nanti akan ada plat kuning, pajak ini itu, asuransi anu itu, yang akhirnya penetapan tarif ojek pun akan ditata dan dikelola secara "kelembagaan". Dengan kata lain.. ya akan masuk ke dalam aturan yang mirip dengan aturan harga taksi (karena harga ditentukan oleh perusahaan, bukan oleh tawar-menawar dengan penumpang)
Jika saya membayangkan keberadaan ojek selama ini yang beroperasi tanpa izin hukum, sebetulnya sama dan mirip dengan pedagang warteg. Mana ada sih warteg di Jakarta yang beroperasi dengan izin usaha? ada pajak? ada aturan bisnis dan persaingan antar warteg? Apa iya kementrian perdagangan mengatur tata kelola bisnis warteg? Keunggulan warteg adalah murahnya, kenapa? karena mereka tidak kena pajak dan aturan buruh kerjanya. Tapi apa yang disangsikan oleh konsumen atas warteg? adalah kebersihannya.