Menarik. Menggugah, Menggairahkan. Itulah setidaknya, saat membincangkan viralnya atau kontroversinya film Vina. Â Sebelum kita menyaksikan, atau menikmati pesona film tersebut pun, setidaknya, pemirsa sudah disajikan pesona tontonan yang sangat mengugah kepenasaran banyak kalangan untuk menyaksikannya.
Apa persoalan, atau nilai dasar yang disajikan dari film tersebut? Apakah karena disandarkan pada sebuah kisah nyata, sehingga, film itu menarik untuk angkat-ulang ke layar lebar, dan kemudian dijadikan sinemati?Â
Pertama, tentunya, film adalah film. Film adalah karya citra. Realitas kejadian yang diubah menjadi sebuah karya sinematik, akan menjadi sebuah citra sinematik. Realitas sinematik sejatinya bukanlah realitas-faktual yang terjadi. Realitas sinematik, adalah sebuah rekayasa hasil interpretasi penyusun skenario terhadap fakta, yang kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga memiliki daya tarik sinematik, yang bisa dijadikan tontonan.
Kedua, tarikan hasrat pencarian keadilan. Dengan hadirnya film Vina ini, kegairahan untuk mencari keadilan menggeliat kembali. Publik secara masif bertanya dan mempertanyakan keseriusan penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan yang menyebabkan kematian Vina. Kasus yang sudah berlalu hampir 7-8 tahunan lamanya ini, dirasakan belum menunjukkan hasil yang maksimal dan mencerminkan keadilan yang nyata kepada semua pihak.Â
Kendati demikian, apakah film ini, kemudian bisa dijadikan novum baru dalam penanganan kasus ini? Â Atau dijadikan sebagai salah satu barang bukti di depan hukum?Â
Sulit untuk bisa dipertanggungjawabkan. Film adalah film. Film adalah produk rekayasa intelektual produsernya, dan melahirkan realitas citra. Namun demikian, jelas dan tegas, bahwa  kontroversi hukum menjadi daya tarik penting dalam film ini.Â
Melalui kasus ini, stigma keadilan menguatkan kembali (a) tidak ada keadilan, tanpa viral, (b) tidak ada keseriusan tanpa dikomentari netizen, dan (c) penegakkan hukum hanya menguat bila ada desakan netizen. Semua itu akan menjadi kenyataan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, walaupun kebenaran bukan miliki netizen, tetapi netizen seakan pemilik suara kebenaran.
Ketiga, menjadikan kekerasan sebagai tontonan. Film Vina menyajikan kekerasan fisik. Latar kisah, Vina dan Eki (pasar Vina) sebelum tewas dibunuh secara sadis sempat berkeliling bersama rekan klub motor ke sekitar Kota Cirebon. Di tengah perjalanan bertemu dengan kelompok gang motor lainnya. Vina, Eki beserta teman yang lainnya tancap gas dengan maksud untuk melarikan diri. Namun geng motor itu mengejar dan menendang motor yang saat itu dikemudikan oleh Eki. Vina dan Eki dipukuli hingga mengalami luka parah. Bahkan, Vina sebelum meninggal dunia juga diperkosa oleh para pelaku yang dilakukan secara bergantian.
Dari kejadian itu, tampak nuansa kekerasan fisik yang sangat kental. Kekerasan fisik adalah bentuk horor. Uniknya, sampai hari ini, horor dan kekerasan adalah tontonan yang masih memiliki daya tarik bagi masyarakat kita. Bahkan, untuk masyarakat kita hari ini, belum lama sebelum ini, film Badarawuhi pun menjadi viral di tengah-tengah masyarakat kita.Â
Badarawuhi dan Vina adalah karya sinematik yang memiliki pesona kuat dalam penyajikan kekerasan yang sempurna atau disebut postkriminal. Badarawuhi menyajikan nuansa horor, dan film Vina pun menyajikan horor-fisik dari gang motor.Â
Keduanya sama-sama, memiliki kategori penyajikan kekerasan atau horor (psikologis emosional dan kekerasan fisik) yang tersajikan dengan sempurna. Di sebut kekerasan sempurna, karena pelaku kejahatan kekerasan dalam dua film itu, menjadi hantu, tidak jelas, dan diketahui pelaku utamanya, bahkan bisa jadi, andai saja tidak ada film ini, pencarian kebenaran dan keadilan itu sudah dianggap selesai. Pelaku kekerasannya masih tetap hantu, menjadi misteri bagi penontonnya sendiri.
Terakhir, kendati dalam film tersebut tidak tersajikan secara terbuka, namun imajinasi penonton terkait dengan kekerasan seksual jalanan menjadi sekuel khusus dalam film Vina. Â
Informasi dan peristiwa faktual yang menimpa Vina, baik menurut berita maupun cerita, termasuk juga narasi yang tersajikan dalam film ini, tindakan kekerasan yang dialami Vina itu meliputi kekerasan fisik, psikologis, dan mungkin juga emosi-kompetisi antar remaja terkait dengan perempuan, pun dibumbui dengan pemerkosaan.
Pesona tontonannya adalah kejahatan seksual, dengan warna kekerasan fisik, dialami oleh anak dibawah usia. Pelakunya adalah gerombolan 'hantu masyarakat' yang sampai kini belum diketahui adanya. Akumulasi dari citra yang tersajikan inilah, menjadikan pesona film ini mengguncang perhatian masyarakat kita saat ini.
Simpul pemikirannya, apa daya tarik film ini ? film sebagai sebuah karya sinematis, memiliki kemampuan membangun citra-baru, atau realitas citra yang tidak selamanya memiliki rujukan realitas-faktual.Â
Pada awalnya, realitas faktual dijadikan rujukan atau inspirasi pembuatan film, tetapi realitas film tetaplah citra yang dikemas menggunakan teknologi. Karena ada kemasan teknologi inilah, maka sajian ini memiliki daya tarik sebagai sebuah tontonan. Tontonan sempurna yang tersajikannya, meliputi kegamangan hukum, kekerasan fisik, pemerkosaan, dan keindahan citra sebagai sebuah tontonan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H