Konon, menurut cerita rakyat, blora berasal dari kata belor yang berarti lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama blora. Jadi nama blora berarti tanah rendah berair, dan ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Blora adalah tanah rendah dan berlumpur yang seharusnya digenangi banjir setiap tahunnya. Namun karena Blora merupakan tempat kediaman Maha Mpu Baradha dan Bagawan Sidik Waskitho yang teramat sakti. Kedua orang yang begitu berpengaruh ini juga mengajak rakyat untuk sadar diri melakukan tirakatan, untuk membentuk tanah Blora yang datar agar membukit bentuknya seperti belahan tempurung kelapa yang terkurap, atau istilah Jawanya bathok mengkurep.
 Agar dapat membentuk  tanah Blora seperti itu kedua orang sakti bersama sukarelawan dari rakyat melakukan laku tapa dan mati raga yang disebut ngebleng pati geni (puasa tanpa henti dalam kegelapan cahaya, supaya nurani kita merindukan cahaya sejati yang berasal dari Sang Sumber Cahaya).
Apa yang diharapkan rakyat terwujud. Blora berbentuk seperti bathok mengkurep dengan puncak tertinggi di tengah alun-alun kota Blora. Dan Blora pun bebas banjir. Seandainya terjadi banjir, rakyat bisa mengungsi di alun-alun. Itulah sebabnya, jika seseorang berada di alun-alun kota Blora, dia akan melihat dari setiap pujuru mata angin jalannya menurun, sebab alun-alun itu menjadi puncak tertinggi.
Selain itu, dengan kesadaran tinggi penduduk untuk mencintai alam semesta dan lingkungannya, dan atas dorongan dari kedua orang sakti mandraguna itu, rakyat Blora membentengi wilayahnya dengan menanam pohon jati.
Blora dikelilingi hutan jati yang hasilnya sudah sangat terkenal di seluruh dunia, terutama di Nusantara. Apa yang pernah diceritakan oleh ayahanda prabu padaku kini dapat kulihat dan kusaksikan sendiri sewaktu mengelilingi Blora di atas Jatayu.
 Hutan jati membentang sejauh mata memandang mengitari Kadipaten Blora mulai dari arah timur, dari Cepu sampai Jepon, wilayah barat dari perbatasan Purwodadi sampai Ngawen, dari arah utara dari Sulang sampai Ngampel, dari arah selatan, mulai Randublatung sampai daerah Klopo Duwur (Kelapa Tinggi), semua ditumbuhi banyak pepohonan terutama pohon jati yang lebat.
Selain jati, ada juga pepohonan lain seperti lamtoro gung, mahoni, trembesi, meh yang menghasilkan batang kayu besar. Tak mengherankan jika kualitas kayu jati Blora sangat terkenal karena sudah tumbuh puluhan tahun. Anehnya kayu jati tidak bagus dibuat arang dan untuk kayu bakar, yang paling bagus dibuat arang adalah kayu dari pohon mlanding yang masih termasuk rumpun lamtoro.
 Mungkin ini sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widhi dan hukum alam, sehingga masyarakat Blora yang tinggal di pelosok desa pedalaman dan tinggal di dekat hutan pada umumnya, yang mata pencahariannya dengan membuat dan menjual arang, tidak menebang pohon jati sembarangan untuk dijadikan arang.
 Arang dari kayu jati mudah keropos dan sangat ringan, tidak akan tahan lama untuk bahan bakar. Itulah sebabnya para penjual arang menanam pohon mlanding dan mahoni di halaman rumah dan pekarangan mereka, juga di setiap tanah kosong dan hutan di sela-sela pohon jati. Dengan demikian kelestarian alam tetap terpelihara, suhu udara dan kesuburan tanah juga terjaga. ( Bersambung)
Â