Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tulisan Pornografi, Tanda Minimnya Sastra Berkualitas?

4 Juni 2024   05:02 Diperbarui: 4 Juni 2024   05:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai dalam perbincangan di media sosial. Agenda pemerintah yang sehat, yakni pentingnya literasi sastra bagi generasi muda kita, diwarnai dengan dugaan ada susupan kepentingan yang memasukkan tulisan atau karya sastra yang dipersepsinya memuat narasi yang dianggap kurang tepat muncul di buku sastra yang menjadi bahan ajar sekolahan. Tema bacaan yang kurang tepat itu, yakni bacaan yang mengandung pornografi, kecabulan dan pedofelia (menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan seksual).

Menyimak perdebatan itu, ingatan kita dikembalikan pada Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) di tahun 1957. Pada waktu, OPI sudah melakukan diskusi akademik dan berkelas, dengan mengkhususkan membahas tema mengenai buku/majalah cabul. Diskusi saat itu terjadi antara Sutan Takdir Alisyahbana sebagai pembicara utama, kemudian ada tanggapan dari Hamka dan Gayus Siagian. Naskah perdebatan itulah, yang kemudian dipublikasikan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Jakarta.

Apa yang menarik dari perdebatan itu?

Pertama, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan Hamka sepakat, bahwa hadirnya buku atau majalah cabul, merupakan indikasi adanya krisis etika atau moral. Kehadiran buku tersebut, menjadi satu indikasi kecil atau cabang dari adanya krisis moralitas di tengah-tengah masyarakat kita.

Kedua, mungkin bukan sebuah kebetulan. Baik STA maupun Hamka, saat menyebut bahwa kehadiran buku/majalan/film cabul sebagai bagian dari ranting atau cabang krisis moral, hal itu digenapkan dengan hadirnya gejala lain yang setara dan atau semakna dengan narasi-narasi kekerasan seksual, atau masalah seksual.

Sekali lagi, dalam waktu yang bersamaan, ketika netizen mengkritik masuknya sastra ke dalam kurikulum pendidikan yang kecolongan dengan tulisan cabul, di daerah lain di negeri kita, sebagian dari warga memprotes dibukanya klub malam yang 'diduga' potensila menjadi fasilitas kegiatan pornoaksi.

Kemudian uniknya lagi, di media sosial, ramai pula baik itu syair dalam lagu, atau cerita pendek yang dibagikan medsos, memuat kisah mengenai perselingkuhan, pornoaksi dan sejenisnya. 

Pertanyannya, jangan-jangan benar pendapat dari Hamka dan STA bahwa hadirnya buku/majalah cabul hanyalah ranting atau cabang dari krisis etika. Karena ranting lain yang menggenapkan pohon krisis moralitas itu, dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk lainnya. Oleh karena itu, saat STA merasa ragu pengaruh bacaan terhadap perilaku, karena belum ada riset tentang hal ini, maka menurut Hamka, realitas yang ada hari ini, baik itu terkait dengan pemerkosaan, aborsi, kekerasan fisik yang dilatari rebutan pacar,  fenomena pelakor, PIL/WIL (pria idaman lain/wanita idaman lain) sesungguhnya merupakan data penggenap tentang krisis moral ini.

Terakhir, khususnya dalam konteks narasi kita hari ini, di sini, terkesan ada semacam krisis karya sastra. Sebagaimana yang juga diduga oleh STA dan Hamka, bahwa munculnya buku/majalah cabul itu, mengindikasikan minimnya karya sastra yang menarik yang mampu mengisi jiwa pemuda kita. 

Sebagai sasterawan kita harus mengakui, bahwa sebagian daripada berkuasanja karangan  jang tjabul itu adalah kegagalan kita memberi batjaan jang tjukup menarik, jang sesungguhnja berdjalin dengan kehidupan masjarakat kita dan teristimewa dapat rnendjiwai pemuda kita (Sutan Takdir Alisyahbana, 1957)

Artinya, sekedar bertanya saja, pada saat penyusun bahan ajar sastra yang kini didebatkan netizen itu menyajikan wacana cabul, apakah hal itu menunjukkan bahwa di negeri kita, kekurangan karya sastra yang berkualitas dan bermartabat ? apakah, hal itu menggambarkan penyusunnya kurang 'piknik' mengenai karya sastra yang berkualitas ? atau memang ada motif lain dalam menyajikan narasi serupa itu ?!

Memang betul. Sangat subjektif untuk menjelaskan mengenai kecabulan sebuah tulisan. Bagi Hamka sendiri, buku klasik mengenai seksologi, seperti buku Asmaragama sebagai suatu buku dari keagamaan Hindu yang dipandang suci, Hikayat-hikayat Melayu Lama dan Jawa Lama, bahkan dalam pelajaran Jawa Kuno di S.M.A., terdapat kalimat yang terang-terangan cabul. Waktu itu, bacaan itu bisa diterima oleh masyarakat. 

Terkait hal ini, meminjam kembali pandangan Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa untuk mengukur kecabulan itu, bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sisi itikad dari si penulis, dan itikad si pembacanya. Dengan kata lain, kecabulan objektif terjadi, manakala penulis dan pembaca mendapat kesan dan pesan yang sama terkait dengan isi dan pesan dalam karya tulis itu. Sedangkan, bila salah satunya, tidak ada itikad ke arah kecabulan, maka hal itu, akan terjebak pada persepsi yang subjektif. Niat si penulisnya, untuk menjelaskan mengenai proses pelahiran bayi, namun bila kemudian di pembacanya melihat teks itu dari pikiran cabul, maka gambar dan tulisan bidan yang membantu proses pelahiran bayi, potensial ditafsirkan cabul !  

Sebagai penutup, saya ingat ucapan seorang teman bahwa bacaan itu mirip makanan. Sehatnya nalar kita, akan dipengaruhi oleh asupan (ide atau bacaan) yang masuk dalam otak atau pikiran kita. Oleh karena itu, Pemerintah khususnya pembuat bahan ajar yang akan dibaca oleh peserta didik kita, hendaknya memiliki naluri menulis yang bertanggungjawab untuk masa depan generasi yang sehat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun