Mohon tunggu...
Morentalisa Hutapea
Morentalisa Hutapea Mohon Tunggu... -

Graduated from University of Indonesia, currently working in Institute for Essential Services Reform (IESR)as regional advocacy officer. Passionate in human right issues, regionalism in Southeast Asia, energy, governance and poverty and development. | Please, feel free to visit my blog, www.morentalisa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia untuk ASEAN atau ASEAN untuk Indonesia?

1 Maret 2012   10:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:41 2019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengkritisi Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN

Dielaborasi dari paparan Prof Aleksius Jemadu, Ph.D, Prof Dzainuddin Djafar, Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc.Sc dan Perwakilan Direktorat Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Peluncuran Buku “Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN dan Dinamikanya.” AJB, FISIP UI, Depok 2012

Pasca Keketuaan ASEAN pada 2011 yang lalu, pemerintah Indonesia begitu antusias dengan proses regionalisasi ASEAN. Beragam inisiatif dan wacana dilemparkan oleh pemerintah untuk memperkokoh proses regionalisasi yang sedang berjalan. Hal ini memang wajar, mengingat pada tahun 2015 ASEAN harus menyelesaikan PR untuk membentuk sebuah komunitas regional yang solid dan kukuh dalam ASEAN Community.  Pasca keketuaan Indonesia, negara-negara yang akan bergiliran untuk memegang posisi sebagai ketua adalah Kamboja pada 2012, Brunei pada 2013, dan kemungkinan besar Myanmar pada 2014. Tidak heran jika banyak negara, pengamat, pakar dan juga internal ASEAN sendiri yang mengharapkan Indonesia untuk menentukan patokan dalam proses pembentukan komunitas ini.

Dalam tataran tertentu, semangat untuk memimpin ASEAN perlu mendapat sejumlah kritisi. Kritisi pertama terkait dengan kuatnya faktor sejarah mempengaruhi peran Indonesia di ASEAN. Memang dapat dikatakan bahwa Indonesialah yang membidani munculnya organisasi ASEAN. Pada masa itu nuansa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memunculkan sejumlah proxy war di negara-negara Mekong seperti Vietnam dan Kamboja telah menimbulkan kegelisahan bagi Indonesia.

Selain itu, instabilitas kawasan juga mungkin terjadi sebagai konflik antar tetangga. Indonesia-Malaysia misalnya, pada saat itu tengah bertikai dengan Indonesia mengeluarkan slogan “Ganyang Malaysia.” Negara-negara lain seperti Filipina-Malaysia, Thailand-Malaysia, semuanya juga memiliki konflik perbatasan. Kondisi tersebut tidak kondusif bagi iklim investasi dan pembangunan yang diupayakan oleh Indonesia. Pada masa itu, Presiden Soeharto cenderung pragmatis dalam menggunakan institusi baru ini untuk mendorong terbentuknya stabilitas. Stabilitas kawasan ini diharapkan dapat mendukung wacana Soeharto untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hanya saja pertanyaanya sekarang, apakah prioritas penciptaan stabilitas kawasan ini masih rasional jika dijadikan sebagai prioritas utama Indonesia di ASEAN? Konflik antar negara terkait isu perbatasan memang masih ada, hanya saja intensitasnya telah jauh berkurang.  Selain itu, negara-negara di Asia Tenggara juga tengah fokus pada isu pembangunan dibanding mempersoalkan masalah perbatasan dan kedaulatan.

Menggaet Raksasa Dunia- Dynamic Equilibrium

Salah satu semangat Indonesia lain yang juga layak untuk dikritisi terkait dengan penggunaan konsep Dynamic Equilibrium.  Konsep ini telah digunakan oleh Indonesia sebagai salah satu jargon dalam Keketuaanya pada 2011. Tak ragu, pemerintah mengklaim posisinya dalam Dynamic Equilibirum berhasil dengan hadirnya Amerika Serikat dan Uni Soviet pada ASEAN Summit yang diselenggarakan di Bali. Indonesia tampak berbangga melihat dua negara ini, ditambah China, India, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Jepang masuk dalam jejeran negara yang memiliki minat  terhadap Asia Tenggara.

Secara teori, Dynamic Equilibrium berupaya untuk menciptakan sebuah keseimbangan dengan mengakomodasi munculnya kekuatan-kekuatan baru di dunia. Kekuatan baru seperti China memang banyak menjadi wacana terkait dengan dampaknya terhadap stabilitas yang ada. Konsep Dynamic Equilibrium berusaha untuk mengakomodasi kemunculan mereka namun tetap member ruang kekuatan-kekuatan yang telah lebih dahulu ada seperti Amerika Serikat. Di saat yang bersamaan, Indonesia akan mendorong peran “middle power” seperti negara-negara ASEAN.

Mengingat posisi  Indonesia sebagai negara dengan kekuatan menengah, pilihan Dynamic Equilibrium dinilai menarik karena ini memungkinkan Indonesia menjadi jembatan antara raksasa-raksasa dunia. Hanya saja penting untuk diperhatikan bahwa pada akhirnya tidak ada kekuatan besar yang tertarik pada situasi equilibrium. Secara strategis dan secara psikologis negara-negara raksasa ini akan lebih tertarik untuk memperlihatkan dan mengupayakan keunggulan mereka.

Dalam situasi aman tentram penuh dialog yang diupayakan oleh Indonesia, negara-negara tersebut akan tetap menggunakan bahasa kekuatan, the language of power. Sikap itu semisalnya saja bisa dilihat dari  sikap Cina  terkait isu Laut Cina Selatan. Ada kecenderungan bagi Cina untuk tidak mau membawa isu tersebut diselesaikan secara multilateral di tingkat ASEAN.  Mereka menolak untuk membahas isu ini dalam East ASEAN Summit yang diselenggarakan Indonesia. Mereka lebih suka dengan pendekatan one on one. Tentu saja pendekatan one on one akan menguntungkan China, mengingat tidak berimbangnya kapabilitas kekuatan dari negara tersebut disbanding negara-negara Asia Tenggara. Hal ini memperlihatkan bagaimana bahasa kekuatan itu masih mendominasi hubungan antara ASEAN dan negara-negara partnernya.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus ekstra hati-hati terkait dengan kepentingan negara-negara besar tersebut di ASEAN. Untuk isu energy misalnya,  Amerika, Cina, Jepang dan negara-negara raksasa lainnya memiliki kepentingan yang nyata atas akses energy dari Asia Tenggara. Demikian pula dengan masalah ketersediaan bahan mentah sebagai pendorong proses industrialiasi.

Negara-negara ASEAN terutama Indonesia merupakan pemasok bahan bakar dan bahan mentah yang cukup strategis dan penting. Pasokan batubara Indonesia misalnya, merupakan komoditas yang menjadi incaran Cina, Jepang, serta Korea. Demikian pula dengan kekayaan gas alamnya. Sehingga dalam memperhitungkan peran strategis Indonesia di ASEAN penting bagi pemerintah untuk mengamankan hal tersebut.

Menghubungkan Kepentingan Nasional dan Kepentingan Regional

ASEAN untuk Indonesia atau Indonesia untuk ASEAN?

Pertanyaan tersebut menjadi rasional untuk ditanyakan dalam mengkritisi peran Indonesia di ASEAN. Penting bagi pemerintah Indonesia untuk menyadari bahwa konstituen ASEAN adalah 200 juta rakyat Indonesia. Sebelum kepentingan regional dibicarakan, Indonesia terlebih dahulu berbicara mengenai kepentingan 200 juta masyarakat Indonesia.

Belajar dari proses regionalisasi di kawasan lain, sikap suatu negara akan cenderung ditentukan oleh defenisi kepentingan negara. India misalnya, tidak terlalu tertarik dalam proses integrasi dan regionalisasi di Asia Selatan karena memang tidak ada kalkulasi kepentingan ekonomi yang terlalu strategis di sana.

Kondisi yang berbeda dilihat dalam antusiasme Jerman dalam mengupayakan regionalisasi di kawasan Eropa. Jerman dengan indutri teknologinya membutuhkan Uni Eropa sebagai pangsa pasar utama. Sama halnya dengan proses regionalisasi dan integrasi Amerika Utara yang didukung oleh Amerika Serikat terkait dengan kepentingan eknomi mereka di sana.  Sehingga tidak heran jika kedua negara tersebut menjadi sangat antusias dalam mengupayakan proses integrasi.

Pertanyaannya seberapa besarkah kepentingan Indonesia di ASEAN?

Kalkulasi ekonomis jelas tidak menjadikan ASEAN sebagai pasar yang strategis untuk Indonesia. Pertama karena kapasitas pendapatan negara-negara ASEAN berada jauh dibawah Indonesia. Kedua karena  angka perdagangan intra ASEAN sendiri amatlah kecil.

Bagaimana tidak? Sebagian besar negara-negara ASEAN memiliki sifat dasar untuk menghasilkan produk yang sama. Kesamaan tersebut dapat dilihat pada produk pertanian dan tekstil yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN. Demikian pula dengan produk usaha kecil menengah yang telah menjadi pondasi penyerapan tenaga kerja di Indonesia serta sebagian besar produk UKM yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN.

Upaya untuk membuka pasar seluas-luasnya akan menimbulkan kontestasi produk yang sifatnya tidak efisien. Berbeda dengan Thailand dan Singapura yang akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari dibukanya pasar intra ASEAN.

Di Indonesia sendiri sejumlah kendala akan menghalangi kita untuk bisa bersaing, baik secara global maupun regional. Penghalang pertama terkait dengan infrastruktur, terutama transportasi, Indonesia yang tidak mendukung. Kondisi jalanan, pelabuhan serta gudang penyimpanan yang buruk membuat produk Indonesia, terutama produk pertanian menjadi sulit bersaing. Kondisi ibukota, Jakarta saja misalnya, ditinjau dari segi kenyamanan dan efektivitas jelas kalah jauh dibandingkan kota-kota seperti Bangkok, Singapura, serta Kuala Lumpur. Padahal infrastkrutur dan efektivitas transportasi menjadi poin penting yang mempengaruhi laju investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, korupsi dan inefisiensi birokrasi juga menjadi perhatian utama bagi Indonesia. Regionalisasi serta pasar ASEAN tunggal mungkin akan menarik minat para investor raksasa dunia. Tetapi dengan kondisi infrastruktur serta inefisiensi birokrasi yang ada, Indonesia akan sulit untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sehingga reformasi birokrasi juga menjadi poin penting bagi Indonesia dalam memnformulasikan strategi kepemimpinannya di kawasan.

Internal Indonesia

Di internal Indonesia sendiri terdapat sejumlah masalah komunikasi dan koordinasi mengenai visi Indonesia di ASEAN.  Hal itu bisa terlihat dari lambannya Indonesia dalam meratifikasi beragam perjanjian yang dihasilkan oleh ASEAN. Dari sekitar 300 perjanjian, Indonesia tergolong yang paling lamban dalam meratifikasi. Mengapa? Pasalnya ketika maju ke meja negosiasi, para delegasi tak mau repot-repot untuk melakukan konsolidasi internal dengan anggota legislatif maupun departemen teknis terkait lainnya. Sehingga seringkali begitu sebuah perjanjian disepakati, departemen terkait harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk membujuk dan merayu DPR agar mau meratifikasi perjanjian tersebut.

Masalah koordinasi dan komunikasi antar kementerian dan departemen memang masalah klasik. Namun  sekalipun sulit dan mahal, penting untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Jangan sampai antusiasme memimpin ASEAN hanyalah antusiasme dari Kementerian Luar Negeri semata. Namun tidak diikuti oleh semangat yang sama dari Kementerian dan Departemen terkait lainnya.

Ini berbahaya mengingat kapasitas Kementerian Luar Negeri yang juga terbatas untuk isu-isu di luar isu politik. Padahal perjanjian yang dilakukan oleh ASEAN sendiri sudah sangat luas dan jauh dari hanya sekadar isu-isu politik. Jangan sampai kepentingan Indonesia di sektor ekonomi terbengkalai karena delegasi kita tidak memiliki kemapuan yang cukup dalam memproyeksikan kepentingan dalam negeri.

Preseden yang ada sejauh ini bisa dilihat dari kesepakatan di tingkat regional yang kemudian menjadi boomerang bagi Kementerian atau Departmen lainnya. Kesepakatan ASEAN-China Free Trade Agreement misalnya.  Sepuluh tahun setelah negosiasi berlangsung, media dan kementerian teknis terkait baru ‘heboh’ memberitakan dampaknya bagi masyarakat Indonesia.

Indonesia untuk ASEAN atau ASEAN untuk Indonesia: Sebuah Refleksi

Kebijakan luar negeri seyogianya diformulasikan dengan kalkulasi kebutuhan dan kepentingan dalam negeri. Ada dua ratus juta masyarakat Indonesia yang menjadi konstituen ASEAN sehingga penting bagi pemerintah Indonesia untuk secara cermat menghitung untung rugi dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat ASEAN.

Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah kemudian harus didorong lebih lagi untuk memiliki akses data di lapangan.  Komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan baik dari kalangan pengusaha, akademisi hingga masyarakat sipil penting untuk dilakukan. Dengan adanya dialog yang intensif dan terbuka, pemerintah dapat mengkalkulasi dan memformulasikan kebijakan yang tepat sasaran. Sehingga apa yang diputuskan di tingkat ASEAN dapat menjawab kebutuhan di tingkat lokal, terutama kebutuhan masyarakat kecil.  Masyarakat sipil dan akademisi pun kemudian memiliki andil untuk senantiasa mengawasi dan mendampingi proses formulasi kebijakan dan kepentingan yang dilakukan oleh pemerintah.

Komunikasi yang intens dengan beragam institusi dan instansi di lintas Departemen dan Kementerian menjadi penting untuk dicapai. Dengan komunikasi itu, masyarakat sipil dan akademisi bisa memberikan bantuan yang tepat sasaran berupa rekomendasi kebijakan. Dengan sinergisasi seperti ini Indonesia dalam perannya di ASEAN bisa menghasilkan sesuatu yang konkrit, sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Jangan sampai seloroh yang berujar, Indonesia govern ASEAN, but other rule menjadi kenyataan.

www.morentalisa.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun