Salam itu sama-sama mujarabnya dengan sapaan. Salam selalu mengandung aura positif untuk memberi berkat damai sejahtera bagi orang yang menerimanya. Sebagaimana Perawan Maria menerima salam dari Malaikat Gabriel, yang mewartakan kabar gembira bahwa dia akan mengandung sang Penebus. Salam itu menguatkan hati Maria walaupun dalam kenyataannya dia adalah seorang perawan suci tak ternoda dan belum bersuami.
Salam itu selalu memberi berkat dan kekuatan. Kesadaran untuk memberi salam adalah kesadaran bahwa manusia itu merupakan citra Allah yang menyalurkan berkat dan kebaikan bagi sesamanya. Ketika seseorang memberi salam, dia sudah berlaku ramah, sopan. Juga menghiasinya dengan senyuman. Bukankah semua itu indah. Segala sesuatu yang indah berasal dari Sang Hyang Widhi, Sang Murbeng Jagad yang selalu menebarkan kebaikan dan berkah bagi umat-Nya.
Berikutnya adalah sayang.
Dari senyuman, sapaan, dan salam, kemudian akan berkembang menjadi rasa sayang! Siapa orang yang tidak senang disayang? Semua orang tentu bahagia kalau ada yang menyayangi, bahkan ada orang yang sangat rindu untuk disayang. Orang yang mudah menyayangi sesamanya adalah orang yang dekat dengan kerajaan surga, karena Sang Hyang Widhi adalah Maha Penyayang. Bahkan karena rasa sayangnya kepada manusia, Dia berkenan menjelma menjadi seorang bayi yang lahir di kandang miskin di kota Betlehem demi menebus dosa manusia.
Anak Allah itu hidup di Nazareth, di Kafarnaum untuk mewartakan kerajaan Yahwe yang penuh kedamaian. Dia selalu berbuat baik kepada mereka yang sakit, menyembuhkan yang buta, kusta, membangkitkan mereka yang mati. Dia Allah yang menjelma sebagai pribadi Yesus, Isa sang Mesias. Sanggup dan taat sampai mati disalib karena sayangnya pada manusia dan mengembalikan harkat manusia yang telah hilang karena dosa.
Hubungan manusia yang sudah putus dari Sang Hyang Widhi tak mungkin kembali tersambung lagi kalau tidak ada sang Perantara yakni pribadi Allah sendiri yang rela menderita karena kasih sayang yang mencuat dalam rasa cinta tanpa syarat, dan kerinduan-Nya yang tak terkira untuk mengembalikan manusia pada citra-Nya yang sejati yakni Allah Tri Tunggal Maha Kudus. Meskipun Dia harus mati dan terbenam di rahim bumi selama tiga hari, dengan cara itulah segala nubuat para nabi dan semua yang tertulis dalam kitab Taurat, para nabi dan seluruh Kitab Suci terpenuhi dalam diri-Nya, Sang Maha Penyayang Sejati.
Hal penting yang kelima adalah ketulusan hati.Â
Ketulusan hati adalah saudara dari kemurnian, dan itu lahir dari sumber kesucian yakni sifat agung Sang Murbeng Jagad. Yahwe, Allah Ilohim, senantiasa tulus tanpa pamrih dan tanpa mengharap balasan jika menganugerahkan karunia yang melimpah kepada setiap makhluk-Nya. Jika seseorang berlaku tulus tanpa pamrih, dia mewarisi roh suci dalam dirinya dan wajib mengembangkannya, sebab sejak awal manusia telah diciptakan sesui dengan citra Allah dengan segala kemurnian, kesucian, dan kebaikan-Nya.
 Ketulusan hati akan menciptakan perdamaian, dan pada gilirannya mampu menghargai hak orang lain. Orang yang tulus hati dimampukan untuk mengalahkan egonya sehingga dia berjalan dalam kebenaran hidup. Dia tidak mungkin tega untuk korupsi, berlaku kotor, dan merampas hak sesamanya. Dia akan cenderung selalu lembut hati dan berjiwa menolong sesamanya yang kesrakat atau sedang dalam kesulitan dan butuh bantuan.
Demikian petuah Eyang Ambar Kenanga pun purna. Wejangannya itu disampaikan kepada kami pada saat bulan purnama memancarkan sinarnya. Dengan sepenuh hati, kuserap dan kucercap semua petuah yang memperkaya kehidupan rohaniku.Â
 ( Bersambung )Â