Sebuah gagasan absurd di tengah malam
Development is about giving hope to ordinary people that their childrenwill live in a society that has caught up with the rest of the world.Take that hope away and the smart people will use their energies not todevelop their society but to escape from it—as have a million Cubans.- Paul Collier
Suatu hari ketika masih duduk di bangku mahasiswa, saya dan beberapa kawan nangkring di kamar kawan kami, Reisky Handika. Sembari mendiskusikan tentang esai-esai yang hampir membuat kami meregang nyawa, kami sedikit memperhatikan siaran televisi yang tersetel menyala. Siarannya saat itu banyak bercerita tentang aksi Front Pembela Islam (FPI) yang tengah mengamuk masa akibat suatu hal, (saya lupa persisnya apa). Menyaksikan tayangan tersebut, kami ramai berkicau tentang betapa kacaunya institusi ini. “Ini kelompok ganggu banget seh!” ujar seorang kawan. Seorang kawanku yang lain, Patrya Pratama, dengan mata tetap terpaku pada layar kaca kemudian menyeletuk, “You know, the only thing that can stop them is giving them school and job!” (Kau tahu, satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah, berikan mereka pendidikan dan pekerjaan.)
Sederhana? Tapi saya kira celetukan sederhana di atas merefleksikan sebuah ide brilian mengenai dampak dari rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan terhadap kekerasan.
***
Seorang ekonom peraih nobel, Amartya Sen dalam bukunya The Identity and Violence: The Illusion of Destiny, mengemukakan bagaimana rentannya identitas agama maupun ras untuk dimanipulasi oleh mereka yang memiliki akses atas pendidikan dan keuangan. Mereka yang tidak memiliki penghasilan serta berpendidikan rendah cenderung akan lebih mudah untuk diarahkan untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak rasional. Mengambil contoh pecahnya India dan Pakistan, Sen menggambarkan bagaimana identitas agama dengan sukses dipolitisasi untuk membuat pecahnya kubu Muslim dan Hindu. Padahal dahulu umat Islam dan Hindu di India hidup berdampingan dan damai sejahtera.
Menurut Sen, pada dasarnya manusia dibesarkan dengan sejumlah identitas yang melekat di dalam dirinya. Identitas tersebut akan memunculkan sebuah kebiasaan, tindakan dan kesetiaan terhadap kelompok yang memiliki identitas yang sama. Misalnya, jika ada seorang anak dibesarkan dengan identitas ber-suku Jawa, maka si anak akan tumbuh dengan kebiasaan, tindakan dan kesetiaan terhadap kelompok etnis bersuku Jawa. Sayangnya pendidikan dan pendapatan yang rendah akan membuat kesetiaan tersebut menjadi mudah untuk dimanipulasi. Misalnya oleh para pemimpin suku atau tradisi. Mereka akan dengan mudah memanfaatkan ‘kesetiaan’ massa mereka menjadi sebuah tindakan kekerasan untuk mendukung hal-hal yang mereka percayai.
Sebenarnya identitas ini bisa saja berdampak baik. Misalnya saja pergerakan feminism yang mendorong meningkatnya tingkat pendidikan dan pekerjaan yang kemudian berujung pada kesejahteraan kaum perempuan. Semua perubahan dan pergerakan tersebut didorong oleh sentiment kesamaan identitas perempuan yang diusung oleh kaum feminis. Tetapi penyempitan identitas menjadi sebuah identitas tunggal membuat seseorang mudah dimanipulasi.
Contoh penyempitan identitas menjadi identitas tunggal adalah tindak kekerasan kelompok agama yang kerap terjadi di Indonesia. Seorang, katakanlah Kristen atau Muslim, yang terlibat konflik biasanya pasti memiliki lebih dari satu identitas. Dia bisa saja seorang Batak, seorang Indonesia, seorang petani, seorang anggota Kelurahan A, seorang anggota perkumpulan petani, dsb. Namun kemampuan pemimpin kelompok agama untuk mempolitisasi massa membuat anggota kelompok ini hanya mengidentifikasi diri mereka menjadi satu lapis identitas, seorang Kristen atau seorang Muslim saja, misalnya. Dengan sedikit kotbah dan ceramah, kesetiaan identitas ini bisa mengekskalasi menjadi sebuah perasaan terancam terhadap keberadaan dari keberadaan kelompok lain yang berbeda identitas.
Nah, berdasarkan diskusi ngasal dengan Patrya di atas, sebenarnya identitas ini tak akan begitu mudah direduksi menjadi satu saja dan mudah dimobilisir untuk aksi kekerasan jika mereka memiliki pekerjaan yang mapan serta pendidikan yang berkualitas. Mengapa? Jawaban ngasal-nya adalah karena mereka memiliki hal lain untuk dipikirkan dan dikhawatirkan selain keberadaan kelompok lain yang berbeda identitas namun tidak memberi mereka ancaman terutama disektor perekonomian. Selain itu pendidikan yang berkualitas dan pekerjaan memampukan seseorang untuk mengambil tindakan yang lebih rasional.
Pandangan Sen sejalan dengan pandangan Paul Collier, seorang Professor yang tengah berkarya di Oxford dan Harvard. Dalam bukunya yang berjudul The Bottom Billion, Collier menjelaskan bahwa ada korelasi yang cukup kuat terkait sumber daya ekonomi dan tindak kekerasan di suatu wilayah/negara. Collier memang tidak secara spesifik mengkaji kelompok-kelompok extremist Islam seperti FPI, ataupun mengaitkannya dengan identitas sosial seseorang seperti yang dilakukan oleh Sen. Namun dari beberapa studinya terhadap perang saudara (civil war) yang banyak melibatkan kelompok-kelompok kekerasan dan seperatis di sejumlah negara berkembang, Collier dapat membuat sebuah simpul yang menarik mengenai korelasi antara motif ekonomi dengan tindak kekerasan.
Menurut Collier, motivasi untuk mendapatkan ‘akses terhadap sumber daya ekonomi’ cukup kuat untuk menggerakkan massa melakukan kekerasan. Selain itu tak jarang anggota kelompok yang direkrut adalah mereka yang memang tak punya akses kepada dunia pendidikan, tak punya lapangan pekerjaan serta memiliki struktur ekonomi yang rendah di dalam masyarakat. Tak ada pendidikan dan pekerjaan yang memadai membuat mereka menjadi amat rentan untuk dimobilisir. Di beberapa kasus, mereka yang terlibat menurut Collier secara nyata memiliki motivasi pragmatis seperti kalkulasi untung rugi serta perhitungan akan potensi kesejahteraan ekonomi di masa yang akan datang.
Jika kita menggunakan dua kaca mata tersebut untuk melihat kekerasan yang terjadi di sekitar kita, tentu kita akan berakhir dengan dua pendekatan yang berbeda untuk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sen menekankan tentang pentingnya sebuah perubahan paradigm, yang didukung oleh sistem pendidikan dan kemasyarakatan yang baik dan menekankan pada pluralitas identitas. Sementara Collier tidak secara gamblang menekankan pada sebuah solusi namun t pada akhirnya dia menyimpulkan secara sederhana bahwa pendidikan dan pekerjaan (sumber penghasilan) menjadi dua hal penting yang dapat memberikan jawaban bagi aksi kekerasan.
Lalu kembali ke FPI, saya rasa akan menarik jika ada seseorang atau institusi yang memiliki kapasitas untuk memetakan tingkat pendidikan dan kesejahteraan dari anggota FPI. Dari sana kita bisa menilik dan menilai apakah pendapat Sen dan Collier bisa dibenarkan secara statistik dan scientific. Saya pribadi memang belum pernah meneliti hal tersebut, namun saya menebak bahwa tingkat pendidikan dan kesejahteraan mereka tidaklah di atas rata-rata masyarakat Indonesia.
Selesai dari sana, maka kita akan masuk pada pertanyaan pendidikan dan pekerjaan macam apa? Pendidikan ala kadarnya dengan guru yang mengajar seperdelapan hati jelas tak bisa masuk hitungan sebagai bagian dari solusi. Dibutuhkan pendidikan yang berkualitas dan memberi tekanan tentang pemaknaan pluralitas dalam hidup kemasyarakatan. Pun demikian dengan pekerjaan. Pekerjaan yang mengangkat kemanusiaan adalah sebuah pelabuhan yang dituju oleh setiap individu. Kita semua menginginkan pekerjaan yang tetap memanusiakan kita. Berikan itu pada mereka, dan mereka punya sejuta alasan untuk meninggalkan kekerasan.
Absurd? Yah, namanya juga tulisan absurd di tengah malam :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H