Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Pemimpin Sukses dan Berhasil: Belajar pada Santri dan Kiai hingga 4 Sifat Nabi

2 Agustus 2024   09:22 Diperbarui: 2 Agustus 2024   16:43 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar dan Berkolaborasi (dok. pribadi)

Suatu sore saya berkunjung ke salah satu pesantren kecil, mengantar salah satu calon santri yang kebetulan orang tuanya adalah teman dan rekan kerja. Selayaknya pesantren pada umumnya, ada puluhan santri yang sedang belajar di dalam kelas, karena sore hari, kelas saat itu adalah kelas diniyah atau sekolah dengan materi keagamaan. Tidak banyak memang jumlah santri yang belajar di dalam kelas, namun mereka sangat tertib.

Begitu bel tanda selesai aktivitas pembelajaran berbunyi, ratusan santri berhamburan keluar kelas, setelah sebelumnya guru yang mengajar di kelas mereka keluar terlebih dahulu. 

Tak terdengar suara gaduh dari ratusan santri saat mereka keluar kelas, semua tertib, teduh, sunyi. Ada dua sampai 3 buku dan kitab yang dibawa oleh setiap santri, ada pula yang membawa pena, pulpen, pensil. Beberapa dari mereka usia sekira 12 tahun, ada juga yang usia SMA. Semua keluar dari kelas setelah guru mereka keluar terlebih dahulu.

Karena sore pula, dan boleh jadi masuk saat jam makan sore, puluhan santri berbaris rapi di depan dapur, mereka yang telah meletakkan kitab dan buku di kamar masing-masing, membawa piring, rupanya sudah bersih dan siap menerima makan sore yang akan dihidangkan. 

Tanpa ada komando apapun, puluhan santri bersarung, beberapa cekeran (tidak mengenakan alas kaki), kopyah ala santri, ada pula yang berkaos tanpa krah, beberapa pula juga sudah rapi dengan sarung, kopyah dan baju koko, berbaris rapi di depan pintu dapur. Mereka masuk satu persatu dan kembali keluar dengan piring yang sudah terisi makanan dan lauk ala kadarnya.

Begitu seterusnya sampai puluhan dan ratusan santri memenuhi makanan di piring mereka masing-masing. Mereka yang telah mendapatkan jatah makan sore, membentuk lingkaran-lingkaran kecil di depan serambi pondok, makan bersama dengan lauk ala pesantren. Beberapa dari para santri ada yang bertukar lauk, berbagi makanan dan bahkan ada beberapa yang kembulan. 

Namun tak satupun dari ratusan santri itu gaduh, ribut, bercanda saat mereka sedang makan, semua berjalan tertib dan rapi. Satu lagi, tak ada satupun guru atau senior mereka yang mengawasi saat mereka makan, tak ada tim tata tertib yang memberikan instruksi dengan nada tinggi, tak ada pengawas atau tim keamanan yang mengatur mereka makan, duduk di mana, bagaimana posisi saat makan dan apa yang harus mereka lakukan ketika makan. Semua berjalan alami tanpa pengawasan, tanpa instruksi apapun saat itu. Luar biasa.

***

Pesantren adalah lembaga tertua di Indonesia yang sampai saat ini tetap eksis mempertahankan tradisi khasnya. Dari pesantren kita banyak belajar, mulai dari hal yang sepele dan sederhana, sampai pada hal yang kompleks dan rumit. 

Melalui pesantren kita mendapatkan banyak pengetahuan bagaimana menanamkan kemandirian, gotong royong, nilai kehidupan keseharian, tolong menolong, peduli, cinta sesama, berbagi dan bahkan berkolaborasi. 

Pendidikan pesantren dengan ragam kultur dan aneka permasalahan yang ada di dalamnya, telah berhasil membuka mata kita semua belajar dan kemandirian tidak melulu soal instruksi dan kekerasan, namun ada nilai-nilai ilahiyah yang juga harus ditanamkan.

Kepemimpinan di Pesantren memang berbeda dengan lembaga non pesantren (sekolah, perguruan tinggi dan sejenisnya), namun berbeda bukan berarti tidak ada kesamaan. Pemimpin pesantren atau biasa disebut kiai, juga sama dengan kepala sekolah, mereka mengatur, memberikan instruksi, mengawasi, melindungi juga mengajarkan pengetahuan kepada bawahan (santri, guru, pengurus pondok). Baik kiai maupun kepala sekolah, sama-sama memiliki tanggung jawab memimpin lembaga yang berada di bawah wewenangnya.

