Mohon tunggu...
mona fatnia
mona fatnia Mohon Tunggu... Guru - writer opinion

Jadikan segalanya menjadi sumber kebaikan yang mengantarkanmu pada keridhoan-NYA. اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Harga Beras Makin Mahal, Petani Untung?

21 Oktober 2024   22:50 Diperbarui: 21 Oktober 2024   23:30 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keempat, tingginya harga beras justru malah membuka masalah baru yang ini dipengaruhi oleh kebijakan negara dalam membatasi impor beras. Menginggat bahwa jalan mengimpor beras kurang tepat. Namun hal ini akan menimbulkan kelangkaan beras di pasaran ketika harga naik tapi stok beras dipasaran tak tersedia. Karna pada dasarnya ketika dibuka keran impor maka justru akan menekan harga beras lokal.

Maka ketepatan dalam mengatasi masalah beras mahal sejatinya bukan pada berkurangnya stok beras lokal, melainkan kebijakan impor yang harusnya ditiadakan, sebab pemerintah sendiri acap kali mengadakan impor beras untuk menutupi defisit stok beras dalam negeri. Dengan kata lain ini justru mendorong negeri ini ke arah yang tidak mandiri dan malah bergantung terus kepada  negara-negara luar pemasok beras.

Di sisi lain, ini tak sejalan dengan petani yang tersejahterahkan, alih-alih tercukupi kebutuhan hidup, tapi malah tekor sendiri. Untuk mencukupi hidup saja sudah pas-pasan apalagi untuk menambah biaya penanaman, malah akan bablas jadinya, karna dari awal regulasi penjualan beras dalam neger lebih banyak bermain belakang dari pada tranparan dan benar dalam mengarahkan.

Melihat beberapa fakta yang ada, maka sebenarnya pembenahan pada kenaikan beras hari ini bukanlah terletak pada ketidaktersediannya beras dipasaran yang seringnya diklaim oleh pemerintah, tetapi tidak adanya kejelasan yang transparansi didalam pengelolaan pangan, hingga dengan mudahnya mengambil jalur express, ditambah lagi ketahanan pangan justru akan terancam, pun pada kedaultan pangan yang jauh dari harapan. Alih-alih berdaulat dan sejahterah rakyatnya, yang kaya akan tanah dan sumber daya alamnya tapi miris malah mengambil kebijakan yang hanya membuat para petani teriris dengan mengimpor pangan dari negara lain. Sementara itu, lahan yang harusnya dipakai untuk swasembada pangan kini dialih fungsi untuk gedung perkantoran,perumahan, industri, dan pariwisata. Bukan tidak mungkin kerusakan alam terjadi, komoditas pangan terancam, dan nasib petani pun kian suram.

Layaknya setumpukan jerami, apabila ia disimpan dengan sebaik-baiknya, maka pasti akan menghidupi berbagai hewan ternak, namun ketika jerami tersebut hanya dibiarkan terendam air berbulan-bulan serta angin, maka hanya akan membusuk dan mengurai kedalam tanah. Ini pun yang terjadi pada kondisi hari ini, ketika lahan begitu luas tapi tak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional tersebab pengalih fungsian lahan, akibatnya rakyat menjerit dan para petani hanya bisa menangis.

Oleh karenanya, masalah pangan bukan hanya sekadar untuk memenuhi stok pangan, tetapi bagaimana negara hadir dalam menjaga ketahanan pangan dengan tujuan mensejahterahkan rakyat. Tapi malah sebaliknya rakyat selalu menjadi korban pada ambisi pemerintah. Jelaslah ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme, di mana negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator dan berpihak kepada oligarki kapitalis, regulasi yang diterapkan sekiranya hanya mengatur teknisnya saja, dan tidak menyelesaikan akar masalah. Paradigma sekuler kapitalis nyatanya sudah menjamur kesemua segi layaknya kanker yang terus menjangkiti organ tubuh tanpa henti.

Di sisi lain, negara hari ini hanya mengatur dan menyelesaikan persoalan pangan dari aspek teknisnya saja tanpa mengatur secara terstruktur permasalahan yang terjadi dilapangan. Yang lebih mirisnya, ketika harga pangan naik justru hanya memberikan solusi pragmatis, jadi ketika beras melambung tinggi, pemerintah malah menyuruh rakyatanya untuk mengurangi konsumsi beras dan menggantinya ke makanan lain, seperti jagung, sagu, talas,kentang, hingga sukun. Sangat miris bukan, ketika yang harus diperbaiki tata kelolanya tapi malah memberikan solusi fiktif dan sangat disayangkan lagi ketika negara tidak hadir membantu dan memfasilitasi petani untuk menghasilkan produk beras berkualitas.

Islam Memberi Solusi bukan Ilusi atau Janji 

Pada dasarnya, negara melaksanakan tangungg jawabnya kepada masyarakat, sebab tugas negara adalah pelayan bagi rakyatnya. Jadi penguasa sejatinya wajib memenuhi semua kebutuhan mereka. Hal ini menyasar pada hal yang sangat krusial yakni pangan. Sebab negara tidak boleh bergantung pada negara lain, dan harusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan dengan biaya produksi ringan serta memperoleh keuntungan yang besar.

Islam menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu basis pertahanan negara dan basis menyejahterakan rakyatnya. Karena sistem pertahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari pertahanan militernya. Namun, utama dari itu adalah bagaimana negara memiliki ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab ra. merupakan masa kejayaan didalam menerapkan sistem ketahanan pangan dengan berinovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Baik dari kawasan delta Sungai Eufrat dan Tigris serta daerah rawa sengaja disulap dengan dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. (Mnews,25-09-2024)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun