Seperti biasanya, saat makan siang anak-anak kelas satu makan didepan lapangan basket. Dengan adanya atap yang teduh dan kawat pembatas antara lapangan basket dengan tempat penonton.
Anak-anak kelas satu biasanya makan mie gorengnya bu Diah. Sambil jongkok di pinggiran lapangan basket.
Siang itu saat saya sedang makan, tiba-tiba didepan saya berdiri seorang anak kelas dua dari arah lapangan, orangnya tinggi, kurus, berkulit hitam. Dengan matahari dibelakangannya, sukar melihat wajahnya tanpa memicingkan mata.
Apa maunya orang ini lagi? Kataku dalam hati. “Eh, sia milu jeung aing mun boga kawani. (Hai kamu, ikut saya sekarang kalau berani),” Katanya sambil menunjuk ke arahku.
Beuh ni orang bikin saya panas aja pagi-pagi. Aku taruh mangkukku ke tanah lalu mengikutinya dari belakang. Beberapa waktu kemudian dia mulai berjalan ke arah ruangan yang paling ditakuti anak sekolah, begitu dia buka pintu ruangan tersebut, terlihat pemandangan yang mengerikan. BUKU.
Iya ada banyak sekali buku di perpus. Ga cukup apa liat buku tiap hari, ngisi LKS dua lembar tiap hari. Masih aja murid disuruh baca buku di perpus.
Karena itu perpus di sekolah ini selalu sepi.
Anak kelas dua itu kemudian duduk disebuah meja. Disana sudah menunggu pak Kadir, sipenunggu perpus. Candra atau Ican, nama anak kelas dua yang nantang saya ini. Dia ketua Osis disekolah. Anti klimaks dengan saya, dia murid berprestasi. Pernah pertukaran pelajar ke Amerika selama beberapa bulan waktu kelas satu. Nilai tertinggi di sekolah , salah satu idola di sekolah dan aktif diorganisasi. Makhluk ambisitus yang sudah merencanakan masa depannya di SMA.
Tapi Ican ini kecewa, dari ratusan murid disekolah ini. Hanya ada tiga orang yang bisa main scrabbe. Saya, pak Kadir, dan dia sendiri. Jadinya hampir setiap ada kesempatan dia datang kekelas mencari saya untuk bertanya kalau ada pelajaran kosong. Dia suka scrabble.
Hari ini sempurna, habis istirahat pelajaran kosong, sampai pulang sekolah. Jadi kami bisa main scrabble sepuasnya. Ican ini lawan yang tangguh, pernah tinggal di amerika, vocabullarynya banyak sekali. Selain itu juga dia banyak membaca istilah kedokteran. Karena dia ingin jadi dokter.
Tapi scrabble ini bukan permainan adu vocabullary, ini permainan taktis. Pemain professional bisa menggiring lawanna supaya dia menang.
Saya sendiri mulai main scrabble kelas 4 SD. Waktu itu Om Eri yang masih bujang dan kerja di LIPI, pulang dari dari America, masih bujang dan ga banyak kegiatan, setiap akhir pekan dia ngajak keponakannya main scrabble. Sementara anak-anak lain main nitendo, saya main scrabble dengan Om Eri, permainan ini bikin kecanduan. Bayangkan anak 4 SD buka-buka kamus buat ngalahin Omnya.