Jika kepala sekolah (beberapa, tidak semua) memberikan instruksi dengan memanfaatkan kuasa dan wewenangnya, maka kiai memberikan instruksi yang diikuti dengan contoh. Kiai bukan hanya memerintah tapi juga mencontohkan. Selain itu, ada dimensi yang disematkan di dalam kepemimpinan seorang kiai, dimensi yang boleh jadi ada pada diri seorang kepala sekolah namun jarang atau sama sekali tidak mereka gunakan, dimensi ilahiyah.

Mengapa pesantren yang berdiri ratusan dan bahkan ribuan tahun yang lalu tidak pernah kehilangan santrinya? tidak melakukan sosialisasi ke lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan santri, tapi tetap saja mereka eksis dan memiliki ribuan santri? mengapa demikian?

Jika dijelaskan dengan logika, boleh jadi penjelasan tersebut tidak logis sama sekali, namun di balik logika tersebut, ada dimensi yang tak dapat dijangkau oleh akal pikiran kita, dimensi ilahiyah. 

Kiai dengan kharismatik dan kekhasannya menyimpan banyak pelajaran penting kehidupan terutama yang berkaitan dengan dimensi ilahiyah. Eksistensi pesantren dengan ribuan santri yang terus bertahan di tengah gempuran arus globalisasi, teknologi dan bahkan tuntutan 'marketable' nilai kongitif konseptual, tetap bertahan dan eksis bahkan melampaui zaman.

Guru-guru di pesantren atau yang biasa disebut ustadz, boleh jadi tidak mengenal kurikulum merdeka, namun dimensi ilahiyah lagi-lagi berperan besar terhadap keberhasilan peta jalan pendidikan pesantren hingga kini. 

Saya kemudian jadi teringat pada komentar salah satu teman terhadap tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana mendidik anak dan murid saat kita berprofesi sebagai guru. Ada dimensi ilahiyah yang ditambahkan di dalamnya yang sama sekali tidak terpikir saat saya menulis. Bahkan, bukan hanya doa namun juga tirakat seorang guru boleh jadi akan menjangkau apa yang yang tak terjangkau oleh akal.

Saat saya berbincang dengan seorang rekan yang juga kepala sekolah di sela-sela istirahat kegiatan IHT di sekolahnya, saya jadi makjleb akan apa yang disampaikannya pada saya kala itu.

"setiap saya berangkat sekolah, dalam perjalanan menuju sekolah, begitu saya melihat bagian bangunan tertinggi dari sekolah ini, saat itu pula hati saya berdoa untuk sekolah, untuk seluruh guru, untuk seluruh murid, untuk semua yang berada di sekolah ini. Semua saya lakukan setiap kali saya berangkat ke sekolah. Begitu bagian bangunan sekolah terlihat saat saya hampir sampai, doa itu selalu saya ucapkan dalam hati, diulang-ulang sampai saya masuk ke ruangan ini".

Dimensi ilahiyah inilah yang boleh jadi tidak dilakukan oleh beberapa pemimpin di satuan pendidikan, dan mungkin juga kita yang berprofesi sebagai guru. Kita terlalu sibuk dan ambisi mengejar rating dan ranking. Tuntutan yang tinggi kepada murid dan mungkin juga kita sendiri sebagai guru, menghadirkan momok yang menakutkan, yang pada akhirnya menjadi bumerang jika tidak diiringi dengan contoh dan suri tauladan.

Sepertinya kita perlu dan penting untuk belajar dari cara bagaimana para pendahulu memimpin. Empat prinsip berikut dapat menjadi referensi bagi pemimpin (dan mungkin juga guru), agar tuntutan yang diinginkan tidak sekadar bersifat arahan namun juga teladan.'

  • Siddiq

Artinya jujur. Kejujuran seorang pemimpin menjadi pertaruhan selama ia menjalankan roda organisasi. Pemimpin yang jujur akan dengan mudah mengendalikan apapun dan siapapun yang dipimpinnya. Kejujuran seseorang (bawahan, pengikut) kepada pemimpin akan mencerminkan loyalitas dan semangat yang tinggi. Pemimpin yang dapat dipercaya bukan hanya memberikan instruksi namun juga contoh, teladan.

Apa yang dikatakan, dikabarkan, diinstruksikan oleh pemimpin yang memiliki sifat siddiq ini bukan sebatas kata-kata atau arahan, tapi seolah menjadi wasilah bagi bawahan dan pengikut untuk diikuti, dilakukan dan dikerjakan. Pemimpin (kepala sekolah, juga guru) yang jujur akan tercermin dari dirinya nilai pengabdian, nilai keteladanan, nilai semangat untuk terus belajar memberikan yang terbaik kepada dirinya dan orang lain. 

  • Amanah

Dapat dipercaya. Apa yang dikatakan oleh seorang pemimpin yang memiliki sifat amanah ini bukan sebatas instruksi, tapi ia memberikan contoh melalui tindakan perbuatan. Instruksi diberikan lalu kemudian diikuti dengan contoh dan teladan. Kepercayaan seseorang akan semakin meningkat kepad orang lain mana kala apa yang dikatakannya tidak hanya bersifat arahan namun juga disertai bukti dan aksi nyata.

Pemimpin yang dapat dipercaya memancarkan sinar kejujuran (siddiq) dalam dirinya. Apa yang dikatakannya adalah lautan pengetahuan yang bagi orang lain bukan sekadar informasi namun juga khazanah baru yang memberinya banyak pengetahuan baru pula, bermanfaat bukan hanya bagi dirinya namun juga orang lain.

  • Tabligh

Artinya menyampaikan. Jika kita membuka sirah nabawiyah, maka akan kita temukan bukti ribuan dan mungkin juga jutaan bukti bagaimana Nabi dulu berjuang dengan ragam cara, menyampaikan kebenaran kepada jutaan orang dalam waktu yang lama. Apa yang disampaikan Nabi kala itu isinya semuanya adalah kebenaran, yang sampai hari ini terus kita jadikan panutan dan teladan.

Pemimpin yang baik sudah seharusnya menyampaikan kebaikan, memberikan instruksi dengan cara yang baik pula. Bukan hanya memerintah namun juga memberikan contoh dan teladan yang bernilai kebaikan.

  • Fathonah

Artinya cerdas. Inovasi dan kreativitas lahir dari pemimpin yang memiliki sifat ini. Ada banyak sekali terobosan dan cara baru yang dilahirkan dari tangan dingin seorang pemimpin dengan sifat fathonah. Ia juga terbuka menerima saran, kritik, sumbangsih ide dan gagasan, bukan untuk dirinya tapi untuk organisasi yang dipimpinnya.

Keerdasan seorang pemimpin bukan sebatas pada konsptual kognitif semata, tapi juga cerdas membaca situasi, tepat menentukan kebijakan dan keputusan, menempatkan orang-orang yang ada di bawahnya pada tempat yang tepat, bukan versi dirinya namun bagaimana khalayak membacanya, ia dapat berkomunikasi dengan khalayak bukan hanya lisan namun dimensi lainnya, bahkan dimensi yang tak terbaca oleh orang lain. Itu semua dapat terjadi karena kecerdasannya.

***

Jika saat ini kita berprofesi sebagai guru, maka posisi kita adalah pemimpin bagi murid, pemimpin pembelajaran, pemimpin diri sendiri, pemimpin bagi keluarga. Tugas kita sama, memberikan teladan, contoh dan uswah hasanah kepada semua, bukan hanya murid, rekan sejawat, teman, sahabat, tapi kepada semua.

Sejatinya teladan uswah hasanah ini menjadi kewajiban setiap kita, apapun profesi dan jabatannya. Jauh sebelum teori kepemimpinan lahir dan dicetuskan, Rasulullah telah menjadi uswah hasanah bagi kita semua. Manusia paripurna yang darinya kita dapat mengambil banyak pelajaran dan teladan, bukan hanya umat Islam yang mengakui kehebatan beliau, bahkan penulis buku 100 orang paling berpengaruh di dunia, Michael H. Hart, menempatkan Rasulullah di urutan pertama, sungguh luar biasa.

"Setiap kita adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya"

Setiap huruf, kata, kalimat dan paragraf yang kita sampaikan, instruksikan, ajarkan, semua akan dimintai pertanggung jawaban. Mari terus berusaha menjadi insan yang bukan hanya memberikan instruksi, namun juga mengajarkan kebaikan, memberikan contoh dan teladan melalui aktivitas dan aksi nyata keseharian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun