Swargaloka Â
Cerita  sebelumnya :
Betapa luhurnya dilahirkan sebagai perempuan yang demikian. Bundaku Ratu selalu menasihatiku, jadi aku selalu disadarkan akan tugasku sebagai wanita yang berani menata dan berani ditata, seorang perempuan yang mempunyai, mengandung, membawa, dan melahirkan kehidupan. Kesadaran ini membuatku selalu merenung, menatap kehidupan dan mengolahnya kembali, gerakan menata hati nurani dan mengolah hidup diajarkan oleh Ayahhanda Prabu, dan Ibunda Ratu, agar hidup yang sekali ini senantiasa bermakna bagi diri sendiri maupun sesama.
( Â Bersambung )
Â
Aku hanya bisa menerima kehendak Sang Hyang Widhi bahwa aku terlahir sebagai seorang putri raja. Kujalani semua ini sebagai anugerah dan rahmat dari-Nya. Seorang putri raja, yah, bagiku adalah saat aku harus ditempa dengan berbagai aturan istana. Sejak kecil aku sudah dilatih, dipersiapkan dengan tatacara dan tatakrama kehidupan istana.
Meski demikian Romo Prabu dan Ibunda Ratu membiarkan aku untuk bergaul dengan teman sebayaku. Mereka tidak membedakan antara rakyat jelata, anak dayang, maupun punggawa dan anak-anak-anak bupati, patih, maupun hulubalang. Ini yang paling kukagumi dari sifat orangtuaku yang tidak membedakan derajat maupun pangkat seseorang.
Kehidupan di istana memang nyaman, menyenangkan, tenteram, dan penuh pelayanan. Bayangkan saja abdi dalem di istana dan dayang-dayang yang siap melayaniku jumlahnya puluhan, belum lagi punggawa istana yang pasti siap jika kuutus. Suasana seperti itu dapat kugambarkan sebagai Swargaloka yang penuh keindahan dan kebahagiaan. Namun aku tidak membiarkan diriku untuk bermalas-malasan dengan semua keadaan ini. Aku ingin menjadi orang yang mandiri tanpa harus dilayani
 Aku ingin berlaku sama dengan rakyat biasa yang bekerja apa saja bisa. Syukurlah aku mendapat kebebasan ini sehingga, aku tidak merasa canggung untuk melakukan pekerjaan apa saja. Semua yang kupelajari dan kulakukan menjadi bekal yang amat berguna nantinya sewaktu aku hidup dalam pengembaraan dan perantauan mencari makna hidup yang dititahkan untuk kujalani kelak di kemudian hari.
Aku terkenal sebagai orang yang tidak bisa diam secara kodratku menurut pawuku kelahiranku. Aku dilahirkan pada tahun Alip Windu Sangara, pada Neptu 12, Wuku Kuwalu lakune lintang. Karena itu aku selalu bergerak, ke sana-sini , bertanya berlari dan melihat-lihat serta belajar hal-hal yang baru. Mengetahui bakatku yang tidak bisa diam, Romo Prabu dan Ibunda Ratu mengizinkan aku untuk menjelajah alam ketika ada kesempatan.
Bersama Eyang Narotama aku menunggang kuda keluar-masuk hutan, mendaki bukit dan melihat alam yang membentang. Hal yang paling kusukai adalah mandi di air terjun.
Sejak kecil aku banyak belajar dari Eyang Narotama. Beliau mengajariku menunggang kuda dengan baik. Tidak hanya cara bagaimana menunggang kuda, tetapi juga bagaimana memelihara kuda dengan baik, sehingga kuda menjadi kuat berlari dan tahan dalam perjalanan jauh.