Kepemimpinan di Pesantren memang berbeda dengan lembaga non pesantren (sekolah, perguruan tinggi dan sejenisnya), namun berbeda bukan berarti tidak ada kesamaan. Pemimpin pesantren atau biasa disebut kiai, juga sama dengan kepala sekolah, mereka mengatur, memberikan instruksi, mengawasi, melindungi juga mengajarkan pengetahuan kepada bawahan (santri, guru, pengurus pondok). Baik kiai maupun kepala sekolah, sama-sama memiliki tanggung jawab memimpin lembaga yang berada di bawah wewenangnya.
Jika kepala sekolah (beberapa, tidak semua) memberikan instruksi dengan memanfaatkan kuasa dan wewenangnya, maka kiai memberikan instruksi yang diikuti dengan contoh. Kiai bukan hanya memerintah tapi juga mencontohkan. Selain itu, ada dimensi yang disematkan di dalam kepemimpinan seorang kiai, dimensi yang boleh jadi ada pada diri seorang kepala sekolah namun jarang atau sama sekali tidak mereka gunakan, dimensi ilahiyah.
Mengapa pesantren yang berdiri ratusan dan bahkan ribuan tahun yang lalu tidak pernah kehilangan santrinya? tidak melakukan sosialisasi ke lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan santri, tapi tetap saja mereka eksis dan memiliki ribuan santri? mengapa demikian?
Jika dijelaskan dengan logika, boleh jadi penjelasan tersebut tidak logis sama sekali, namun di balik logika tersebut, ada dimensi yang tak dapat dijangkau oleh akal pikiran kita, dimensi ilahiyah.Â
Kiai dengan kharismatik dan kekhasannya menyimpan banyak pelajaran penting kehidupan terutama yang berkaitan dengan dimensi ilahiyah. Eksistensi pesantren dengan ribuan santri yang terus bertahan di tengah gempuran arus globalisasi, teknologi dan bahkan tuntutan 'marketable' nilai kongitif konseptual, tetap bertahan dan eksis bahkan melampaui zaman.
Guru-guru di pesantren atau yang biasa disebut ustadz, boleh jadi tidak mengenal kurikulum merdeka, namun dimensi ilahiyah lagi-lagi berperan besar terhadap keberhasilan peta jalan pendidikan pesantren hingga kini.Â
Saya kemudian jadi teringat pada komentar salah satu teman terhadap tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana mendidik anak dan murid saat kita berprofesi sebagai guru. Ada dimensi ilahiyah yang ditambahkan di dalamnya yang sama sekali tidak terpikir saat saya menulis. Bahkan, bukan hanya doa namun juga tirakat seorang guru boleh jadi akan menjangkau apa yang yang tak terjangkau oleh akal.
Saat saya berbincang dengan seorang rekan yang juga kepala sekolah di sela-sela istirahat kegiatan IHT di sekolahnya, saya jadi makjleb akan apa yang disampaikannya pada saya kala itu.
"setiap saya berangkat sekolah, dalam perjalanan menuju sekolah, begitu saya melihat bagian bangunan tertinggi dari sekolah ini, saat itu pula hati saya berdoa untuk sekolah, untuk seluruh guru, untuk seluruh murid, untuk semua yang berada di sekolah ini. Semua saya lakukan setiap kali saya berangkat ke sekolah. Begitu bagian bangunan sekolah terlihat saat saya hampir sampai, doa itu selalu saya ucapkan dalam hati, diulang-ulang sampai saya masuk ke ruangan ini".
Dimensi ilahiyah inilah yang boleh jadi tidak dilakukan oleh beberapa pemimpin di satuan pendidikan, dan mungkin juga kita yang berprofesi sebagai guru. Kita terlalu sibuk dan ambisi mengejar rating dan ranking. Tuntutan yang tinggi kepada murid dan mungkin juga kita sendiri sebagai guru, menghadirkan momok yang menakutkan, yang pada akhirnya menjadi bumerang jika tidak diiringi dengan contoh dan suri tauladan.