Israel mungkin menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang memberikan kesempatan ikut pemilu kepada perempuan.Â
Diskriminasi karena latar belakang ras tau agama dalam pendidikan tidak terjadi di Israel. Contoh saja pada tahun 2017, mahasiswa keperawatan di Israel 42% orang Arab, 38% di bidang farmasi dan 38% masuk fakultas kedokteran di Technion di Haifa, Israel.
Saat saya ke Hebrew University Mei 2017 silam, saya melihat banyak perempuan berjilbab di kampus yang didirikan oleh Albert Einstein itu.
Kehidupan sebagai minoritas di Israel rupanya cukup menyenangkan sebab menurut riset Harvard, 77% Arab Israel memilih tinggal di Israel daripada di negara lain.
Pada Maret 2017 media Israel, Times of Israel menyebutkan pada 2016 terdapat 1081 keluarga Arab Palestina yang mengajukan permohonan menjadi warga negara Israel.
Angka ini menurun sejak 2014 saat ada 4000 aplikasi namun hanya 84 yang diterima sebagai warga negara, 161 ditolak dan sisanya masih menunggu.Â
Keinginan berpindah kewarganegaraan tentu ada alasan dan tak ada keluarga yang berpindah kewarganegaraan hanya untuk mencari kesusahan, sebaliknya umumnya ingin mencari kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.Â
Buat saya tentu ini kabar baik karena menunjukkan pengakuan orang Arab Palestina terhadap eksistensi Israel.
Dengan menjadi warga negara Israel diharapkan setiap warga negara berkeinginan hidup damai tanpa konflik dengan negara tetangga.
Karena itu patut disayangkan jika masih banyak orang Indonesia yang menganggap Israel menjajah Palestina sementara orang Arab Palestina sendiri ingin menjadi warga negara Israel. []
Monique Rijkers, pendiri yayasan independen-bukan untuk profit Hadassah of Indonesia