Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 42, Berkat Tri Ratna (Tamat)

27 Agustus 2021   12:19 Diperbarui: 27 Agustus 2021   12:26 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkat  Tri  Ratna

Cerita  sebelumnya :

"Ya, Eyang, sendiko dawuh. Saya sungguh bahagia telah bertemu Sang Dewi, perempuan yang terberkati dan telah memberi wejangan dan nasihat serta teladan hidup, selalu hadir ketika saya dibalut kesulitan serta menolongku dengan penuh cinta kasih yang tulus. Keindahan hati dan cintanya yang tulus memberi inspirasi padaku, betapa indahnya hidup dalam persatuan dengan Sang Hyang Widhi."  ( Bersambung )

Hari ketujuh di Pulau Dewata saya dipertemukan dengan keluarga Romo Prabu, mereka menyambutku dengan gembira. Saya sungguh menyaksikan betapa eloknya keindahan Pulau Dewata ini yang kelak akan menjadi kebanggaan bagi bangsa besar Indonesia.

Masyarakat di sini hidup rukun, kejujuran dijunjung tinggi, karena mereka takut akan karmapala. Orang rajin mempersembahkan sesaji dan doa-doa syukur. Pura-pura dipenuhi dengan kidung doa tanpa henti dan tak pernah sepi. Budaya seperti ini juga hidup di tlatah Jawa tempat Romo bertakhta, maklum kami masih satu rumpun saudara. Ada rasa syukur yang terus mengalir atas keindahan dan kesuburan bumi tetap dilestarikan.

Romo Prabu punya saudara yang menjadi raja di Bali, dan memerintah. Di sini juga ada sesepuh seperti Eyang Mpu Barada, namanya Mpu Kuturan. Ketika bertemu denganku, dia bersujud. Entah mengapa. Mungkin karena kesaktiannya, beliau sudah tahu bahkan tanpa diberi tahu Eyang Mpu Barada, bahwa aku adalah putra Raja Airlangga, yang bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa, sebagai raja Mataram Baru keturunan Dinasti Isana.

Mpu Kuturan mempersilakan kami untuk singgah di padepokannya. Di sinilah tempatku untuk meng-gladi diri nantinya. Dari percakapan dengan Maha Mpu Barada, Mpu Kuturan tahu bahwa saya telah melepas hak-hak saya untuk tidak bertakhta, tidak akan menikah, dan akan hidup taat pada suara hati. Mpu Kuturan sangat menghargai pilihanku, dan dia berjanji akan mengajariku untuk mencapai kesempurnaan hidup, dengan penggalian anugerah diri.

Mpu Kuturan memberiku kerang mutiara dan berkata, "Cucuku, Sanggra, bawalah kerang mutiara ini nanti malam ke Tanah Lot. Renungkanlah kerang mutiara ini akan memberimu pelajaran dalam permenunganmu, dalam meditasimu. Dari situ engkau akan mengerti arti kesempurnaan dalam hidupmu."

Kuterima kerang mutiara itu, kubungkus dengan kain putih dan kubawa ke padepokan. Ketika senja tiba, aku telah sampai di Tanah Lot. Ombak yang mendebur ria membasahi kakiku yang menyeberangi laut, kunikmati hangatnya air laut yang memijati kakiku, mereka seolah mengucap salam dan mengantarku menuju pura yang ada kira-kira tiga ratus jengkal dari pantai.

Di sini aku ingin bersemadi. Sebelum kumulai semadiku, kunikmati indahnya Sang surya membenamkan diri di balik bumi. Perlahan lahan kutatap perjalanannya nan indah seiring napasku untuk memasuki alam konsetrasi. Ketika semua gelap aku menutup mata, seperti biasa kukatupkan ibu jari dan telunjukku, dan kuletakkan di atas pahaku di atas paduan telapak kakiku kuletakkan kerang mutiara pemberian Mpu Kuturan.

Kupusatkan perhatian dan pendengaranku pada suara deburan ombak dan alunan napasku. Bayangan mutiara di pangkuanku, dalam imajinasiku menuntunku, pada suatu kejadian bagaimana terjadinya sebutir mutiara. Kerang itu hidup di dasar lautan yang yang dalam berair asin, yang melambangkan dia berada dalam kesunyian dan kedalaman dasar samudra jati dirinya. Dia tidak pernah naik ke permukaan laut, melainkan membenamkan diri di pasir laut. Dia hanya diam di laut asin dengan hanya membuka mulutnya.

