Mohon tunggu...
Morentalisa Hutapea
Morentalisa Hutapea Mohon Tunggu... -

Graduated from University of Indonesia, currently working in Institute for Essential Services Reform (IESR)as regional advocacy officer. Passionate in human right issues, regionalism in Southeast Asia, energy, governance and poverty and development. | Please, feel free to visit my blog, www.morentalisa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia untuk ASEAN atau ASEAN untuk Indonesia?

1 Maret 2012   10:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:41 2019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia sendiri sejumlah kendala akan menghalangi kita untuk bisa bersaing, baik secara global maupun regional. Penghalang pertama terkait dengan infrastruktur, terutama transportasi, Indonesia yang tidak mendukung. Kondisi jalanan, pelabuhan serta gudang penyimpanan yang buruk membuat produk Indonesia, terutama produk pertanian menjadi sulit bersaing. Kondisi ibukota, Jakarta saja misalnya, ditinjau dari segi kenyamanan dan efektivitas jelas kalah jauh dibandingkan kota-kota seperti Bangkok, Singapura, serta Kuala Lumpur. Padahal infrastkrutur dan efektivitas transportasi menjadi poin penting yang mempengaruhi laju investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, korupsi dan inefisiensi birokrasi juga menjadi perhatian utama bagi Indonesia. Regionalisasi serta pasar ASEAN tunggal mungkin akan menarik minat para investor raksasa dunia. Tetapi dengan kondisi infrastruktur serta inefisiensi birokrasi yang ada, Indonesia akan sulit untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sehingga reformasi birokrasi juga menjadi poin penting bagi Indonesia dalam memnformulasikan strategi kepemimpinannya di kawasan.

Internal Indonesia

Di internal Indonesia sendiri terdapat sejumlah masalah komunikasi dan koordinasi mengenai visi Indonesia di ASEAN.  Hal itu bisa terlihat dari lambannya Indonesia dalam meratifikasi beragam perjanjian yang dihasilkan oleh ASEAN. Dari sekitar 300 perjanjian, Indonesia tergolong yang paling lamban dalam meratifikasi. Mengapa? Pasalnya ketika maju ke meja negosiasi, para delegasi tak mau repot-repot untuk melakukan konsolidasi internal dengan anggota legislatif maupun departemen teknis terkait lainnya. Sehingga seringkali begitu sebuah perjanjian disepakati, departemen terkait harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk membujuk dan merayu DPR agar mau meratifikasi perjanjian tersebut.

Masalah koordinasi dan komunikasi antar kementerian dan departemen memang masalah klasik. Namun  sekalipun sulit dan mahal, penting untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Jangan sampai antusiasme memimpin ASEAN hanyalah antusiasme dari Kementerian Luar Negeri semata. Namun tidak diikuti oleh semangat yang sama dari Kementerian dan Departemen terkait lainnya.

Ini berbahaya mengingat kapasitas Kementerian Luar Negeri yang juga terbatas untuk isu-isu di luar isu politik. Padahal perjanjian yang dilakukan oleh ASEAN sendiri sudah sangat luas dan jauh dari hanya sekadar isu-isu politik. Jangan sampai kepentingan Indonesia di sektor ekonomi terbengkalai karena delegasi kita tidak memiliki kemapuan yang cukup dalam memproyeksikan kepentingan dalam negeri.

Preseden yang ada sejauh ini bisa dilihat dari kesepakatan di tingkat regional yang kemudian menjadi boomerang bagi Kementerian atau Departmen lainnya. Kesepakatan ASEAN-China Free Trade Agreement misalnya.  Sepuluh tahun setelah negosiasi berlangsung, media dan kementerian teknis terkait baru ‘heboh’ memberitakan dampaknya bagi masyarakat Indonesia.

Indonesia untuk ASEAN atau ASEAN untuk Indonesia: Sebuah Refleksi

Kebijakan luar negeri seyogianya diformulasikan dengan kalkulasi kebutuhan dan kepentingan dalam negeri. Ada dua ratus juta masyarakat Indonesia yang menjadi konstituen ASEAN sehingga penting bagi pemerintah Indonesia untuk secara cermat menghitung untung rugi dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat ASEAN.

Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah kemudian harus didorong lebih lagi untuk memiliki akses data di lapangan.  Komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan baik dari kalangan pengusaha, akademisi hingga masyarakat sipil penting untuk dilakukan. Dengan adanya dialog yang intensif dan terbuka, pemerintah dapat mengkalkulasi dan memformulasikan kebijakan yang tepat sasaran. Sehingga apa yang diputuskan di tingkat ASEAN dapat menjawab kebutuhan di tingkat lokal, terutama kebutuhan masyarakat kecil.  Masyarakat sipil dan akademisi pun kemudian memiliki andil untuk senantiasa mengawasi dan mendampingi proses formulasi kebijakan dan kepentingan yang dilakukan oleh pemerintah.

Komunikasi yang intens dengan beragam institusi dan instansi di lintas Departemen dan Kementerian menjadi penting untuk dicapai. Dengan komunikasi itu, masyarakat sipil dan akademisi bisa memberikan bantuan yang tepat sasaran berupa rekomendasi kebijakan. Dengan sinergisasi seperti ini Indonesia dalam perannya di ASEAN bisa menghasilkan sesuatu yang konkrit, sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Jangan sampai seloroh yang berujar, Indonesia govern ASEAN, but other rule menjadi kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun