Mohon tunggu...
Mosa Aura Widka
Mosa Aura Widka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa bidang farmasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memerdekakan Pendidikan Melalui Pemerataan Tenaga Pendidik di Wilayah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

14 Mei 2022   21:40 Diperbarui: 14 Mei 2022   21:59 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” – Ki Hadjar Dewantara [1].  Kutipan tersebut merupakan kutipan dari seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertama Indonesia yang kita kenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Dalam kutipan tersebut, Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwasannya tidak hanya seorang guru yang dapat mendidik muridnya dan tidak hanya sekolah yang menjadi tempat untuk mencari ilmu. 

Kita dapat mencari ilmu dimana saja, orang tua atau saudara yang setiap hari bertemu dengan kita juga dapat menjadi seorang guru ketika dirumah. Kita dapat mewujudkan hal tersebut jika ada rasa saling mengerti satu sama lain bahwa tidak hanya seorang guru yang dapat mendidik seseorang.

World Population Review tahun 2021 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia. Sedangkan di kawasan ASEAN (Association of South East Asian Nations). 

Indonesia masuk ke dalam 4 besar sebagai negara terbaik dari sisi sistem pendidikan [2]. Meskipun demikian, hingga saat ini banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya karena kondisi pendidikan di Indonesia yang masih memiliki banyak permasalahan dari berbagai faktor salah satunya belum meratanya guru atau tenaga pendidik di beberapa daerah.

Lalu seberapa pentingkah guru itu? Dalam dunia pendidikan, guru adalah seorang tenaga pendidik profesional yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa agar memahami ilmu yang diajarkan. Definisi tersebut mengungkapkan bahwa guru memiliki peran penting dalam proses menciptakan generasi penerus yang berkualitas, baik secara intelektual maupun akhlaknya.

Belum meratanya guru di beberapa daerah seringkali menjadi masalah bagi pendidikan di Indonesia, salah satunya di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dikatakan menjadi masalah karena pemerintah terlalu fokus pada pendidikan di wilayah perkotaan. 

Dilansir dari liputan6.com pada tahun 2017, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung Kidul, Bahron Rasyid mengatakan bahwa di Kabupaten Gunungkidul masih defisit guru sekitar 800 orang, paling banyak untuk jenjang Sekolah Dasar, akibat kebijakan moratorium pemerintah pusat [3]. 

Hal ini sangat memprihatinkan karena berbanding terbalik dengan kekayaan alam yang dimiliki Gunungkidul. Gunungkidul adalah salah satu wilayah yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari dalam maupun luar daerah karena memiliki banyak tempat wisata,diantaranya Pantai Nglambor, Pantai Drini, Pantai Baron, Goa Jomblang, dan Air Terjun Sri Gethuk. 

Disamping itu, dengan banyaknya pantai di Gunungkidul, menghasilkan sumber daya alam hewani seperti ikan dan rumput laut. Wisatawan atau masyarakat luar hanya tahu tentang kekayaan alamnya saja. Wisatawan atau masyarakat luar hanya tahu tentang kekayaan alamnya saja, padahal di daerah gunungkidung memiliki sejuta masalah pendidikan khususnya defisit sumber daya manusia (tenaga pendidik).

Banyak masyarakat menyebut bahwa Yogyakarta merupakan “kota pelajar”. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebutan tersebut hanya mencakup wilayah kota Yogyakarta saja. Jika dibandingkan, pendidikan di wilayah Gunungkidul dan kota Yogyakarta sangat jauh berbeda. 

Perbedaan tersebut tentu merugikan bagi siswa yang berada di desa. Selama ini kita sering membedakan kualitas siswa antara yang ada di kota dengan yang di desa. Penilaian itu sangat salah. Setiap siswa memiliki kecerdasan yang sama, yang membedakan adalah ketajaman dalam berpikir. 

Ketika seseorang dinilai cerdas, itu karena otak mereka sering terasah, berbeda dengan mereka yang jarang bahkan tidak mendapatkan pendidikan yang layak maka akan cenderung tumpul dalam berfikir. 

Pemerataan guru di Yogyakarta didukung oleh adanya sekolah Tamansiswa, dimana tempat tersebut menjadi barometer pendidikan di Indonesia yang telah banyak melahirkan tokoh tokoh perjuangan nasional untuk bangsa. Sekolah Tamansiswa didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922[4]. 

Dari sekolah tersebut muncul tiga semboyan Tamansiswa yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang berarti ‘di depan memberi contoh’,  Ing Madya Mangun Karsa, yang berarti ‘di tengah membangun semangat’, Tut Wuri Handayani, yang berarti ‘di belakang memberikan dorongan’[5]. Ketiga semboyan tersebut diibaratkan bagi seorang guru yang artinya guru memberikan contoh, semangat, dan dorongan bagi siswa. 

Guru merupakan elemen penting dalam dunia pendidikan. Tanpa adanya guru yang berkualitas maka seorang siswa juga tidak dapat terdidik dengan baik. Maka dari itu Pemerataan guru antara desa dan kota sangat dibutuhkan.

Berbagai cara telah diupayakan untuk pemerataan tenaga pendidik atau guru khususnya di daerah pedesaan. Mulai dari sosialisasi pemerataan guru hingga dibentuknya suatu program mengajar. Sebaiknya upaya pemerataan ini dapat dimulai dari hal yang paling kecil, karena dengan cara seperti itu kita bisa  bisa melihat bagaimana efektifitasnya secara bertahap. 

Cara paling mudah untuk memeratakan guru dalam konteks mahasiswa yaitu mengembangkan program Indonesia Mengajar yang merupakan ide awal dari Anies Baswedan. Cara lain yang dapat dilakukan yaitu, guru PNS pada satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, antarjenis pendidikan, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi[6]. 

Mungkin sudah banyak kampus yang menerapkan program ini untuk membantu pemerataan guru di daerah-daerah kecil. Sebagian besar mahasiswa tingkat akhir tersebut akan dikirim untuk beberapa bulan untuk mengajar yang biasa disebut dengan Pengiriman Tenaga Mahasiswa (PTM)[7]. 

Cara tersebut efektif untuk dilakukan karena dengan adanya program tersebut dapat membantu mahasiswa untuk mempraktekkan secara nyata hal-hal yang akan dilakukan ketika menjadi seorang guru.

Untuk mewujudkannya, penulis menyarankan bahwa program mahasiswa mengajar di daerah kecil tidak hanya berfokus pada siswa dan pembelajaran akademik saja, tetapi juga dapat berfokus pada peran orangtua dan pembelajaran non akademik. 

Karena pada dasarnya, siswa lebih banyak waktu dirumah bersama orangtua daripada belajar disekolah. Pembelajaran non akademik sangatlah penting bagi siswa karena jika hanya pembelajaran akademik saja itu tidak akan cukup untuk menunjang masa depan siswa. 

Penulis mengajak siswa untuk melakukan pembelajaran non akademik yang memungkinkan dilakukan di rumah bersama orangtua. Melihat kekayaan alam yang dimiliki daerah Gunungkidul, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan bakatnya. 

Misalnya, sebagian besar daerah Gunungkidul adalah pantai, sehingga mata pencaharian penduduk disana banyak yang menjadi nelayan. Dari hal tersebut otomatis banyak hasil sumberdaya berupa ikan ataupun yang lainnya yang dapat diolah dan dijual oleh siswa. Dari hal tersebut siswa dapat megembangkan bakatnya dalam bidang bisnis dan hal tersebut juga tidak perlu dilakukan di sekolah bersama guru, tetapi dapat dilakukan dirumah bersama orangtua.

Pemerataan tenaga pendidik atau guru tidak hanya melalui kebijakan-kebijakan, kita bisa mulai dari hal yang sederhana namun jauh lebih efektif. Salah satunya dengan kontribusi kita sebagai mahasiswa yaitu mengadakan program mahasiswa mengajar. Peran mahasiswa dalam hal ini berpotensi dalam membantu pemerataan guru. 

Karena dari program ini guru juga dapat terbantu oleh orang tua dalam hal pembelajaran non akademik. Oleh karen itu penulis berharap, dengan menjadikan program ini sebagai salah satu program yang dapat membantu pemerataan guru dan mengubah persepsi  bahwa belajar hanya bersama guru dan di sekolah saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun