"Justru itu. Walau aku perempuan, aku akan menolong penduduk desa dan
melawan maling yang menyengsarakan rakyat seperti kalian."
"Akan aku tunjukkan ilmuku bahwa aku bisa melawan kamu, ayo dimas kita
 matakaji,"sahut satunya.
"Kalau kalian ingin menantangku oke aku ladeni," jawabku tegas, "meskipun aku seorang perempuan aku tidak takut menghadapimu walaupun kamu memiliki ilmu maling genthiri manyusup cahya."
Mereka tampak kaget mendengar suara asliku dan mengetahui bahwa aku tahu ilmu yang mereka pakai.
"Ayo, Di, kita bersemadi."
"Ayo," jawab si jangkung.
Begitu mereka duduk bersemadi cepat-cepat kusabet dengan batang daun kelor dan kulempar potongan tunas pisang. Roh mereka yang belum siap sempurna menjadi lemas, membuat mereka tidak bisa berpikir lagi dan jatuh pingsan. Lalu kusandarkan mereka di pohon pisang. Dengan cara itu mereka lemas tidak bergerak.
Pagi menjelang diselimuti kabut. Embun masih menempel di dedaunan bak mutiara yang berayun-ayun, begitu jernih bening cemerlang. Penduduk mulai desa mengawali kegiatannya ketika ayam jantan mulai berkokok. Mereka siap pergi ke pasar, sawah, dan ladang sebagai tempat kerjanya.