Para cantrik menyambut kami dengan menyembah. Mereka bersikukuh menyembah walaupun sudah dilarang oleh Eyang Paman Narotama dengan isyarat untuk tidak melakukannya.
 Aku mengenakan kain panjang motif sido mukti dan kemben seperti gadis desa layaknya. Aku juga tidak mengenakan bunga di rambut ataupun bedak tabur buatan ibunda ratu. Jadi penampilanku terlihat lugu, sederhana, dan apa adanya. Itu kulalukan dengan sengaja, sebab aku sudah diperingatkan untuk tidak menunjukkan jati diri kepada siapa pun.
Salah seorang cantrik yang menyambutku, berkata bahwa pada jam-jam pagi seperti ini Eyang Mpu Baradha belum beranjak dari meditasinya. Kami pun menunggu di pendopo yang beralas tikar pandan ditemani suguhan getuk gulingan yang terkenal halusnya, yang dibuat dari ketela pohon dengan gula jawa, dan teh hangat dengan gula aren sebagai minumannya.
 Sungguh sarapan pagi yang nikmat. Belum pernah aku makan getuk yang begitu enak. Belum puas aku mencicipi, tiba-tiba salah seorang cantrik datang membawa getuk berwarna hitam yang masih hangat, lalu mempersilakan kami untuk mencicipinya.
Menurut Eyang Narotama getuk ini diberi adas sehingga rasanya semriwing melegakan tenggorokan, juga dicambur air merang (batang padi yang dibakar) sehingga getuk itu berwarna hitam dan memiliki rasa yang khas.
Eyang mempersilakan aku untuk mencicipinya, dan ternyata rasanya
memang luar biasa enak. Itu terkenal sebagai gethuk Nggulingan.
Tak lama kemudian, dari ruang dalam muncullah seorang yang gagah
perkasa. Itulah Eyang Mpu Baradha yang sudah berusia 76 tahun, tapi masih
terlihat seperti baru berusia 35 tahun. Eyang Paman Narotama menghaturkan
sembah, dan mereka berdua saling berpelukan sebagai tanda perjumpaan