 Dia pasrah, diam, tidak mau menyerang, tidak pernah mencari risiko bahaya dan tak pernah bertempur dengan sesama kerang dan binatang laut lainnya. Jika ada serangan dia hanya mengatupkan kedua cangkangnya, itulah caranya dia melindungi diri dari bahaya. Meskipun dia hidup di dasar laut, dagingnya tidak asin sebagaimana binatang laut lainnya. Jika dia terluka dia membalut lukanya dengan lendir dan lama kelamaan akan membentuk mutiara nan indah, mutiara itu cemerlang karena hasil dari penderitaannya. Berada di tengah, di antara kedua cangkangnya yang kokoh kuat.

Sifat alamiah kerang ini membuka cakrawala permenunganku semakin menukik akan arti kehidupan dan jati diriku agar menjadi seperti kerang. Kerang mutiara ini menggambarkan kesejatian manusia. Kedua cangkang atau cangkok melambangkan kekuatan sifat dasar.

Cangkang bawah lambang sikap pasrah dan penyerahan diri secara total pada penyelenggaraan Ilahi dan Sabda Tuhan. Cangkang atas melambangkan iman kepercayaan yang teguh pada kehendak Tuhan. Jika kedua pokok jati diri dan kehidupan ini disatukan, segala masalah, persoalan hidup, rintangan, dan tantangan akan terjawab dan terselesaikan.

Secara adikodrati kedua cangkang mutiara ini dalam khasanah persilatan kejawen disebut bapa angkasa dan ibu pertiwi, demikian yang kupelajari dalam ilmu Liman Seto, yang berbunyi Sir dan Hu (jika dibaca) yang dalam penghayatannya termasuk PAL DWI PONGGO SETO.

Liman  Seto  (  Lukisan  Bp.Y.P  Sukiyanto )
Liman  Seto  (  Lukisan  Bp.Y.P  Sukiyanto )

Sikap diam membuka cangkang berarti mendiamkan cipta, rasa serta karsa, membuka hati hanya kepada Tuhan, siap sedia menerima apa saja yang melewati kehidupannya, dirinya, namun hanya mengambil apa yang dianugerahkan Tuhan. Menjauhkan diri dan tidak menginginkan akan apa yang bukan miliknya, haknya, tidak memohon kepada siapa pun selain Tuhan.

Sikap membenamkan diri dalam pasir atau lumpur di dasar laut merupakan lambang sikap melepaskan diri dari keduniawian, yang dalam bahasa Jawa disebut mati raga; mematikan kenafsuan raga = mati sajroning urip, kematian dalam kehidupan. Sikap ini selanjutnya dapat dikembangkan menjadi kerinduan akan kematian; kematian dari nafsu dunia, kematian dari egoisme diri dan akhirnya memuncak pada kerinduan akan kematian badan, karena hanya dengan kematian badanlah roh kita bersatu dengan Tuhan dalam kemuliaan-Nya.

Dalam kehidupan ungkapan sifat ini mendorong setiap manusia untuk rindu akan Tuhan dan bertekad untuk melaksanakan kehendak Tuhan SOLI DEO = semua hanya untuk Tuhan, atau AMDG Amrih Minulya Dalem Gusti (Jawa) , Ad Mayorem Dei Gloriam (Latin) yang berarti semua untuk kemuliaan Tuhan. Sama seperti peristiwa penyaliban yang dilakukan oleh Yesus Sang Yoshua Emmanuel yang hanya memenuhi kehendak Bapa-Nya selama hidup di dunia ini.

Dasar laut bermakna mendalami pengertian dan pengetahuan akan kehidupan yang tak berwujud, maya tak tampak di permukaan. Sedangkan air laut yang asin melambangkan kehidupan dunia yang penuh aneka asinnya persoalan yang menyangkut emosi dan makna, makna berdasarkan cipta, rasa, dan karsa.

Mutiara yang dihasilkan adalah kekuatan berkat Tuhan. Talenta, bakat, harta kurnia yang sudah ada dalam diri manusia jika ditempa kesulitan, kesukaran, penderitaan akan terasah dan terpupuk oleh kesuburan iman. Persatuan dengan Tuhan semakin lama makin besar, cemerlang dan indah seperti kekuatan iman yang dimiliki oleh Sang Dewi Perawan Sinuci. Mutiara ini ada di dalam kerang, namun tidak digunakan oleh kerang itu sendiri. Mutiara itu akan diserahkan kepada yang mau mengambil, kepada orang lain sebagai hiasan bagi manusia. Mutiara adalah kotoran kerang yang menggumpal, dengan kata lain manusia wajib menggali hal-hal yang bagi dirinya mungkin tidak berguna.

Kusadari hasil permenungan meditasi ini merupakan berkat Triratna. Tri artinya tiga dan ratna adalah mutiara, dan ini mengandung makna TRI PUSAT KEHIDUPAN yakni TUHAN, MANUSIA, dan ALAM SEMESTA. Apa yang kuperoleh begitu bermakna dalam mengarungi kehidupan, namun bukan untuk diriku sendiri sebagaimana kerang mutiara, melainkan untuk orang lain. Mutiara itu terbentuk dalam waktu lama dan menggumpal sedikit demi sedikit, dalam lelah dan penderitaan olah jiwa, raga, dan kerohanian. Namun semua itu harus dipersembahkan bagi kesejahteraan marcapada seisinya.

Energy  Cinta  dari  Tuhan  (  Pixabay.com )
Energy  Cinta  dari  Tuhan  (  Pixabay.com )

 Bahkan berkat Triratna ini tidak pernah terasa bagi diri sendiri. Jika mutiara itu diambil akan ada rasa sakit, dan untuk membuat/menciptakan mutiara yang baru, si kerang tidak bisa seketika membentuk kembali perlu waktu dan proses penyediaan diri yang lama, harus menunggu proses alamiah.

Berkat Tri Ratna pada manusia tak akan habis walaupun digunakan berjuta sebanyak mungkin, sebab berkat ini adalah manifestasi rahmat serta kasih sayang Tuhan yang tak pernah habis, karena berkat itu berasal dari sumber telaga cinta sejati yang tak pernah kering untuk diambil, dan sang pemilik berkat mutiara sudah tidak membutuhkannya lagi.

Aku terperenyak dalam meditasiku tepat pada pukul tiga dini hari, kuhangatkan mukaku dengan usapan gosokan tanganku seusai meditasi. Malam ini purnama kembali menerangi Tanah Lot yang suasananya seperti Nirwana Indra Loka. Kubasuh tubuhku dengan segarnya air laut Tanah Lot. Entahlah, tiba-tiba aku ingin mengidungkan lagu dolanan yang diajarkan oleh Eyang Narotama sewaktu aku masih kecil yaitu lagu Lir-Ilir.

 Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir

tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar

cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi

lunyu-lunyu penekna, kanggo masuh dodotira

Dadotira, dodotira, kumitir bedah ing pinggir

domana jumatana kanggo sebo mengko sore

Mumpung gedhe rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo sorako, sorak hore....

 

Arti kata:

Dodot = Kain yang diwiru depannya untuk busana pria

Domano = jahitlah

Jlumatana= tisiklah ( jahitan tangan yang halus )

Lagu itu sarat akan makna arti hidup. Lir ilir, dalam suasana yang menikmati angin rahmat Tuhan melihat segala tanaman nan menghijau penuh harapan, seperti harapan sang pengantin baru yang penuh serta siap menempuh cita-cita.

Sang anak gembala tolong ambilkan buah belimbing lambang kesegaran sekaligus keasaman hidup. Buah belimbing untuk membasuh pakaian hidup. Meski licin, tetap naiklah. Meski hidup tidak mudah, hadapilah, lakukanlah. Buah belimbing itu untuk membasuh, membersihkan, mencuci pakaian kehidupan. Jika pakaian itu rusak, sobek, segeralah diperbaiki, dijahit, untuk menghadap sang raja yang hadir nanti, artinya sebelum menghadap sang raja meski terjadi persiapan, pertobatan diri, dan pembersihan diri dari salah dan dosa.

Selagi rembulan bersinar terang, selagi kalangan rembulan memancar lebar. Lambang rahmat Tuhan yang senantiasa lembut memancar, mengajak hati manusia untuk menatapnya. Semua ini lambang kesiapan hidup manusia untuk menghadap Tuhan Sang Hyang Widhi, Sang Murbeng Jagad. Siap untuk dijemput, menyembah dengan pakaian jiwa yang bersih agar layak bersatu sebagai citra-NYa. TAMAT

 

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

27 Agustus, 2021

Artikel  ke  :  449

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun