Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 21 Hijrah ke Blora 1

4 Agustus 2021   14:32 Diperbarui: 4 Agustus 2021   14:46 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semburat Putih  Pelangi  Kasih (  Lukisan  Bp.Y.P.Sukiyanto )

Hijrah  ke  Blora   ( 1 )

Cerita  sebelumnya :

Makanan itu untuk bancakan, dibagikan kepada para keluarga besar istana, para punggawa, para dayang dan warga sekitar agar ikut merasakan syukuran bahwa aku terbebas dari 'malapetaka' pinangan dari Lembu Suro.

Setelah upacara selesai, Romo Prabu tidak menunggu lama lagi. Aku pun segera dikirim ke tempat Eyang Maha Mpu Barada.

 ( Bersambung )

Fajar belum menyingsing ketika aku berada di halaman tengah. Romo, Ibunda Ratu, Paman Narotama, dan Bibi Sekar Tanjung sudah menanti. Aku pun menghatur sembah dan mohon pamit. Kurasakan air mata Romo Prabu dan Ibunda Ratu menitik ketika memeluk dan menciumku. Bagiku ini perpisahan pertama, pergi jauh dari orangtuaku menuju daerah paran, jauh dari istana.

Aku diantar Eyang Mpu Narotama ke daerah Blora dengan kendaraan Jatayu. Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa. Sebelumnya aku disuruh mati raga dan berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam, hanya boleh makan ubi jalar dan buah-buah, serta minum air putih. Sebelumnya dilakukan upacara ruwatan dengan mandi kembang setaman pada tengah malam. Puasa dan tirakatan itu kulakukan sebelum aku mengalami kejadian pertemuanku dengan Lembu Suro.

Aku merasakan betapa beratnya godaan melawan hawa nafsu, biasanya aku tahan untuk tidak makan, namun saat aku bermati raga dan berpuasa, rasa lapar itu melilit perutku dan meresahkan perasaanku.

Aku jadi ingat nasihat Romo Prabu dan Ibunda Ratu bahwa justru saat perutku keroncongan dan melilit, aku tidak boleh menyerah. Aku tidak boleh tidur, tidak boleh kelihatan kusut, justru harus terlihat bugar supaya orang tidak tahu kalau aku sedang laku tapa.

Aku hanya makan pada pukul enam pagi dan enam sore, selebihnya hanya boleh minum air. Para malam hari aku melakukan pati geni. Pengalaman indah yang kualami dari hari ke hari memuncak sampai aku dibalut sinar terang semburat ungu, yang lama-kelamaan berubah menjadi putih terang. Itulah paduan sinar pelangi yang menyelimuti aura setiap orang.

Paduan warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu kalau diputar dengan cepat akan terlihat menjadi satu warna yakni putih. Aura manusia perlu ditingkatkan daya tahannya supaya seseorang menjadi kalis atau tahan; terbebas dari sakit penyakit dan gangguan makhluk lain, terutama makhluk halus yang berniat buruk agar manusia jatuh ke dalam hidup maksiat atau dalam dosa.

 Aura bisa dikembangkan kalau seseorang rajin bermeditasi, berkomtemplasi, atau yoganidra di tepi laut, air terjun, pengunungan, dan tempat yang sejuk nyaman, lapang, kebun yang indah. Dalam keheningan dan sadar diri yang hanya bermohon pada curahan rahmat yang kuasa, maka aura itu akan menebal bersinar tajam menjaga daya tahan dari gangguan musuh jasmani dan rohani seseorang.


Setelah empat hari puasa tanpa putus, malamnya aku ditemani Eyang Narotama dan Eyang Sekar Tanjung berkeliling seluruh wilayah kerajaan dengan telanjang kaki di tengah malam tepat pukul 00.00 hingga 03.00. Banyak hal-hal yang aneh yang kualami, memang aku dibiarkannya jalan sendiri, dari jauh eyang berdua mengiringiku. Kadang aku melihat ada bayangan raksasa yang menghalangiku, aku bertemu juga pocong dan genderuwo, wewe, bahkan banaspati atau lampor.

 Aku diam saja. Sebelumnya aku sudah diberi tahu Ibunda Ratu dan Ayahanda Prabu, bahwa kalau terjadi apa-apa saat aku laku tapa, aku harus menghadapinya dengan tenang dan menyebut, "Bapa angkasa, ibu pertiwi, Gusti Kang Murbeng Jagad, Samaratungga mohon doa restu". Dengan mengucapkan itu yang kutemui akan terlempar jauh, seolah aku ini mengeluarkan angin panas bagi mereka.

Jam tiga tepat aku sampai di pendopo keraton. Aku masuk keputren dan membuka seluruh kembenku untuk melakukan yoganidra dalam keadaan telanjang bulat. Aku kembali pada jati diriku seperti saat aku dilahirkan, dengan mata terpejam semua menjadi terang kembali.

 Semburat sinar indah warna ungu menyelimutiku dan akhirnya menjadi putih cemerlang melingkupiku, sehingga orang lain tidak dapat melihat tubuhku karena silau oleh sinar terang yang terpancar itu.

 Anehnya, tubuhku terasa ringan dan terangkat dari batu tempatku duduk di tengah taman keputren. Aku merasa ada sinar yang setajam pedang namun lembut menembus ubun-ubun, merasuk hangat ke dalam nubariku.

 Sinar itu menyambung ke tanganku yang terbuka, tiga pancaran sinar Ilahi yang menyatukan tiga lintang atau tiga cakra utama yang ada di dalam tubuhku. Keajaiban yang luar biasa kualami, aku hanya dapat menghaturkan sembah dan syukurku pada Gusti penguasa alam semesta yang telah menunjukkan segala karunianya padaku.

Sebelum mentari muncul dalam kesetiaan menyemarakkan pagi dengan sinar indahnya, aku sudah mengakhiri yoganidraku, dan mandi keramas kembang setaman."

Setelah berakhirnya laku tapa, seharian aku diajak jalan-jalan naik kereta kencana keliling kerajaan bersama Romo Prabu dan Ibunda Ratu. Padahal, malam sebelumnya aku berjalan kaki, dan semestinya perjalanan mengelilingi istana itu bisa memakan waktu lima belas jam. Rasanya tadi malam langkahku secepat bayu sumirat, begitu ringan, lembut, cepat melangkah, aku merasa setengah terbang dalam berjalan, itulah hadiah yang kudapat dari laku tapaku. Semakin hatiku murni dan tujuanku luhur, semakin bertambah karunia yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi lewat kukuatan alam.

Pagi ini pukul 09.00 saya mulai keliling naik kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda putih, kuda pilihan yang telah dilatih khusus untuk menarik kereta kencana. Rakyat sudah berjajar memenuhi jalan untuk melihat raja dan ratunya, serta calon ratunya berkeliling istana. Aku terharu melihat sambutan rakyat. Ini semua karena kedekatan Ayahanda Prabu dan Ibunda Ratu terhadap rakyatnya.

Mereka pernah menasihatiku, "Jangan sampai membedakan pangkat atau derajat seseorang. Di mata Sang Murbeng Jagad, derajat seseorang itu sama saja, bukan karena kedudukannya.

Ada petinggi dan tidak berjiwa ningrat kalau dia hidup tidak benar, menipu, memeras memanipulasi, bahkan menjual dirinya hanya dengan beberapa keping uang supaya kaya, tapi batinnya, jiwanya miskin menderita dirajam siksaan batin. Sedang banyak orang yang hidupnya miskin, tapi derajatnya "ningrat" karena dia hidup jujur, tulus hati, apa adanya, selaras anatara antara cipta, rasa, dan karsanya. Harga dirinya tidak dapat dibeli dengan segepok uang.

 Maka yang terpenting itu membentuk karakter sejak kecil agar cipta, rasa, karsa seseorang menjadi selaras. Itulah yang membuat aku berusaha selalu sadar diri dalam bertutur kata dan bertindak. Aku pun selalu berusaha berlaku bijak.

"Kebijaksanaan adalah tetesan dari segala rasa sakit dalam kesadaran diri yang tidak mampu lagi menimbulkan luka, bahkan seseorang harus bisa mengubahnya menjadi bunga rasa syukur atas segala anugerah hidup." Itulah kata nasihat dari Ayahanda Prabu.

Sedangkan Ibunda Ratu memberikan nasihanya begini, "Kebijaksanaan adalah laku tapa terus-menerus dalam menerapkan setiap pengalaman hidup, seseorang harus bisa mengolahnya menjadi rasa syukur, yang selalu mengalir dari nurani menuju Sumber air Telaga Sejati Sang Hyang Widhi, sebagai penguasa kehidupan.  (  Bersambung )

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

4  Juli, 2021

Artikel  ke : 426

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun