Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Agama di Sekolah, Tanggung Jawab Siapa?

23 September 2024   16:02 Diperbarui: 23 September 2024   16:14 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2022 saya pernah menulis disertasi dengan judul Pengaruh Kepemimpinan Spiritual dan Leadership Guru PAI terhadap pembentukan karakter peserta didik dan budaya religius di sekolah di Kabupaten Lumajang. Responden kala itu melibatkan peserta didik di 12 sekolah negeri jenjang SMA yang ada di Kabupaten Lumajang yang dipilih secara acak. Bagaimana hasilnya?

Semakin tinggi kepemimpinan spiritual guru PAI di sekolah, semakin rendah budaya religius dan pembentukan karakter peserta didik. Artinya, seorang guru PAI yang tinggi karakter spiritualnya, dia semakin tidak peduli pada pembentukan karakter peserta didik, acuh tak acuh pada aktivitas keagamaan dan budaya keagamaan yang ada di sekolah. Ini bukan kesimpulan pribadi tetapi hasil dari jawaban responden peserta didik di 12 sekolah negeri jenjang SMA di Kabupaten Lumajang. Mengapa demikian?

Sebelum kita jawab bersama, saya ingin sampaikan bahwa kala itu di sidang tertutup, disertasi yang saya tulis dibantai dan ditentang habis-habisan karena kesimpulan yang didapat sebagaimana yang saya tulis di awal. Penguji utama kala itu tidak percaya dan bagi mereka tidak mungkin seorang guru PAI yang karakter spiritualnya tinggi tapi ternyata dia abai terhadap peserta didik dan budaya religius yang ada di sekolah. Namun, yang berbicara di disertasi saya adalah data, data valid yang didapat di lapangan dengan responden peserta didik. Bukan pendapat apalagi asumsi saya pribadi.

Hasilnya sebagaimana yang saya tulis dan sampaikan di disertasi kala itu. Nah, saat sidang terbuka pun demikian, ada dua penguji yang meragukan hasil penelitian saya karena kesimpulan tersebut. Bahkan boleh jadi hasil tersebut akan mendapatkan kecaman dari seluruh guru PAI yang ada di Indonesia. Tentu jawaban yang saya sampaikan pun berdasarkan data, bukan kesimpulan apalagi asumsi pribadi. Penelitian kuantitatif yang saya lakukan telah sesuai prosedur, namun hasil berbicara demikian yang bagi sebagian besar orang mungkin tidak sesuai.

Namun, satu penguji pendamping yang juga promotor saya kala itu, rupanya menguatkan hasil penelitian yang saya lakukan. 

"Boleh jadi guru PAI tidak peduli pada pembentukan karakter peserta didik di sekolah, juga budaya religius yang ada di sekolah, karena dia khusyu' dan asyik dengan ibadahnya, tak peduli pada lingkungan yang ada di sekitar. Fakta ini juga banyak terjadi di lapangan sebagaimana ditulis oleh promovendus sebagai data pendukung dalam beberapa wawancara yang dilakukan kepada beberapa guru PAI. Artinya, jika data kuantitatif berbicara demikian, kita tidak bisa berpatokan hanya pada data dan angka, harus ada data pendukung seperti wawancara yang telah dilakukan, sehingga model penelitiannya tidak hanya kuantitiatif tetapi mixed methode". 

Penjelasan promotor tersebut rupanya dapat diterima dan disertasi saya dinyatakan lulus dengan predikat summa cumlaude. Rekaman lengkap sidang terbuka promosi doktor saya dapat disimak pada link di sini.

***

Pendidikan agama dan budaya keagamaan di sekolah akan terbentuk mana kala seluruh warga sekolah bersama-sama dalam satu frekuensi mendorong, menghidupkan, memberi contoh aktivitas keagamaan dengan perilaku dan tingkah laku, bukan perintah apalagi sekadar peraturan semata. Peraturan tak akan berfungsi karena ia hanya sekadar peraturan yang dibuat, baik tertulis ataupun tidak. Justeru sebaliknya, uswah hasanah dan teladan guru (juga seluruh warga sekolah) akan menjadi cermin bagi peserta didik, sehingga peraturan akan berfungsi maksimal.

Saat ini, semua kita tidak bisa meminta apalagi menyuruh anak (peserta didik) untuk menjadi baik, sudah bukan zamannya lagi. Yang bisa dan perlu untuk kita lakukan adalah mencontohkan kepada mereka melalui aktivitas perilaku dan tingkah laku. Kita, sebagai guru tidak bisa menuntut peserta didik menjadi baik, rajin ibadah, sregep ke masjid untuk salat jamaah, jika kita sendiri tidak melakukannya. Hil yang mustahal.

Pendidikan itu menuntun bukan menuntut. Jika aktivitas keagamaan di sekolah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka evaluasi boleh jadi adalah jalan terbaik. Mulai dari diri, apakah kita sebagai guru, kepala sekolah, warga sekolah, telah memberikan contoh perilaku kepada anak (peserta didik)? Sudahkah kita memberikan praktik nyata kepada mereka bahwa salat jamaah di masjid adalah bagian dari program sekolah? Sudahkah kita mulai 'bertobat' untuk tidak pulang lebih awal sebelum adzan ashar dikumandangkan misalnya? Sudahkah kita sadar, bahwa peserta didik juga manusia yang memiliki dua kecenderungan, sama seperti guru, kecenderungan untuk berbuat baik dan kecenderungan untuk tidak taat pada aturan. Semua yang ada pada diri kita sebagai guru (bukan hanya guru PAI) juga ada pada diri peserta didik.

Pendidikan agama di sekolah bukan sekadar tanggung jawab guru agama semata, namun semua. Ya, semua kita memiliki tanggung jawab yang sama terhadap pendidikan agama. JIka saat ini kita belum mampu memberikan contoh untuk istikamah salat berjamaah, maka jangan harap peserta didik akan dengan sukarela melangkahkan kaki ke masjid saat adzan berkumandang, jika saat ini kita belum mampu berdamai dengan keadaan dan kondisi diri (keluarga, aktivitas lain di luar sekolah), maka jangan kemudian menuntut perfecto terhadap aktivitas dan program yang ada di sekolah. 

Setiap kita tentu memiliki goal masing-masing. Namun, saya masih meyakini bahwa goal itu akan mudah terwujud jika ada aksi, ada contoh nyata, ada praktik baik, ada uswah hasanah yang bukan hanya komitmen diri namun juga dapat dilihat, dibaca dan ditiru oleh orang lain. Cermin peserta didik adalah guru, dan cermin guru adalah kepala sekolah. Jika cermin ini memantulkan bayangan kebaikan, maka tak perlu ragu apalagi risau, tak perlu bersungut-sungt apalagi mengancam, semua akan berjalan sesuai dengan peraturan yang dibuat. Saat ini, sekali lagi, kita tidak bisa, tidak dapat dan mungkin saja tidak akan pernah mampu menyuruh peserta didik untuk menjadi baik jika tidak dilakukan dengan memberikan contoh (uswah hasanah) dalam kehidupan sehari-hari. 

Guru Agama adalah pemimpin pembelajaran keagamaan di sekolah, namun pendidikan agama adalah tanggung jawab kita semua. Saya teringat pada apa yang dikatan Konfusius, seorang Filsuf dari Cina.

Katakan kepadaku maka aku akan melupakan, tunjukkan kepadaku maka aku akan mengerti, ajak Aku melakukan maka aku akan paham

Sederhanya begini: "Mendengar Aku lupa, Melihat Aku ingat, Melakukan Aku bisa". Jika narasi ini kita tarik dalam aktivitas pembelajaran di kelas bersama peserta didik, maka setiap kita yang menyampaikan materi dengan ceramah, menjelaskan materi yang panjang dan banyak dengan berapi-api, maka dalam waktu singkat akan dengan mudah dilupakan oleh peserta didik.

Jika kita menyampaikan materi pelajaran dengan menjelaskan di depan kelas, menuliskan contohnya, maka peserta didik akan dengan mudah mengingatnya. Tentu ingatan ini akan bertahan sesuai dengan kemampuan peserta didik masing-masing. Ada yang mengingat dalam waktu yang lama karena memori kuat, dan sebaliknya, lupa seketika ketika guru selesai menjelaskan dan berganti pada mata pelajaran lain.

Jika kita mengajar dengan cara melibatkan peserta didik, mengajak mereka beraktivitas, mendampingi mereka menemukan pengetahuan baru dengan caranya sendiri, mengarahkan, membimbing, mendidik, menunjukkan sambil mempraktikkannya, maka peserta didik akan paham, mengerti dan bahkan mampu melakukannya dengan mandiri dikemudian hari.

Begitu juga dengan aktivitas keagamaan di sekolah. Evaluasi memang penting, tapi alangkah penting lagi jika 'dua cermin' yang saya tuliskan di awal (cerimin satu kepala sekolah, cermin dua guru) memantulkan cahaya dan bayangan nyata, bukan semu apalagi palsu, memberikan contoh langsung dengan aktivitas nyata yang teramati, dapat dilihat, kontinyu, konsisten dan terus menerus, maka tak cermin itu akan nampak sempurna bagi peserta didik, mereka dengan sendirinya akan meniru, melakukan dan mempraktikkan apa yang dilakukan oleh guru (juga kepala sekolah).

Narasi Konfusius di atas adalah contoh sederhana bagaimana pendidikan agama dan aktivitas keagamaan di sekolah (juga pendidikan lain dan aktivitas lain) dapat dengan mudah dilakukan serempak, kompak dan bersama-sama. Sehingga apa yang menjadi harapan dan impian bukan bayangan semu semata, namun terjadi dan nyata di depan mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun