Pendidikan agama di sekolah bukan sekadar tanggung jawab guru agama semata, namun semua. Ya, semua kita memiliki tanggung jawab yang sama terhadap pendidikan agama. JIka saat ini kita belum mampu memberikan contoh untuk istikamah salat berjamaah, maka jangan harap peserta didik akan dengan sukarela melangkahkan kaki ke masjid saat adzan berkumandang, jika saat ini kita belum mampu berdamai dengan keadaan dan kondisi diri (keluarga, aktivitas lain di luar sekolah), maka jangan kemudian menuntut perfecto terhadap aktivitas dan program yang ada di sekolah.Â
Setiap kita tentu memiliki goal masing-masing. Namun, saya masih meyakini bahwa goal itu akan mudah terwujud jika ada aksi, ada contoh nyata, ada praktik baik, ada uswah hasanah yang bukan hanya komitmen diri namun juga dapat dilihat, dibaca dan ditiru oleh orang lain. Cermin peserta didik adalah guru, dan cermin guru adalah kepala sekolah. Jika cermin ini memantulkan bayangan kebaikan, maka tak perlu ragu apalagi risau, tak perlu bersungut-sungt apalagi mengancam, semua akan berjalan sesuai dengan peraturan yang dibuat. Saat ini, sekali lagi, kita tidak bisa, tidak dapat dan mungkin saja tidak akan pernah mampu menyuruh peserta didik untuk menjadi baik jika tidak dilakukan dengan memberikan contoh (uswah hasanah) dalam kehidupan sehari-hari.Â
Guru Agama adalah pemimpin pembelajaran keagamaan di sekolah, namun pendidikan agama adalah tanggung jawab kita semua. Saya teringat pada apa yang dikatan Konfusius, seorang Filsuf dari Cina.
Katakan kepadaku maka aku akan melupakan, tunjukkan kepadaku maka aku akan mengerti, ajak Aku melakukan maka aku akan paham
Sederhanya begini: "Mendengar Aku lupa, Melihat Aku ingat, Melakukan Aku bisa". Jika narasi ini kita tarik dalam aktivitas pembelajaran di kelas bersama peserta didik, maka setiap kita yang menyampaikan materi dengan ceramah, menjelaskan materi yang panjang dan banyak dengan berapi-api, maka dalam waktu singkat akan dengan mudah dilupakan oleh peserta didik.
Jika kita menyampaikan materi pelajaran dengan menjelaskan di depan kelas, menuliskan contohnya, maka peserta didik akan dengan mudah mengingatnya. Tentu ingatan ini akan bertahan sesuai dengan kemampuan peserta didik masing-masing. Ada yang mengingat dalam waktu yang lama karena memori kuat, dan sebaliknya, lupa seketika ketika guru selesai menjelaskan dan berganti pada mata pelajaran lain.
Jika kita mengajar dengan cara melibatkan peserta didik, mengajak mereka beraktivitas, mendampingi mereka menemukan pengetahuan baru dengan caranya sendiri, mengarahkan, membimbing, mendidik, menunjukkan sambil mempraktikkannya, maka peserta didik akan paham, mengerti dan bahkan mampu melakukannya dengan mandiri dikemudian hari.
Begitu juga dengan aktivitas keagamaan di sekolah. Evaluasi memang penting, tapi alangkah penting lagi jika 'dua cermin' yang saya tuliskan di awal (cerimin satu kepala sekolah, cermin dua guru) memantulkan cahaya dan bayangan nyata, bukan semu apalagi palsu, memberikan contoh langsung dengan aktivitas nyata yang teramati, dapat dilihat, kontinyu, konsisten dan terus menerus, maka tak cermin itu akan nampak sempurna bagi peserta didik, mereka dengan sendirinya akan meniru, melakukan dan mempraktikkan apa yang dilakukan oleh guru (juga kepala sekolah).
Narasi Konfusius di atas adalah contoh sederhana bagaimana pendidikan agama dan aktivitas keagamaan di sekolah (juga pendidikan lain dan aktivitas lain) dapat dengan mudah dilakukan serempak, kompak dan bersama-sama. Sehingga apa yang menjadi harapan dan impian bukan bayangan semu semata, namun terjadi dan nyata di depan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H