Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Wajib, Pendidikan Hak Asasi, Kuliah Itu Tersier: Problem Analisis

20 Mei 2024   03:16 Diperbarui: 20 Mei 2024   22:21 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : bergelora.com

Di sini bukan perbedaan sudut pandang. Bukan. Tidak ada masalah dengan sudut pandang. Hal yang membedakan itu, pada tingkat analisis dalam memahami dunia pendidikan.

Disinilah, kita akan berbeda cara dalam menjelaskan posisi atau kedudukan jenjang pendidikan. Soalannya, kerap kali kita terjebak dengan pandangan popular, yang kemudian dihadapkan dengan pandangan kritis, sehingga seakan-akan penyebutan kuliah sebagai kebutuhan tersier atau program tersier menjadi sesuatu yang bermasalah.

Pada kesempatan ini, kita akan melihat wacana publik, yang sejatinya menunjukkan problem analisis, dan bukan problem substansi.  

Kontroversi terkait dengan narasi kuliah sebagai kebutuhan tersier. Terkait hal ini, tentunya, orang bisa mengajukan pertanyaan, "memangnya, kuliah itu wajib ?" jawabannya, tentunya, adalah "tidak wajib". Sebab, kalau wajib, maka orang yang tidak kuliah akan diposisikan sebagai tindakan yang melawan hukum, atau melanggar ketentuan. Bila tidak demikian, pewajiban kuliah akan memberi dampak pada adanya kewajiban bagi Pemerintah untuk memfasilitasi lancarnya pelaksanaan kewajiban warga negara tersebut. Di sinilah, problemanya.

Lha, kalau kuliah dijadikan kebutuhan tersier, berarti masalah kuliah itu, menjadi sekedar alternatifnya, atau pilihan saja, dan tidak semua orang perlu kuliah ? jawabannya, tentunya, "ya". Kuliah adalah sebuah pilihan, setidaknya bagi orang yang mampu, baik secara intelektual maupun finansial.

Bila demikian adanya, maka, bisa jadi, kualitas sumberdaya manusia Indonesia akan tertinggal dong, akibat lemahnya angka partisipasi belajar peserta didik ?

Di sinilah problema lanjutan bangsa Indonesia. Sejatinya, pewajiban belajar bagi bangsa Indonesia, sampai detik ini, baru sampai usia 12 tahun, atau setara dengan SMA/SMK/MA. Baru pada level ini. Di level inilah, pendidikan berada pada posisi primer, dan hak-hak pendidikan warga negara di jamin oleh negara. Sementara di luar jenjang itu, atau lebih dari usia belajar itu, maka praktek belajar di lembaga pendidikan menjadi kewajiban individu atau kewajiban warga negara itu sendiri. 

Selaras dengan hal inilah, maka adalah wajar, bila kemudian, biaya pendidikan di lembaga pendidikan tinggi ini, kemudian melejit dan melonjak sebagaimana yang terjadi hal ini. Andai saja, program wajib belajar di Indonesia sudah pada 17 tahun (wajib belajar 17 tahun), kelihatannya, biaya pendidikan di perguruan tinggi akan gratis, atau murah tapi tetap berkualitas.

Sekali lagi, dalam kaitan ini, dapat disimpulkan ada dua ranah pembicaraan yang berbeda mengenai status belajar di perguruan tinggi tersebut. 

Pertama, dilihat dari kewajiban negara, program belajar di negara ini, masih pada level 12 tahun, atau setara pendidikan menengah. Di level inilah, pendidikan berada di posisi sebagai kebutuhan primer, mendasar, dan fondasi bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia hari ini, dan masa depan.

Tentu saja, program serupa ini, masih jauh dari harapan. Kemerataan program wajib belajar 12 tahun belum dirasakan oleh semua pihak, dan kemudahannya pun (termasuk pendidikan gratis berkualitas pun) belum menyentuh pada titik sempurna di lapangannya. Karena, sejumlah lembaga pendidikan dasar dan menengah (terlebih lagi lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat) masih tetap berbiaya tinggi. Imbasnya sangat jelas, warga negara tidak mampu, akan berhadapan dengan situsi dan posisi "rawan melanjutkan pendidikan"  atau "rawan melanjutkan kuliah".

Kedua, perlu adanya pemilahan pemikiran, antara kuliah dengan pendidikan. Pendidikan adalah hak warga negara yang dijamin oleh negara. Penjaminan negara, hingga tulisan ini disampaikan, dan seingat penulis, baru berada pada posisi wajib belajar 12 tahun. Itulah yang disebut dengan hak-asasi warga negara dalam aspek pendidikan. 

Faktualnya, Indonesia sebagaimana yang kita saksikan dan bisa nalar bersama, masih menarasikan wajib belajar itu 12 tahun. Inilah hak asasi warga negara yang dijamin dengara.  Narasi ini, kelihatannya masih tetap berjalan seperti ini, dan bahkan, masih harus terus mendapat penyempurnaan, karena dilapangan, implementasi dan pemerataannya belum tampak sempurna. Dengan kebijakan serupa ini, maka kebutuhan warga negara di sisi lain, khususnya dalam konteks kuliah (paska pendidikan dasar dan menengah), masih tetap menjadi kewajiban individu warga negara itu sendiri.

Dengan memahami pemetaan konseptual ini, setidaknya, diskusi mengenai kebutuhan dasar pendidikan, kewajiban dasar pendidikan, serta kewajiban belajar, tidak menjadi simpangsiur menjadi sebuah wacana yang abu-abu.

O, iya, penafsiran ini, bisa jadi keliru. Penafsiran ini, bukanlah penafsiran dari buku-putih negara. Penafsiran ini, lebih merupakan sebuah konstruksi pemikiran untuk membedakan makna primer, dan tersier dari sisi kebutuhan, diselaraskan dengan kebijakan dan dan kewajiban warga negada dalam meraih pendidikan. Sekedar itu saja !

Usulan pemikirannya. Sejatinya, dengan wacana serupa ini, untuk menjadikan Indonesia maju di masa depan, dan mengejar ketertinggalannya, sejatinya, pendidikan sampai perkuliahan, hendaknya dapat dijadikan sebagai kebutuhan primer, dan menjadi prioritas negara. Anggaran negara dan orientasi pembangunan, hendaknya pada posisi ini. Jadikan, pendidikan 17 tahun sebagai pendidikan wajib belajar Indonesia saat ini !!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun