Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Qurban Lalat, Masuk Surga!

17 Juni 2024   07:39 Diperbarui: 17 Juni 2024   07:47 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemahaman fiqih Qurban mungkin sudah cukup banyak yang mengulas. Bahkan di setiap tahunnya, umat Islam akan mendapatkan penjelasan mengenai fiqih Qurban. Dari sejumlah media, baik cetak maupun elektronik, baik daring maupun luring, umat Islam dapat dengan mudah menyimak penjelasan mengenai fiqih Qurban, atau kaifiyah ibadah Qurban.  Buku yang ada di tangan pembaca ini, adalah salah satu ikhtiar untuk membangun literasi Syari'ah di kalangan umat Islam, dan juga non muslim, yang bermaksud memahami praktek ibadah qurban dalam perspektif Islam. 

Kendati demikian, hal uniknya, semakin sering kita menyimak penjelasan mengenai ibadah qurban, dan semakin dalam kita mempelajari fiqih yang satu ini, semakin terbuka nilai-nilai atau hikmah qurban bagi kehidupan sehari-hari kita. Setiap orang, dengan pengalaman hidup dan latar belakang keilmuannya sendiri, akan menemukan sisi-unik dan hikmah dari ibadah qurban.

Dalam konteks itu pulalah, diruang akhir narasi yang ada di tangan pembaca ini, izinkan untuk menyampaikan sekedar refleksi pelaksanaan ibadah qurban, baik kita pikirkan, amati maupun kita laksanakan.  Mengapa ini pentingnya ? penulis memandang bahwa pengalaman spiritual dan intelektual yang dialami seseorang, memiliki potensi sebagai pelajaran (ibrah) bagi orang lain. Pelajaran ini, baik digunakan sebaagi pembanding atau bahan refleksi terhadap amalan keagamaan yang dijalankan selama ini.

Sekali lagi, dibagian ini, kita tidak mengulas aspek fiqih ibadah qurban, melainkan refleksi terhadap praktek ibadah qurban yang ada di sekitar kita. Narasi ini lebih menekankan pada aspek psikologi-sosial dalam pelaksanaan ibadah qurban, sebagaimana yang dirasakan atau teramati di tengah-tengah masyarakat kita.

Untuk memudahkan memahami  narasi yang disampaikan, kita akan menggunakan dua aspek pokok dalam pelaksanaan ibadah qurban. Kedua aspek itu, yakni aspek kemampuan potensial, dan kemampuan actual. Maksud dari kemampuan potensial itu, yakni sumberdaya kekayaan, jabatan, posisi, atau keilmuan yang bisa mendukung pada kelancaran dan kemudahan pelaksanaan ibadah (qurban). Sedangkan, kemampuan actual, artinya adalah praktek atau amaliah. Dengan menyandingkan dua aspek ini, dapat ditemukan empat kategori pelaksanaan ibadah qurban.

Pertama, kita bisa menemukan ada mudhahi yang secara potensial kecil, tetapi memiliki kemampuan yang sangat besar, yakni bisa berkurban. Dilihat dari status sosial, misalnya sekedar rakyat biasa, gaji dan upah pun tak seberapa, tetapi dia mampu  menunaikan ibadah qurban. Teknik dan strategi yang mereka lakukan, adalah menyicil dari hari ke hari, atau dari minggu ke minggu, dengan maksud dan tujuan, untuk bisa berqurban di tahun yang akan datang.

Di media massa, kita mendapatkan informasi adanya kisah-kisah inspiratif dan heroik. Ada seorang pemulung yang bisa berkurban Sapi (Sahnun, 60 tahun, 2019), Aep seorang pemulung dari Bekasi, berkurban sapi. Iwan Lutfi dari Jakarta, berkurban kambing, kemudian ada ibu Yati dari Tebet Jakarta, berkurban 2 ekor kambing. Sudah tentu, contoh lain masih banyak lagi.  Mereka adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan secara ekonomi, namun memiliki strategi-hidup yang mulia. Belajar dari mereka, perjuangan untuk mengumpulkan modal, dan kesungguhan (jihad) melawan hawa nafsu dan keserakahan, tampak jelas dan terasa. Bisa jadi, itulah contoh dari praktek qurban yang mulia. Usaha keras dan perjuangannya untuk ibadah, akan menjadi nilai spiritualitas mulia dihadapan Allah Swt.

Kedua, ada kelompok mudhahi yang secara potensial kecil, dan hanya mampu menunjukkan bentuk-bentuk pengorbanan yang kecil pula. Andai pun berqurban, lebih memilih kambing atau domba, atau lebih kecil dari itu adalah sekedar menyumbang tenaga dalam kepanitiaan ibadah qurban. Ada Riwayat yang menjelaskan bahwa, disaat para sahabat menyembelih kambing, domba, sapi atau unta, Billal bin Rabah (Ibn Rusyd, 2007:902), seorang  budak yang dimerdekakan Abu Bakar Ash-Shiddiq di zaman Rasulullah Muhammad Saw, lebih suka menyembelih ayam jantan. Spiritualitas Billal bin Rabah, termasuk pada level mulia-sosial. Billal lebih mengutamakan keikhlasan, dibandingkan dengan 'demonstrasi' sosial. Bilal mampu menunjukkan praktek ibadah sesuai dengan kemampuan (Qs. 23:62, 7:42). 

Kelompok ketiga, yaitu seseorang yang secara potensial memiliki kemampuan yang besar, namun kemampuan qurban aktualnya sangat kecil. Gradasinya bisa sangat luas. Orang pada kelompok ini, bisa jadi berstatus sebagai pengusaha, milyarder, pejabat negara, atau elit agama. Namun dalam prakteknya,  hanya menunjukkan qurban yang sekedar syari'at dan atau malah ada pula, belum mampu menunjukkan ketulusannya untuk berqurban.

Rasulullah Muhammad Saw bersabda, "Barang siapa memiliki kemampuan dan tidak mau berkurban, maka hendaknya dia tidak mendekati tempat shalat kami." (Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, r.a).

Terakhir, adalah kelompok yang secara potensial memiliki kemampuan yang sangat besar, dan mampu menunjukkan praktek qurban yang sangat besar.  Untuk kelompok yang satu ini, bisa jadi, orang menganggapnya wajar, tetapi pada sisi lain, bisa pula dianggap sebagai sebuah konsekuensi logis dari rasa syukur terhadap kekayaan yang dimilikinya.

Informasi sejarah yang kita terima, mengenai model qurban Rasulullah Muhammad Saw. Dalam beberapa hadis, Rasulullah Muhammad Saw pun, sempat berqurban hanya seekor kiabas atau 2 ekor kibas. Namu, saat pelaksanaan ibadah haji wada, Rasulullah Muhammad Saw melaksanakan ibadah qurban dengan menyembelih 100 ekor unta, 63 ekor diantaranya disembelih oleh tangannya sendiri, sedangkan sisanya dilaksanakan oleh Ali bin Abu Thalib, k.w. Sikap Rasulullah Muhammad Saw, berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang pada kelompok ketiga. 

Inspirasi dari Rasulullah ini, yakni besaran pengorbanan dan usaha dalam berqurban akan menjadi pembeda dari spiritualitas seseorang. Orang yang menyembelih sapi sebagai hewan qurban, dari tumpukkan kekayaannya yang dimilikinya, bisa jadi nilai qurbannya, akan berbeda dengan seorang pemulung yang berqurban kambing.

Bila dikaitkan dengan motivasinya, setidaknya ada tiga tahapan ibadah qurban. Pertama, ada ibadah qurban syar'i, yakni praktek qurban yang lebih mementingkan kepatuhan pada hukum atau syarat. Praktek ini cenderung lebih mengurbankan materi, dibandingkan aspek-aspek lainnya. Pada kelompok ini cukup banyak, mulai dari kelas bawah hingga kelas atas, yang berkurban, dengan motivasi sekedar melepas sebagian kekayaannya semata. Level ini, dapat disebutnya berkurban syar'i atau kurban awam.

Pada level kedua, praktek ibadah qurban dengan tujuan membunuh hawa nafsu. Inilah yang sering disebutnya berkurban sebagai praktek membunuh nafsu kebinatangan, yakni nafsu serakah, egois dan atau tamak. Praktek ibadah qurban ini, dapat disebut ibadah kurban khusus. Orientasinya adalah membunuh keegoisan dan mengedepankan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, atau kedermawanan. Sayangnya, pada level ini pun, masih ada kelemahan, yakni ancaman citra sosial yang terbangun dibangun secara sadar, yakni berhasrat menjadi pribadi yang soleh dan dermawan.

Pada level puncak, qurban orang mukhlish, atau khususul khusus, yakni mengorbankan jiwa keduniaan dan kemanusiaan, dan hanya mengharap ridha Allah Swt. Dalam konteks ini, perilaku para Shahabat, seperti Umar bin Khaththab r.a, yang menyumbangkan setengah kekayaannya, kemudian Utsman bin Affan, r.a., yang menyumbang sepertiga kekayaannya, dengan taksiran mencapai angka 2.4 Trilyun sekarang, adalah contoh ril praktek kurban atau shadaqah pada level puncak.

Tidak kalah heroik juga, keberanian Ali bin Abu Thalib, k.w. Awal mula kisah, Rasulullah diincar kafir Quraisy untuk dibunuh. Karena itu, Rasulullah  bermaksud melaksanakan hijrah ke Madinah. Untuk mengelabuhi pengintaian orang Kair Quraisy, Rasulullah berangkat malam hari, dan posisi tidurnya kemudian digantikan oleh Ali bin Abu Thalib k.w. Hingga saat orang kafir datang, dan mengepung rumah Rasulullah, serta membangunkannya sambil menghunus pedang dengan maksud membunuhnya, mereka kaget, ternyata yang tidur di tempat itu bukan Muhammad bin Abdullah, melainkan Ali bin Abu Thalib. Karena salah sasarannya, mereka tidak  jadi membunuhnya. Tetapi, nilai penting yang terkait kisah itu, kerelaan Ali bin Abu Thalib menjadi pengganti Rasul, dengan resiko terbunuh, adalah puncak spiritual agung dari Ali bin Abu Thalib, k.w.

Sudah tentu, kisah inspiratif utama dalam ibadah Qurban, kisah Ismail As dengan sang Ayah, Nabi Ibrahim As, adalah teladan yang tidak terlupakan dalam praktek ibadah Qurban ini. Qurban mereka, adalah qurban ketulusan, ketaatan, kepatuhan, dan pancaran ketauhidan yang agung.  

Pada level khususul khusus ini, mudhahi telah berubah baju menjadi seorang syuhada, yang siap mengurbankan apapun yang ada, hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Qurban pada level ini, sudah tidak lagi memikirkan syari'at atau status sosial dan kekayaan, melainkan sudah sampai pada level ketauhidan.

Untuk menutup wacana ini, dapat kita renungkan kisah 2 orang muslim yang masuk surga dan masuk neraka gara-gara kurban seekor lalat. Menurut  Thariq bin Syihab menuturkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula." Para sahabat bertanya, "Bagaimana hal itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban.

Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, 'persembahkanlah kurban kepadanya.' Dia menjawab, 'Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya.' Merekapun berkata kepadanya lagi, 'Persembahkan, sekalipun seekor lalat.' Lalu, orang itu mempersembahkan seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk neraka karenanya.

Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain, 'Persembahkanlah kurban kepadanya.' Dia menjawab, 'Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah." Kemudian mereka memenggal lehernya, (dan meninggal). Karenanya, orang ini masuk surga." Hadist Riwayat Imam Ahmad.

Menurut para ulama, hadis ini ingin menegaskan mengenai pentingnya menjaga amalan hati, sehingga tidak terjebak pada kesirikan. Kesirikan dalam ibadah qurban itu, bisa disebabkan hawa nafsu ingin disebut dermawan, gengsi sosial, gengsi jabatan, dan atau dianggap peduli dan peka terhadap lingkungan. Jika dorongan itu lebih kuat, dibandingkan dorongan keikhlasann (lillahi ta'ala), maka dikhawatirkan bisa terjebak pada jurang neraka. 

Jika dengan ibadah qurban bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka itulah berkah. Namun, jika dengan ibadah qurban, malah menyebabkan kita jauh dari Allah Swt, akibat syirik, atau gengsi dan status sosial, maka praktek itu akan menjadi musibah bagi dirinya. Naudzubillahi min dzalik !

-----

*diunggah ulang dari buku Fiqh Qurban, Ustadz Solehuddin, M.Ag., dan Dr. H. Asep Encu, M.Pd.  dan Momon Sudarma. 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun