Mohon tunggu...
Blue Carel
Blue Carel Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Lepas

Menyukai alam, kesadaran diri, dan hal yang berbau astronomi. Penulis bebas, dengan pikiran yang bebas pula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Taman Air Nir Petaka

30 September 2024   17:57 Diperbarui: 30 September 2024   18:14 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar menyusuri sela-sela jendela ruangan utama. Pagi hari yang mulai sedikit demi sedikit menerangi lobby perpustakaan. Jam dinding yang menunjukan waktu buka, mempersilahkan para pelanggan menapakkan diri dalam hanyutan perpustakaan yang menawan ini. Hamparan interior nuansa putih, dengan ikon yang cukup menjadi kenangan para pengunjung di sini; sebuah air mancur.

Air mancur yang berada di lobby, dengan air mancur di tengah lingkar lobby yang menghubungkan kamar-kamar baca. Pemiliknya menamai 'kamar' untuk kesan romantisasi taman baca ini. Pengunjung terkadang mengintip-intip air mancur, bahkan duduk di lingkar itu. Air mancur yang cukup besar, dengan rentang 4 meter, cukup menyita perhatian dan menjadi kesan pertama yang mengait para wisatawan pustaka.

Tidak semua. Seorang pria sedang iseng mengamati taman baca yang baru dibuka ini. Setelah lama bergelut di metropolitan, akhirnya ia bisa berkunjung ke desa dengan pemandangan yang tidak biasa. Ia tak menyangka ada yang menaruh hal klasik seperti ini di desa.

"Lembabnya." gumam seorang wanita yang ternyata ikut mengamati air mancur bersamanya. Pria itu menoleh dan menanggapi "Anu, kalau airnya ga keciprat kayaknya aman aja..."

"Oh... tapi ini tertutup rapat dan ber-AC. Ada resiko tembok akan berjamur."

Pria itu mengangguk, "Air bisa merembes ke temboknya?"

"Air yang di udara akan terkumpul... kalau temboknya aman, mungkin yang kena buku-bukunya." jelas wanita itu padanya.

"Bisa gitu, ya..." tanggap pria ini. Ia hanya tidak habis pikir, apakah air bisa bertindak sejauh itu? 

"Baru ke sini?" basa-basi dari wanita itu.

"Iya... katanya baru buka, kak." ujar pria ini mencoba sopan, takut terlihat mendahului.

"Oh, udah 1 bulan-an. Mau baca-baca?"

"Berkunjung aja, mau cari tempat belajar..."

"Sebenernya ini tempat yang bagus. Di sana banyak ruangnya, di kamar pojok. Kalau kamar fantasi, cocok buat baca novel." jelas wanita itu menggambarkan sekilas ruang-ruang baca di sini.

"Oh... oke..."

"Atau ke kamar arsip, nanti kesannya beda."

"Beda gimana? Kakak sudah keliling?"

"Iya... mereka buat kamar arsip ga membosankan... ga cuma dipajang sistematis..."

"Wah... mau liat bentar, deh."

"Oke, aku juga mau ke sana."

Memasuki kamar arsip, dengan kusen pintu berwarna kayu yang melengkung menyambut mereka. Lampu dinyalakan berwarna hangat, berbeda suasana dengan lobby dan kamar-kamar khusus itu. Pria itu mulai tertegun dengan koleksi arsip di sini.

"Yang punya kolektor kayaknya, ga punya tempat aja." singkat perempuan itu sambil lanjut berkeliling. Pria itu mengamati arsip yang juga sebagai pajangan barang antik. Terdapat beberapa buku dengan cover lumayan usang, dan beberapa gulungan dengan aksara layaknya sansekerta.

"Boleh foto di sini?"

"Boleh, sewa juga."

"Eh?"

"Nih," ia pun menunjukan suatu kertas pengumuman, dimana tempat ini menyediakan sewa barang antik untuk acara-acara tertentu. "Lama-lama aku jadi SPG di sini, haha."

"Haha, iya deh..." ucap pria itu, asal saja.

"Kamu suka barang-barang usang?"

"Kebetulan pengen jadi filolog." ucap pria ini terbuka dengan wanita yang baru ditemuinya. Wanita ini mengangguk, dan lanjut membuka gawainya. Sementara pria itu masih melihat-lihat, wanita itu tenggelam dalam kesibukan digitalnya.

Tiada hal lain dari mereka yang akhirnya memisahkan diri, dari pria ini yang mulai mencari tempat untuk bergelut dalam proyeknya dan wanita ini dengan proyeknya juga.

Taman baca milik pribadi yang akhirnya dibuka, menuai banyak tanda tanya pada pria ini. Ia ingin melihat bagaimana ke depannya perpustakaan ini.

"Kayaknya akhir tahun dia bilang mau balik.. eh gak boleh gitu, Jay." gumamnya asal pada dirinya. Begitu dari selingan saat ia membuyar dari fokusnya. Namun, dari jadwalnya, memang ia akan kembali saat menjelang tahun baru.

"Lain kali jangan nguping, deh. Awas kalo pas waktunya."

Waktu berlalu, memasuki tanggal 30 Desember, bersama temannya yang tidak lupa dan tentunya mengunjungi taman baca yang masih menjadi ikon di desa itu, setelah sekian bulan. Kali ini, ia tidak melihat banyak perubahan, hanya ruangan di sini tercium semakin harum.

"Wangi banget ga sih?" ujarnya pada kawannya.

"Biasa kali, Jay. Kaya di mall. Nih air mancur gede amat," tanggap teman sebayanya santai, sembari terpaku pada air mancur yang masih berdiri dengan indahnya. Air mancurnya cukup terawat dengan tanpa lumut yang merambat pada dinding-dindingnya.

Tidak semua terawat, sayangnya.

"Dulu ga sewangi ini..." gumamnya sambil melihat sekeliling. Ia mulai melihat detail dari lobby ini.

"Karena dah bayar kali, makanya makin wangi," ucap kembali kawannya saat mengerti temannya pernah ke sini saat masih baru-barunya.

Sementara si Jay tidak menggubrisnya, matanya masih menelisik sudut-sudut ruang. Tampak 1 rak buku untuk diperlihatkan pajangan atau unggulannya, tampak beberapa warna mulai mengelupas. Lalu, ia mulai melihat tembok yang masih segar warna putihnya. Namun, beberapa warnanya mulai timbul tidak merata. Layaknya dihinggapi jamur-jamur nakal.

Jay mengajak kawannya ke kamar arsip, mengharap tidak terjadi suatu hal di sini. Sayangnya, temannya menolak untuk masuk karena tidak sewangi lobby dan kamar-kamar lain. Bahkan bau lembab lebih mencolok di sini.

Jay bersikukuh ingin melihat-lihat sebentar. Ia menelisik keadaan barang-barang antik di sini. Barangnya terlihat terawat, sayang rak-raknya cenderung dibiarkan. Terlihat warna-warnanya mulai timbul atau terkelupas. Begitu juga dengan adanya buku yang dipajang terbuka, dengan beberapa tintanya mulai memudar.

"Wanita itu benar..." gumamnya sembari kembali ke temannya yang tidak sabar menikmati kamar berbalkon di lantai dua.

Pada hari itu, ia cukup menikmati liburnya, sambil memikirkan taman baca yang unik ini. Ia mengira dengan keunikannya sudah dapat memoles kesempurnaannya, dari ikon di tempat asri hingga terkenal di sosial media. Namun, masih ada saja detail yang mungkin tak banyak orang yang melihat.

Ia sedikit menyesal tidak menemui wanita itu. Sedikit saja, sebab ia juga sudah samar akan raut wajahnya, perkataannya yang begitu padat dan singkat; hanya tersisa pesan darinya bulan lalu.

Ia sempat menganggapnya angin lalu. Namun, untuk beberapa kejadian ia manfaatkan pesan ini tanpa ia sadari.

"El, tembok lu kok ada coklat-coklatnya?"

"Katanya bocor, 'dah aman tuh kata bapak kos."

"Pindah, dah. Nanti lu bisa sesek nafas."

"Hah? Yang bener?"

"Bj*r ini juga 'dah warna item! Mending pindah, deh lu. Katanya ini bahaya."

Hingga setahun berlalu, saat ia mengulangi tradisi untuk menikmati acara tahun barunya di desa itu. Benar saja, ia kembali ke taman baca yang kokoh ini.

Pikirnya, bila wanita itu benar bahwa pemiliknya kolektor sejati, mana mungkin ia akan merobohkan tempat ia memajang koleksinya begitu saja. Atau, ia masih punya timbal balik dari modalnya dengan taman baca klasik ini. Ia mengunjungi dengan ponakannya yang kegirangan melihat air mancur ikonik itu.

Jay ikut tertegun, dengan konsep baru air mancur yang meningkat hawa klasiknya. Kini, air mancur itu ditambahi patung-patung Cupid yang menyirami air mancur dengan guci. Tidak hanya itu, air mancur ini juga terlihat disinari cahaya matahari yang menelisik dari jendela-jendela besar di belakangnya. Jendela-jendela antik ini terlihat mengelilingi air mancur yang ramai ini.

"Mendingan." sekali Jay mendengarnya, ia menoleh ke sumber suara, menyadari bahwa wanita itu kembali.

Apa kau menikmati hasil seruanmu di sini? Atau pemiliknya secara alamiah memperbaiki keadaan?

"Eh kamu..."

"Oh si calon filolog."

"Beloman..."

"Projek temenku, keren gak?"

"Mantulllll."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun