Ubi jalar itu kami santap dengan lahap, karena tenaga kami cukup terkuras untuk menumbuk padi. Di bawah pohon kecik itu kami saling menceritakan asal kami masing-masing. Ternyata mereka ada yang sudah tiga tahun tinggal di sini, ada yang satu tahun, lima bulan, tiga bulan, satu bulan, bahkan baru dua hari, yang tak lain diriku sendiri. Dari pembicaraan mereka, aku tahu teman-teman baruku ini berasal dari kalangan berada yang ingin ngangsu kawruh, belajar segala ilmu terutama ilmu kanuragan.
Tak sedikit dari mereka yang orangtuanya lurah, camat, wedana, bahkan bupati. Dalam rekreasi dan rasa santai itu kupandangi wajah temanku satu per satu. Mereka cantik, manis, dan anggun. Itu sangat menjelaskan asal-usul mereka sebagai anak orang terdidik dan dari keluarga berkecukupan.
Ketika pikiranku masih sibuk menghafal nama teman-temanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sapaan Sekar Kinasih, "Asalmu dari mana, Sanggra?"
"Aku ... aku ... dari daerah Daha," jawabku gugup karena pertanyaan dari Sekar yang begitu tiba-tiba.
"Apa pekerjaan ayahmu?"
"Oh, bapakku menjadi demang di Kerajaan Daha."
Duh Gusti, ampun, pikirku. Aku terpaksa berbohong karena aku tidak ingin mereka tahu jati diriku, sebagai calon ratu Kerajaan Daha.
"Kulitmu halus, Sanggra, sepertinya akrab dengan bahan lulur pilihan," celetuk Diah Hapsari. "Wajahmu juga sangat cantik, seperti putri keraton."
"Terima kasih," jawabku sopan.
Jantungku berdegup kencang mendengar pujian mereka. Bukan, bukan karena pujian itu, melainkan karena aku takut jati diriku terbongkar. Rupanya mereka menangkap aura bahwa aku berasal dari keluarga kalangan kerajaan yang jauh berbeda dari pengakuanku.
"Aku hanya biasa menggunakan bedak dempo (bedak dingin) yang dibuat oleh nenekku, dan lulur pun aku bisa buat sendiri. Nanti kuajari kalian membuat minyak cem-ceman kalau kalian mau."