"Dia hidup benar dan baik dalam bertutur kata, bertindak maupun dalam mengambil keputusan. Dia benar-benar merdeka dalam hidupnya untuk memperbarui diri dan berani, menata  situasi dan lingkungannya.
 "Terbuka pada kebenaran dan kepentingan banyak orang. Berani melakukan yang telah baik menjadi lebih baik dan menjadi berkat bagi sesama di sekitarnya. Orang seperti itu mampu melepaskan diri dari segala kesenangan pribadi bahkan semua hawa nafsu yang menjerat dirinya.
"Dia berani berbuat luhur bagi sesamanya meskipun harus kehilangan kesenangan dan kebebasannya. Dengan berkorban bagi sesamanya, dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena telah mengalahkan egonya.
"Namun betapa seringnya kita menjumpai seseorang yang salah menafsirkan arti kemerdekaan. Mereka mengartikannya bahwa merdeka adalah bebas tanpa batas. Maka mereka mengumbar hawa nafsu, keinginan diri, perkataan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab, sewenang-wenang, main kuasa, dan bertindak semena-mena dengan sesamanya.
 Pada zaman dunia yang penuh tawaran ini kalau kita tidak waspada dan hidup didasari refleksi terus-menerus, serta kejernihan mendengarkan suara hati dan terbuka oleh bimbingan Roh Kudus, maka manusia akan jatuh pada hedonisme, konsumerisme, kapitalisme bahkan narsisme, memuja diri sendiri.
"Pada dasarnya manusia merupakan dunia keinginan yang terdiri atas nafsu dan naluri. Keinginan manusia itu tampil ke permukaan dalam tiga tingkat libidinal, yang disebut libido possensi (nafsu dan naluri untuk memiliki), libido dominandi (nafsu dan naluri untuk menguasai), dan libido adorandi (nafsu dan naluri untuk memuja diri).
"Namun Tuhan menciptakan manusia baik adanya dan untuk tujuan yang luhur yakni berbahagia di dunia ini dan di Nirwana. Oleh karena itu, Sang Hyang Widhi meletakhan suara hati sebagai kompas yang membuat manusia bisa menimbang dan kemudian memilih mana yang baik, dan tidak baik bagi kebahagiaan diri dan jiwanya.
"Semua keinginan daging yang menjauhkan diri dari Tuhan muncul karena dosa. Rupanya semua itu menyenangkan, menggiurkan, dan mengundang nikmat seperti ketika Siti Hawa digoda iblis dan ditawari untuk makan "buah kuldi kehidupan". Buahnya ranum, segar, dan menggoda.
Â
Apalagi iblis dengan liciknya berkata, "Hawa, tentu kamu boleh makan
semua buah yang ada di taman Firdaus ini, bukan?"