Oleh : Mona fatnia
Lagi dan lagi harga pangan tak terbendung, setiap tahun mengalami kenaikan yang tak masuk akal serta hanya menyebabkan ketimpangan pada masyarakat. Layaknya lingkaran setan yang tak habis-habisnya memakan korban, meski menyakitkan tapi tetap dijalankan. Bukan hal lazim lagi ketika kebutuhan rakyat dimonopli dengan alasan yang berulang-ulang. Melihat kasus ini dari tahun ke tahun tak pernah ada solusi yang benar dalam penyelesaianya, apalagi kasus ini paling banyak merugikan para petani selaku produsen beras. Di sisi lain, tingginya harga beras tak sebanding dengan pendapatan petani beras. Lalu peran pemerintah pada polemik ini untuk apa, ketika harga beras selalu naik tapi tak pernah teratasi sampai ke akarnya ?
Beras Naik : Kesalahan Yang berulang
Sekirannya setiap kali berganti tahun, pasti segala bahan pokok rumah tangga akan naik, terlebih harganya kian hari kian melejit. Tentu hal ini tidaklah gampang untuk diberesi apalagi ditangani secepat kilat melihat posisi aturan tak pernah jelas dalam menindak.
Pada data Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20% lebih mahal daripada harga di pasar global. Yang mengerikan lagi pada taraf kawasan ASEAN harga beras berada diatas. Ini pun bersambung dari apa yang disampaikan oleh Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk, ia menilai bahwa tinggiya harga ini terjadi karena beberapa hal, baik dari segi kebijakan pemerintah terkait impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif. Dimana kebijakan ini mendistorsi harga ini untuk menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian. (kompas, 20-09-2024)
Melihat kenaikan beras berulang kali, tentu menjadi tanda tanya besar yang hingga kini tak pernah dijawab oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan didalam mengatur harga beras. seperti kita ketahui bersama bahwa harga beras tak pernah kembali pada harga normalnya seperti sebelumnya. Hal ini didukung dengan data pada dua bulan lalu di tahun yang sama. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat komoditas beras kembali mengalami inflasi dan menyumbang pada inflasi inti di bulan juli 2024. Inflasi beras ini tercatat 0,9% dengan andil terhadap keseluruhan inflasi 0,04%. Artinya ini menandakan bahwa inflasi pada bulan tersebut terjadi di 25 provinsi. Ini menunjukkan bahwa inflasi beras tidak terbatas pada satu wilayah tetapi diberbagai wilayah di Indonesia. (detikfinance, 01-08-2024)
Harga beras yang tinggi nyatanya tak berbanding lurus dengan keuntungan yang didapatkan oleh para petani yang masih rendah, bukan untung yang didapat dari panen yang melimpah melainkan buntung pada hasilnya. Menginggat petani sendiri lebih banyak mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam proses penanaman, mulai dari pembibitan, perawatan hingga proses pemanenan yang sekiranya harus menunggu jangka waktu yang panjang.
Tentu ini menyasar pada bagaimana kesejahteraan para petani agar tak buntung, sebab pada dasarnya hal ini memiliki beberapa penyebab kenapa bisa pendapatan para petani masih sangat rendah, yang sekiranya sangat berbeda jauh dengan pendapatan pemerintah selaku penyedia beras lewat jalur impor.
Pertama, fakta dilapangan bahwa para petani selalu merana menanggung biaya produksi pertanian yang harganya terus naik, mulai dari pembelian bibit, pestisida, pupuk, dan hal-hal yang mendukung dalam proses penanaman. Melihat subsidi pupuk yang sudah berjalan nyatanya tidak cukup meringankan beban yang di keluarkan petani.
Kedua, masalah rantai distribusi dari produsen ke konsumen cukup panjang. Ini menyebabkan harga beras di tingkat konsumen akhir tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh,beras dijual ke tengkulak, dari tengkulak dijual ke distributor, lalu dijual lagi hingga sampai konsumen akhir dengan harga lebih tinggi. Maka ketiga agen ini ketiban untung, petani yang kena buntung sebagai tangan pertama produsen beras.
Ketiga, Harga beras tinggi karena biaya produksi tinggi. Hal ini disebabkan sektor pertanian sudah dikuasai oligarki dari hulu hingga hilir. Sementara negara tidak memberikan bantuan kepada petani, petani harus mandiri terlebih petani yang sedikit modal kecil. Di samping itu, ketersediaanya lahan pertanian bagi petani kian terbatas sehingga berpengaruh pada berkurangnya produksi gabah. Karena sebagian besar petani saat ini hanya mengelolah sawah dibawah 0.8 hektare, yang idealnya harus 2 hektare. Ini membuktikan bahwa kesejahteraan para petani tak ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan pun pada petani sendiri sekiranya hanya bergantung pada luas lahan yang dimiliki.