Yoganidra ( 5 )
Cerita  sebelumnya :
"Di situ tanahnya subur, gemah ripah loh jinawi. Desa tempat Mpu Baradha yang disebut Lemah Citra atau Desa Sayuran itu banyak menghasilkan sayur mayur, palawija, buah-buahan, dan padi. Tapi paling terkenal karena mutu sayur-mayurnya. ( Bersambung)
"Di daerah itu juga banyak gua air yang menghubungkan antara pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa. Nah, gua itu ada di dalam laut, dan jika disusuri, orang akan sampai dari laut utara ke laut selatan dan sebaliknya.
"Konon banyak ular naga raksasa dan ular lainnya di sepanjang lorong gua itu. Hanya Mpu Barada yang mengalami peristiwa itu dan bertapa di dalam Gua Nlengkir yang terkenal indah perbukitannya. Gua Nglengkir ini ada di tengah Gunung Mayit."
"Mengapa disebut gunung Mayit, Romo?"
"Karena bentuknya seperti mayat atau jasad orang mati yang dibaringkan.
Kalau kamu berada di puncak bukit tempat Gua Bayu Nglengkir berada,
 kamu bisa melihat keindahan kota Blora.
"Kota Blora ini merupakan penghasil kayu jati yang sudah terkenal ke seantero Nusantara bahkan seantero jagad. Kayu jati itu sendiri sering dipergunakan sebagai bahan untuk membuat singgasana raja. Kelak di kemudian hari, ing rejane zaman, pada zaman yang serbamodern, kayu jati Blora akan dipergunakan sebagai bahan untuk membuat rumah dan bangunan yang megah dan akan dikunjungi dan ditonton oleh banyak orang."
Sejenak ayahanda terdiam, seolah mengingat kembali kenangan indah yang
terukir di hati Ayahanda Prabu.
"Apakah Romo pernah ke Blora?"
"Pernah, anakku, hanya dalam kunjungan sukma untuk menemui Mpu
Baradha, supaya Aji Rogoh Sukma Romo berkembang. Romo menemui
Eyang Maha Resi Mpu Baradha setiap pukul 03.00, saat wahyu tercurah dari
langit.
"Pada jam itu para makhluk alam lain akan beraktivitas, dengan suasana
seperti itu akan lebih teruji kemurnian hati dan ketulusan budi dalam olah
 kerohanian."
Malam itu penuh wejangan dari Romo Prabu, dan itu sangat berguna sebagai bekalku menapaki kehidupan. Romo Prabu juga membekaliku dengan cerita ini.
"Putriku, hendaklah orang yang hidup di atas bumi ini menjadi orang yang merdeka. Merdeka terhadap diri sendiri, memberi kemerdekaan pada lingkungannya, juga bisa menciptakan kemerdekaan bagi orang lain. Seorang yang benar-benar merdeka adalah orang yang hidup sesuai dengan hati nuraninya, dituntun oleh roh suci, sehingga dalam hidupnya dia selalu merefleksikan apa yang telah diperbuat.
"Dia hidup benar dan baik dalam bertutur kata, bertindak maupun dalam mengambil keputusan. Dia benar-benar merdeka dalam hidupnya untuk memperbarui diri dan berani, menata  situasi dan lingkungannya.
 "Terbuka pada kebenaran dan kepentingan banyak orang. Berani melakukan yang telah baik menjadi lebih baik dan menjadi berkat bagi sesama di sekitarnya. Orang seperti itu mampu melepaskan diri dari segala kesenangan pribadi bahkan semua hawa nafsu yang menjerat dirinya.
"Dia berani berbuat luhur bagi sesamanya meskipun harus kehilangan kesenangan dan kebebasannya. Dengan berkorban bagi sesamanya, dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena telah mengalahkan egonya.
"Namun betapa seringnya kita menjumpai seseorang yang salah menafsirkan arti kemerdekaan. Mereka mengartikannya bahwa merdeka adalah bebas tanpa batas. Maka mereka mengumbar hawa nafsu, keinginan diri, perkataan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab, sewenang-wenang, main kuasa, dan bertindak semena-mena dengan sesamanya.
 Pada zaman dunia yang penuh tawaran ini kalau kita tidak waspada dan hidup didasari refleksi terus-menerus, serta kejernihan mendengarkan suara hati dan terbuka oleh bimbingan Roh Kudus, maka manusia akan jatuh pada hedonisme, konsumerisme, kapitalisme bahkan narsisme, memuja diri sendiri.
"Pada dasarnya manusia merupakan dunia keinginan yang terdiri atas nafsu dan naluri. Keinginan manusia itu tampil ke permukaan dalam tiga tingkat libidinal, yang disebut libido possensi (nafsu dan naluri untuk memiliki), libido dominandi (nafsu dan naluri untuk menguasai), dan libido adorandi (nafsu dan naluri untuk memuja diri).
"Namun Tuhan menciptakan manusia baik adanya dan untuk tujuan yang luhur yakni berbahagia di dunia ini dan di Nirwana. Oleh karena itu, Sang Hyang Widhi meletakhan suara hati sebagai kompas yang membuat manusia bisa menimbang dan kemudian memilih mana yang baik, dan tidak baik bagi kebahagiaan diri dan jiwanya.
"Semua keinginan daging yang menjauhkan diri dari Tuhan muncul karena dosa. Rupanya semua itu menyenangkan, menggiurkan, dan mengundang nikmat seperti ketika Siti Hawa digoda iblis dan ditawari untuk makan "buah kuldi kehidupan". Buahnya ranum, segar, dan menggoda.
