"Maaf seribu maaf, Eyang, saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya
menghindar sewaktu mereka mengeroyok saya," jawabku.
"Mengapa mereka mengeroyokmu?"
"Mereka tadi meminjam kalungku, sudah kupinjami, tetapi tidak dikembalikan. Waktu saya memintanya kembali, mereka malah mempermainkan saya, tapi saya berhasil merebut kalung itu, Eyang," jawabku sambil menunduk.
"Lalu apa lagi yang terjadi?" tanya Eyang Mpu Barada.
"Mereka bertiga pulang, dan saya melanjutkan panen kacang, sewaktu saya pulang mereka bertiga mengeroyok saya, dan minta kalung saya. Mereka membawa tongkat pentungan, tali sabut, dan clurit. Setiap kali mereka memukul saya, saya menghindar dan gerakan itu memukul balik mereka hingga terluka!" jawabku.
"Sanggra, apakah kau merasakan adanya perubahan dalam dirimu?"
"Ya, Eyang, setiap gerakan saya lakukan untuk membela diri. Meski saya tidak bermaksud melukai, gerakan saya mengakibatkan mereka terluka, seolah tendangan, pukulan dari mereka jika saya hindari malah berbalik memukul mereka sendiri. Selain itu tubuh saya terasa ringan. Setiap kali saya bergerak ada energi luar biasa yang menyerang mereka."
"Nah, kamu tahu arti semua itu? Tenaga dalammu sudah matang. Olah kanuraganmu telah mencapai puncaknya. Kamu harus berhati-hati mempergunakannya, syukurlah kalau kamu menyadarinya. Suatu saat saya akan mengajakmu ke tempat para leluhur moyangmu di tanah Bali. Di pulau Dewata itu kamu bisa mempelajari sejarah para leluhurmu."
"Namun kami berdua memutuskan bahwa hari ini juga kamu harus kembali
ke padepokan Eyang Mpu. Sekarang kemasilah barang-barangmu."