Yoganidra ( 11 )
Cerita  sebelumnya :
Hatiku menjadi tenang dan damai, karena aku yakin pasti semua yang dijanjikan akan terlaksana. Kalau dia yang telah menginjak kepala ular lambang setan pembawa dosa yang mematikan, dia juga berkuasa sebagai pengantara rahmat Allah sang Khalik, untuk menggagalkan sesuatu yang akan menyerang putra-putrinya dalam roh. (  Bersambung  )
Aku tepekur dalam hening, makin wening, dan terdengar jelas bisikan di telingaku dari Eyang Mpu Barada. "Berdoa terus, cucunda, mohonlah kepada wanita cantik yang menemuimu, Eyang akan segera bertindak. Eyang merasa ada kekuatan dahsyat yang datang dari keluhuran adi kodrati bersekutu membantu Eyang. Berdoalah terus, cucunda, kita melawan kekuatan setan yang mahadahsyat, tetapi Eyang yakin, Yang Maha Kuasa akan menolong kita dengan rahmat-Nya yang luar biasa.
"Baik Eyang Maha Mpu Barada, cucunda akan tekun dalam doa."
Keheningan malam semakin pekat melarut sunyi, senyap meraup suara malam, Â sepi ... sepi tak berperi. Kudengar dengan jelas suara para bala setan dan iblis, jin, dan roh jahat lainnya yang saling memberi semangat untuk menggali sumur dengan komando Lembu Suro.
Saat itu juga tubuh Eyang Mpu Barada memancarkan sinar seperti matahari. Eyang Mpu berjalan mengelilingi setiap kampung sehingga orang yang sedang terlelap tidur terbangun dan memulai aktivitas sebagaimana biasa, menyapu kebun, halaman depan mengumpulkan sampah, dan membakarnya. Para perempuan sebagian mulai menumbuk lesung mempersiapkan makanan pagi, sehingga suasana seperti pagi tiba.
Ajaibnya lagi muncul surya pagi benderang di ufuk timur yang menerangi tepat puncak Gunung Kelud. Keajaiban ini tidak mungkin terjadi kalau tidak ada campur tangan yang Kuasa. Anehnya bayangan munculnya mentari pagi itu hanya dapat dilihat oleh Lembu Suro dan para pengikutnya, juga rakyat sekitar. Aku sendiri masih merasakan hari itu larut malam, dan bayang matahari itu adalah fatamorgana dari negara lain, tempat lahirnya Sang Timur, penguasa Jagad Raya.
Aku hanya bisa menangis penuh syukur, tiada habis aku bersyukur, memuji Allah sang Murbeng Jagad. Kulepas selendang kuningku yang telah kusiapkan dari rumah dengan tulisan "Kamu telah gagal untuk memenuhi persyaratanku, Lembu Suro, jangan menginjakkan kakimu di istana Romo Prabu lagi."
Selendang kuning itu kugantungkan di ranting pohon mahoni yang terletak di pendopo Penanjakan Gunung Kelud. Aku langsung memacu Gagah Lintang kembali ke keraton dengan suasana penuh syukur. Kupacu kudaku dengan hati dan wajah berseri.
Sesampai di keraton, hari masih gelap. Romo Prabu dan Ibunda Ratu, serta Paman Narotama dan Bibi Sekar Tanjung yang berjaga sepanjang malam terkejut melihat kepulanganku.
"Kau dari mana, putriku?"