Â
Apalagi iblis dengan liciknya berkata, "Hawa, tentu kamu boleh makan
semua buah yang ada di taman Firdaus ini, bukan?"
Tapi Hawa menyahut, "Aku boleh makan semua buah dari semua pohon
yang ada di taman Eden, kecuali buah yang kamu pegang."
Setan mulai mengatur taktiknya, "Nah, mengapa kamu tidak boleh makan
buah ini?
Karena kalau kamu memakannya, kamu akan tahu segala sesuatu dan kamu
 akan sama dengan Tuhan Sang Hyang Widhi."
Mendengar perkataan iblis, hati Hawa mulai tergiur, khayalannya
melambung.
 Dalam hati dia berkata pada dirinya, "Alangkah enaknya kalau aku sama dengan Tuhan Sang Hyang Widhi, tentu aku akan menguasai jagad raya. Bayangan itu menggoda hati Hawa sehingga dia menuruti perkataan setan dan makan buah itu. Dia tidak makan sendirian, tapi mengajak pasangannya, Adam, untuk memakannya walaupun Adam menolak.
 Namun Hawa berkata dan merayu Adam bahwa jika memakannya Adam akan tahu segala sesuatu dan sama seperti Tuhan. Hati Adam pun tergiur dan menuruti apa yang di katakan Hawa dan memakan buah terlarang itu.
Setelah itu semua berubah, mereka merasa malu karena dirinya telanjang, padahal sebelumnya mereka tidak merasakan apa-apa dan tidak mengerti kalau mereka telanjang. Mulailah mereka membuat pakaian dari kulit dan dedaunan untuk menutupi tubuhnya.
Yang mengherankan mereka takut dan malu bertemu Tuhan Sang Hyang Widhi. Perasaan ketakutan dan malu itu mencekam mereka. Itulah akibat dosa merasa tersingkir dan jauh dari Sang Murbeng Jagad, penguasa kehidupan.
"Inilah kejatuhan manusia pertama dalam dosa karena keinginan untuk menyamai Tuhan, Sang Hyang Widhi." Manusia tidak mendengar suara hatinya dan menaati perintah Tuhan.
Kesombongan dan ingin menyamai Tuhan adalah akar segala dosa yang justru memisahkan manusia dengan Tuhan Sang Sumber Hidup. Sebagaimana Adam dan Hawa bersembunyi ketika Tuhan mencarinya. Mereka merasa nista dan tidak layak bertemu Tuhan Sang Sumber Kebenaran.
Mereka mengatakan dirinya telanjang, malu berhadapan dengan Tuhan. Akhirnya Tuhan mengusirnya keluar dari Taman Eden atau Taman Firdaus yang memberi suasana surga kepada manusia pertama, karena walaupun tanpa bekerja, Tuhan telah menyediakan segalanya.
"Oh Romo, betapa mengerikan kejatuhan manusia dalam dosa itu."
"Ya, begitulah putriku, itulah sebabnya kita harus mendengar suara Tuhan
Sang Hyang Widhi yang senantiasa menggema di hati kita untuk
menghidupi kekudusan bersama Dia."
Aku mendengarkan baik-baik apa yang diutarakan Romo Prabu, Romo
melanjutkan ceritanya.
"Putriku ada kalanya kita menjumpai seseorang yang tidak dapat mengendalikan dirinya untuk memiliki sesuatu secara berlebihan. Orang itu dikuasai oleh libido possendi sehingga tidak bisa menahan diri dan berugahari dalam hal kecenderungan untuk memiliki.
"Dia cederung mengumbar kebutuhan biologisnya dalam hal makanan, seksual, kepuasan tubuh dan keinginan daging. Rakus dan serakah untuk memuaskan nafsunya dan tidak mau berbagi. Hal yang demikian menguasai dirinya sehingga seluruh pikiran, perkataan dan tingkah lakunya terarah untuk memiliki material dan segala keinginan yang merupakan kebutuhan biologis semata.
"Orang seperti ini tidak bisa mengerti mengapa para pertapa, pandita, rela hidup dalam kesunyian bahkan hidup wadat, selibat tidak menikah-tidak mempunyai pasangan hidup dan keturunan. Sungguh mereka tidak bisa mengerti walaupun ada yang menerangkan. Karena hati, budi dan pikirannya hanya dipenuhi pemuasan nafsu badani yang bisa menyenangkan dirinya.
Â
"Ada lagi manusia yang dikuasai dan dikendalikan oleh nafsu ingin selalu berkuasa, menjajah dalam dan di luar lingkungannya. Kekuasaan begitu menarik dan merangsang dia sehingga tidak terkendali lagi. Orang ini sangat berambisi dan suka sekali untuk mengatur urusan orang lain dan menguasai orang lain.
"Segala pikiran, perkataan tingkah lakunya terarah untuk kekuasaan. Hal ini disebut libido dominandi, dia ingin dominan dari orang lain maka arah untuk mencari tenar dalam lingkup sosial sangat dikejar untuk dimiliki.
"Tujuannya hanya satu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan sosial psikologis (psychological needs), status, jabatan, pangkat hak khusus, serta kehebatan dan kekuasaan. Dalam tingkat ini, seseorang dikendalikan oleh nafsu dan naluri untuk berkuasa. Dia akan merasa menderita kalau lepas dari kekuasaan atau tidak dapat berkuasa lagi. (Bersambung )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H