Mohon tunggu...
Mona Fatnia
Mona Fatnia Mohon Tunggu... Lainnya - writer opinion

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ #La Tahzan Innallah Ma'anna #Bermanfaatuntuksesama #Rahmatanlillallamin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perpanjangan Jabatan Pimpinan KPK, Melindungi Siapa?

7 Juni 2023   21:51 Diperbarui: 7 Juni 2023   21:58 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Mona Fatnia Mamonto, S.Pd

 

Polemik jabatan kian dipacu untuk melancarkan apa yang dituju. Namun apa jadinya bila yang dituju malah membuat rakyat terseduh-seduh. Inipun menyasar pada lembaga anti suarah dengan kredibilitas tinggi, tapi menghasilkan kinerja yang tak lebih-lebih. Pasalnya, penambahan jabatan pimpinan KPK diperparah dengan mencuatnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pimpinan komisi pemberantasan korupsi memegang jabatan selama empat tahun, yang dimana bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Tentu hal ini tak masuk akal jadinya, lalu sebenarnya putusan ini untuk siapa dan tujuanya apa ?

Aturan Di Kebiri

Pasca diputuskannya perpanjangan masa kerja pimpinan KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dari 4 tahun jabatan menjadi 5 tahun. Inipun menurut ketua MK, Anwar Usman pada pasal 34 UU No.30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi tindak pidana korupsi yang berbunyi "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan hal ini adalah tidak konstitusional. (Tirto.id, 28-05-2023).

Tentu hal ini menjadi polemik besar bagi rakyat, terlebih bukan hanya jabatan ketua KPK yang diperpanjang, melainkan jajaran Dewan Pengawas KPK beserta dengan staff terkait. Alasan ini pun berdasar untuk menjaga konsistensi dan harmonisasi pengaturan masa jabatan. Ini pun didukung dengan pernyataan salah satu Hakim Konstitusi, Guntur Hamzah, menurutnya masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun bukan hanya bersifat diskriminatif, namun juga tidak adil dengan komisi dan lembaga independen lainya.

Hal ini pun tak sesuai dengan konstitusi yang terkait dengan  kepentingan rakyat sendiri, malah mengarah pada politisasi aturan. Padahal kita tau bersama bahwa Mahkamah Konstitusi tak seharusnya ikut campur dalam pembuatan masa jabatan, yang seharusnya menjadi hak DPR, yang dengan ini pula merujuk pada putusan-putusan MK terkait gugatan yang sifatnya open legal policy, dan hakim konstitusi akan menolak gugatan lalu menyerahkannya pada pembuat undang-undang yaitu DPR.

Maka tak diragukan lagi, bila aturan mudah diutak-atik sana sini dengan beribu alasan yang tak pasti, terlebih arahnya lebih kepada kepentingan suatu pihak. Hal ini tentu didasari pada beberapa hal : Pertama, Tidak adanya keadilan yang didapat oleh KPK terkait masa jabatan yang disamakan dengan lembaga lain. Kedua, Penambahan syarat batas usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun yang dimana bertentangan dengan UUD 1945.

Tentu putusan ini sudah tak sesuai alurnya, apalagi untuk prosedur yang disyaratkan, malah mengambaang seperti balon terbang, Mahkamah Konstitusi pun sejatinya mencampuri urusan DPR dengan mengatur masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK, yang kita tau bersamam bahwa pengangkatan pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden dan DPR. Namun hal itu tak sejalan dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yang lebih dulu mengambil garis finish. Pasalnya, putusan yang ada memunculkan keanehan dan nuasanya mengarah ke politisasi kebijakan kotor. Inipun sejalan dengan kasus yang saat ini ditangani oleh pimpinan KPK, kasus korupsi Formula E dengan pemaianya salah satu bakal capres 2024.

Walhasil, kasus yang adapun bisa menjadi senjata ampuh bila sewaktu-waktu KPK menargetkan bakal capres yang ada untuk dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Formula E. Maka alasan Mahkamah Konstitusi untuk menambah masa jabatan pimpinan KPK adan Staf terkait merupakan keputusan yang fatal. Bila pun sesuai, tentu putusan yang ada bukan dipakai pada masa jabatan pimpinan KPK saat ini, melainkan pada jabatan selanjutnya.

Bukan itu saja, hal ini pun diperkuat dengan pernyataan dari juru bicara Mahkamah konstitusi yang tak sesuai, Fajar Laksono pun berucap bahwa masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang nantinya berakhir pada 20 Desember 2023, tanpa bermaksud menilai kasus yang konkrit, agar kiranya pentinga bagi Mahkamah Konstitusi untuk segera memutuskan perkara terkait agar memberikan kepastan hukum dan manfaatan yang berkeadilan. (bbc.com, 27-05-2023).

Bila pun ditelisik lebih jauh, maka apa yang disampaikan oleh Juru Bicara Mahkamah Konstitusi tersebut adalah kesalahan, sebab aturan yang baru diputuskan harusnya dipakai setelah masa jabatan dari pimpinan KPK berakhir pada tahun 2023, setelah adanya pemilihan kembali pimpinan KPK yang baru. Walhasil aturan yang diputuskan malah menjadi kepentingan perseorangan, yang nyatanya sudah tak sesuai aturan bila mengikuti prosedurnya. Putusan itu pun digenjot agar segera disahkan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi

Maka jelaslah bahwa perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dan Stafnya merupakan perlindungan bagi oknum-oknum yang tidak jauh dari bau pemilu 2024, fatalnya lagi pernyataan yang disampaikan oleh Jubir Mahkamah Konstitusi merupakan keberpihakan terhadap kepentingan, yang sarat akan politisasi jabatan pun pada aturan yang mudahnya dikebiri dengan tujuan untuk memuluskan yang berduit lebih. Dengan demikian, penambahan masa jabatan Pimpinan KPK adalah untuk memuluskan kandidat capres nantinya yang akan bertarung pada pemilu 2024, yang nantinya membuka gerbang bagi para pemilik modal kapitalis untuk berinvestasi dinegeri ini.

Hukum Pemanis Buatan

Bukan jabatan bila tak bersingungan dengan hukum, bukan pula jabatan bila yang dituju adalah posisi aman. Namun apa jadinya bila hukum yang ada hanya dijadikan pemanis buatan saja, seperti perisa makanan yang dicampur dalam adonan namun hanya mensisahkan rasa yang hambar. Hukum bisa dibuat, hukum pun bisa dikebiri, lantas hukum yang bagaimana lagi dipakai bila status dari hukum hanya formalitas dalam keadilan,.

Dalam kasus yang terjadi, menurut Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi, Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah, menilai bahwa apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi terkait penambahan masa jabatan sudah tak masuk akal, yang dimana hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan dari Wakil  Ketua KPK sangatlah lemah dan tentu menyimpang dari dua Pasal yang dalam UUD KPK sendiri mengatur syarat batas usia calon pimpinan KPK dan periodisasi jabatan pimpinan KPK. Ia pun menambahkan bahwa KPK ini adalah kembaga hukum yang bila masa jabatannya terus ditambah justru malah akan menjadi lembaga yang disalahgunakan kekuasaanya.

Ini pun mengambarkan bahwa hukum hanyalah  jadi pemanis buatan, ketika dipakai bila pun terjadi urgentifitas, sedang Pasal yang mengatur didalamnya malah diaborsi dan tak dipakai. Terlebih kinerja KPK yang hari ini terus menurun, mengungkap mega korupsi pun hanya sampai tingkat kecil pun, sementara mega korupsi lain tak dituntaskan seperti pada mandat hukum yang diberlakukan. Hal inilah yang membuat hukum seputar korupsi juga makin rawan diperjualbelikan.

Bukan itu saja, setiap ada kasus hukum yang menyeret nama-nama besar tokoh politik, hukum pun sering kali dipersekusi, didukung dengan sistem demokrasi yang amburadul, acapkali mengarah pada duitisasi politik, yang akhirnya memunculkan calon-calon korup kelas kakap. Maka tak heran bila demokrasi tak lari jauh dengan nuansa uang dan posisi strategis, segala cara dilakukan agar niatan tersampaikan. Maka hal ini akan semakin memperparah citra hukum, yang harusnya tajam keatas bukan kebawah, malah bisa dibeli semaunya, akhirnya menghasilkan koruptor-koruptor handal yang terus bersembunyi dibawah payung hukum.

Peradilan Dalam Islam

Korupsi didasarkan atas kepentingan tertentu, terutama uang yang sangat berperan penting mencitrakan karakter sistem demokrasi yang landasannya sekulerisme, menjadikan manusia menyalahi aturan tertinggi untuk takut berbuat dosa. Maka tak heran bila para pejabat era demokrasi adalah jabatan untuk memperkaya diri, dan tentu jauh dari keyakinan bahwa jabatan adalah amanah yang didalamnya mengandung pertanggungjawaban  di akhirat nanti.

Hal ini pun berbeda dengan peradilan dalam Islam, yang meniscayakan kedaulatan itu berada ditangan syariat (aturan Allah Subhanhu wa ta'ala). Kebenaran dari ketentuan Allah dan bukan dari manusia yang bisa diganti sesukanya.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,

"Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui."

(QS Al-Baqarah [2]: 42)

 

Ayat diatas menegaskan bahwa dalam Islam, yang hak telah jelas dan yang batil pun juga telah jelas, termasuk dalam hal hukum dan sanksi, maka dalam Islam sendiri, tidak ada celah untuk jual beli hukum ataupun politisasi hukum.

Peradilan dalam Islam pun mengantarkan pada perbaikan yang haqiqi, bukan pemanis buatan yang dosisinya lebih, yang dimana meliputi peradilan perselisihan yang terjadi, baik dilingkup anggota masyarakat, ataupun lingkup negara sekalipun. Putusannya pun fokus pada perkara-perkara menzhalim (kezaliaman).

Maka sudah sempurnalah peradilan dalam Islam, sebagai motivasi untuk amar makruf nahi mungkar ditengah masyarakat besar. Ini pun tidak hanya mengarah pada masyarakata, melainkan antara sesama rakyat dan skala negara. Peradilan dalam Islam pun mengurusi setiap urusan dengan sesama rakyat biasa maupun rakyat dengan penguasa, aduan hukum pun akan sama-sama diproses.

Khatimah

Jabatan bukanlah jembatan untuk memperkaya diri atau apapun yang mendatangkan kenikmatan lebih, melainkan amanah yang tentunya harus dijalankan sesuai kaidah-kaidah dan dasar-dasar hukum yang telah berlaku jauh sebelumnya, bukan pula diutak atik hukum yang ada, agar tujuan termuluskan sessuai kemauan oligarki. Sebabnya jabatan adalah penyambung antara Allah dengan hambanya sebagai alarm dalam kehidupan serta ujian untuk semakin dekat dengan rabb-NYA.

Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun