Memang betul. Sangat subjektif untuk menjelaskan mengenai kecabulan sebuah tulisan. Bagi Hamka sendiri, buku klasik mengenai seksologi, seperti buku Asmaragama sebagai suatu buku dari keagamaan Hindu yang dipandang suci, Hikayat-hikayat Melayu Lama dan Jawa Lama, bahkan dalam pelajaran Jawa Kuno di S.M.A., terdapat kalimat yang terang-terangan cabul. Waktu itu, bacaan itu bisa diterima oleh masyarakat.Â
Terkait hal ini, meminjam kembali pandangan Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa untuk mengukur kecabulan itu, bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sisi itikad dari si penulis, dan itikad si pembacanya. Dengan kata lain, kecabulan objektif terjadi, manakala penulis dan pembaca mendapat kesan dan pesan yang sama terkait dengan isi dan pesan dalam karya tulis itu. Sedangkan, bila salah satunya, tidak ada itikad ke arah kecabulan, maka hal itu, akan terjebak pada persepsi yang subjektif. Niat si penulisnya, untuk menjelaskan mengenai proses pelahiran bayi, namun bila kemudian di pembacanya melihat teks itu dari pikiran cabul, maka gambar dan tulisan bidan yang membantu proses pelahiran bayi, potensial ditafsirkan cabul ! Â
Sebagai penutup, saya ingat ucapan seorang teman bahwa bacaan itu mirip makanan. Sehatnya nalar kita, akan dipengaruhi oleh asupan (ide atau bacaan) yang masuk dalam otak atau pikiran kita. Oleh karena itu, Pemerintah khususnya pembuat bahan ajar yang akan dibaca oleh peserta didik kita, hendaknya memiliki naluri menulis yang bertanggungjawab untuk masa depan generasi yang sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H