Kubawa lembaran daun pisang dan batang daun kelor yang masih rimbun daunnya, aku berjalan bagai terbang mendekati rumah itu, tidak sampai lima menit aku sudah berada di tempat. Ternyata ada tiga orang yang akan merampok rumah itu, dua orang yang punya aji-aji manyusup cahya, dan yang lain tidak, hanya punya keberanian saja dan dia membawa parang yang tajam.
Rupanya mereka sudah menyirep semua orang yang tinggal di rumah itu agar tidur lelap. Mereka meyebarkan delu, dan seisi rumah pun terbuai dalam nyenyak tidurnya. Rupanya kedua orang itu sudah mulai matak aji dengan duduk bersila dan memulai mengeluarkan ajinya. Kubiarkan saja mereka melakukan semua itu.
Aku berdiri tak jauh dari mereka. Aku ingin tahu bagaimana mereka menggunakan ajian itu. Ternyata cukup rumit bagaimana mereka sampai sempurna menggunakan ajian maling genthiri manyusup cahya. Kubiarkan mereka sempurna menggunakan ajian dan masuk rumah hanya melalui bias cahaya lampu teplok. Sungguh mengagumkan badannya menyusup begitu ringan seperti asap yang masuk menusuk sinar cahaya.
Apa yang pernah kudengar dari cerita kini dapat kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Kubiarkan apa yang dilakukan sementara seorang yang tinggal di luar berdiri sambil menengok kanan kiri takut ketahuan, aku mencoba mendekatinya, menggoda menjewer telinganya, dia ketakutan kuulangi lagi yang sebelah kiri, dia mulai grogi tapi tak berani bersuara. Kucubit kakinya, dia mulai ketakutan karena dia tidak tidak bisa melihatku, tapi bisa merasakan cubitan itu.
Aku melihat dia mulai terkencing-kencing, dia benar-benar takut tapi tidak berani berteriak. Parang yang dibawanya terjatuh dan kuambil. Karena dia tidak bisa melihatku, semakin aku ingin menggodanya dengan menyentuhkan parang itu ke hidunganya, dia benar-benar ketakutan sampai pingsan.
Sekarang aku tinggal menunggu dua pencuri yang sedang beroperasi itu menyikat barang-barang yang ada di rumah Pak Marto. Dua pencuri itu keluar melalui pintu karena dia membawa barang-barang yang dibungkus kain, begitu mereka keluar, kusabet dengan dengan selendang yang kupakai.
Â
Mereka kebingungan mencari dari mana arah sabetan itu tapi dia tidak bisa melihat di mana aku berada. Satu per satu mereka kupermainkan sehingga semua barang yang mereka bawa diletakkan. Kudengar mereka saling berbisik pelan karena takut kalau menimbulkan kegaduhan.
Â
"Kamu merasakan sabetan selendang, tidak?" tanya maling genthiri yang
  jangkung.