Purnama  Sempurna  Ajaran  Wadak
Cerita  sebelumnya :
"Kalau ingin makan enak tempatnya tidak di sini, Sekung, di sini tempat untuk menempa diri dan oleh kanuragan," sahut salah satu cantrik yang kukenal dengan nama Menur. Â ( Â Bersambung )
 Malam purnama, kami dikumpulkan di padepokan tengah. Eyang mengadakan pendadaran mengenai budaya yang mesti dilakukan dan disebarkan bagi seluruh penghuni padepokan.
Kebudayaan itu mengobarkan keramahtamahan dengan senyum, sapa, salam, sayang, setulus hati bagi seluruh warga. Pertama Eyang menguraikan tentang senyum.
Senyum adalah anugerah Tuhan yang menawan. Karena diakaruniakan Tuhan secara gratis, cuma-cuma, tidak usah beli, lho. Senyum tanda bahwa kita dikasihi Tuhan secara pribadi. Itulah sebabnya kehadiran kita di dunia ini sebagai penyalur kebaikan Tuhan lewat tanda yang jelas yakni senyuman.
Setiap orang bisa tersenyum, kalau dia mau, tentunya. Mungkin ada orang yang beranggapan senyum itu hal yang kecil, sepele. Namun, senyum memiliki kekuatan yang luar biasa! Senyuman akan membuka dunia baru bagiku dan orang lain.
Karena dengan seulas senyum, aku mengisyaratkan kepada orang lain, bahkan yang belum kukenal, suatu kesukaan, kegembiraan, kepedulian, menerima, simpati, rasa bersahabat pada orang yang kuberi senyum. Senyum bisa dilakukan oleh siapa saja, juga oleh bayi yang baru lahir.
Karena senyuman adalah anugerah yang otentik dari Allah, manusia tidak perlu belajar untuk tersenyum. Hanya perlu melakukannya dan sadar untuk selalu tersenyum. Sebab senyum adalah tanda kasih bagi siapa saja.
Senyum mengandung muatan niat atau ujud, motivasi, rasa kesadaran menuju keagungan serta kemuliaan pada Yang Mutlak yakni Sang Khalik sebagai pusat dan keberadaan kesadaran tertinggi. Dengan tersenyum orang punya niat untuk memberi dan menyebarkan kegembiraan, menunjukkan kebahagiaan.
Bagi anak-anak belum ada kesadaran untuk memberi. Pada diri bayi mungil, tersenyum merupakan anugerah hakiki untuk berbagi keindahan, kegembiraan, dan kebahagiaan secara spontan. Dia kaya karena anugerah Allah yang telah diterimanya Senyum sebagai ujud atau motivasi ini disadari oleh orang yang sudah bisa membedakan yang baik dan yang terbaik.
Â
Dia ingin memberi, menyemangati, dan berbagi kebahagiaan dengan senyumannya. Entah itu memberi motivasi kepada diri sendiri maupun sesamanya. Senyum akan merobohkan tembok keangkuhan dan sikap dingin seseorang. Selain itu yang terpenting orang yang tersenyum adalah orang yang tidak sombong. Dia beretiket baik, punya ketulusan untuk memberi dan bersahabat serta menerima orang lain.
Senyum yang dimaksud di sini tentu saja senyum yang manis, tulus, dan muncul dari kedalaman hati yang murni dan tanpa pamrih apa pun.
Dengan senyuman seseorang membuka dirinya pada sesuatu yang indah. Jika senyumanku dibalas, akan ada reaksi positif yang beruntut yang akan membuahkan berkat. Misalnya, orang menjadi berani mendekat dan berkenalan, bertanya, lalu terjadi sharing antar kedua pribadi atau lebih. Seandainya senyumanku tidak ditanggapi orang, aku juga tidak rugi. Karena aku tidak pernah membeli senyuman itu dari Tuhan.
Itu anugerah semata yang perlu kusadari bahwa dengan tersenyum aku ikut ambil bagian untuk mencerahkan dunia, agar semakin menjadi tempat yang indah dan damai. Itulah tugas perutusan Tuhan yang perlu kusadari secara terus menerus.
Senyum tidak dapat dibeli dengan kekuasaan ataupun uang sebanyak apa pun. Betapa menderitanya seseorang yang tidak bisa tersenyum, karena dia tidak dapat menyadari, mengalami dan mentransfer anugerah Tuhan yang indah. Senyuman menjernihkan hati dan mecairkan suasana untuk menjadi enak dan nyaman, membuat orang yang dekat dengan kita merasa aman, kerasan, dan diterima. Tentu orang akan memilih orang yang tersenyum daripada yang cemberut.
Senyum adalah milik orang yang rendah hati, pasrah, bersemangat, kerasan, dan menerima keberadaannya, serta penuh syukur atas anugerah Tuhan. Lihatlah seorang anak kecil yang melihat kupu-kupu, capung terbang, atau sedang dalam keadaan senang, pasti dia dengan spontan akan tersenyum atau tertawa riang. Dia riang dan tidak butuh pujian! Dengan polos apa adanya dia menunjukkan bahwa hatinya gembira, bahagia....
Begitu pula dengan orang yang tersenyum. Dia tidak butuh pujian apakah senyumnya manis atau menunjukkan kebaikan hati. Yang jelas dengan tersenyum kecantikan atau ketampanan rahmat Tuhan yang ada dalam diri seseorang telah terpancar. Kebahagiaan dan kegembiraan pun terpancar lewat seulas senyum, ramah menyapa. Siapakah yang tidak senang dengan senyuman? Tentu dapat dibilang orang tersebut tidak normal. Entah apa gerangan yang membelenggunya sehingga dia tidak mampu untuk tersenyum.
Tersenyumlah, maka dunia pun akan tersenyum padamu. Kegembiraan dan kebahagiaanmu akan penuh sebagai putra putri Bapa yang Maha Baik yang telah mencintai kita tanpa syarat. Hal yang patut diingat adalah jangan tersenyum sendiri. Karena senyum itu adakah kasih, pasti ada seseorang yang diberi kasih itu. Semoga senyuman kita membawa berkah dan kebahagiaan bagi yang menerimanya.
Hal kedua yang dijelaskan Eyang adalah sapaan.
Sapaan adalah bentuk perhatian, penghargaan, dan respek terhadap kehadiran sesama. Orang yang disapa dengan ramah akan merasa berbesar hati karena kehadirannya bermakna, merasa keberadaannya diakui oleh orang lain. Itulah sebabnya sapaan perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam pergaulan, dan pertemanan.
Orang yang disapa merasa diterima sebagai keluarga sehingga merasa senang, damai, dan bahagia; perasaan positif yang tidak dapat dibeli dengan uang. Sapalah orang lain, maka teman dan sahabatmu akan bertambah. Dengan begitu kau sudah ikut andil dalam menciptakan kedamaian di bumi ini.
Hal ketiga yang juga penting adalah salam.
Salam itu sama-sama mujarabnya dengan sapaan. Salam selalu mengandung aura positif untuk memberi berkat damai sejahtera bagi orang yang menerimanya. Sebagaimana Perawan Maria menerima salam dari Malaikat Gabriel, yang mewartakan kabar gembira bahwa dia akan mengandung sang Penebus. Salam itu menguatkan hati Maria walaupun dalam kenyataannya dia adalah seorang perawan suci tak ternoda dan belum bersuami.
Salam itu selalu memberi berkat dan kekuatan. Kesadaran untuk memberi salam adalah kesadaran bahwa manusia itu merupakan citra Allah yang menyalurkan berkat dan kebaikan bagi sesamanya. Ketika seseorang memberi salam, dia sudah berlaku ramah, sopan. Juga menghiasinya dengan senyuman. Bukankah semua itu indah. Segala sesuatu yang indah berasal dari Sang Hyang Widhi, Sang Murbeng Jagad yang selalu menebarkan kebaikan dan berkah bagi umat-Nya.
Berikutnya adalah sayang.
Dari senyuman, sapaan, dan salam, kemudian akan berkembang menjadi rasa sayang! Siapa orang yang tidak senang disayang? Semua orang tentu bahagia kalau ada yang menyayangi, bahkan ada orang yang sangat rindu untuk disayang. Orang yang mudah menyayangi sesamanya adalah orang yang dekat dengan kerajaan surga, karena Sang Hyang Widhi adalah Maha Penyayang. Bahkan karena rasa sayangnya kepada manusia, Dia berkenan menjelma menjadi seorang bayi yang lahir di kandang miskin di kota Betlehem demi menebus dosa manusia.
Anak Allah itu hidup di Nazareth, di Kafarnaum untuk mewartakan kerajaan Yahwe yang penuh kedamaian. Dia selalu berbuat baik kepada mereka yang sakit, menyembuhkan yang buta, kusta, membangkitkan mereka yang mati. Dia Allah yang menjelma sebagai pribadi Yesus, Isa sang Mesias. Sanggup dan taat sampai mati disalib karena sayangnya pada manusia dan mengembalikan harkat manusia yang telah hilang karena dosa.
Hubungan manusia yang sudah putus dari Sang Hyang Widhi tak mungkin kembali tersambung lagi kalau tidak ada sang Perantara yakni pribadi Allah sendiri yang rela menderita karena kasih sayang yang mencuat dalam rasa cinta tanpa syarat, dan kerinduan-Nya yang tak terkira untuk mengembalikan manusia pada citra-Nya yang sejati yakni Allah Tri Tunggal Maha Kudus. Meskipun Dia harus mati dan terbenam di rahim bumi selama tiga hari, dengan cara itulah segala nubuat para nabi dan semua yang tertulis dalam kitab Taurat, para nabi dan seluruh Kitab Suci terpenuhi dalam diri-Nya, Sang Maha Penyayang Sejati.
Hal penting yang kelima adalah ketulusan hati.Â
Ketulusan hati adalah saudara dari kemurnian, dan itu lahir dari sumber kesucian yakni sifat agung Sang Murbeng Jagad. Yahwe, Allah Ilohim, senantiasa tulus tanpa pamrih dan tanpa mengharap balasan jika menganugerahkan karunia yang melimpah kepada setiap makhluk-Nya. Jika seseorang berlaku tulus tanpa pamrih, dia mewarisi roh suci dalam dirinya dan wajib mengembangkannya, sebab sejak awal manusia telah diciptakan sesui dengan citra Allah dengan segala kemurnian, kesucian, dan kebaikan-Nya.
 Ketulusan hati akan menciptakan perdamaian, dan pada gilirannya mampu menghargai hak orang lain. Orang yang tulus hati dimampukan untuk mengalahkan egonya sehingga dia berjalan dalam kebenaran hidup. Dia tidak mungkin tega untuk korupsi, berlaku kotor, dan merampas hak sesamanya. Dia akan cenderung selalu lembut hati dan berjiwa menolong sesamanya yang kesrakat atau sedang dalam kesulitan dan butuh bantuan.
Demikian petuah Eyang Ambar Kenanga pun purna. Wejangannya itu disampaikan kepada kami pada saat bulan purnama memancarkan sinarnya. Dengan sepenuh hati, kuserap dan kucercap semua petuah yang memperkaya kehidupan rohaniku.Â
 ( Bersambung )Â
Â
Oleh  : Sr. Maria  Monika  Ekowati  SND
19, Agustus, 2021
Artikel  ke : 442
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H