Di sini bukan perbedaan sudut pandang. Bukan. Tidak ada masalah dengan sudut pandang. Hal yang membedakan itu, pada tingkat analisis dalam memahami dunia pendidikan.
Disinilah, kita akan berbeda cara dalam menjelaskan posisi atau kedudukan jenjang pendidikan. Soalannya, kerap kali kita terjebak dengan pandangan popular, yang kemudian dihadapkan dengan pandangan kritis, sehingga seakan-akan penyebutan kuliah sebagai kebutuhan tersier atau program tersier menjadi sesuatu yang bermasalah.
Pada kesempatan ini, kita akan melihat wacana publik, yang sejatinya menunjukkan problem analisis, dan bukan problem substansi. Â
Kontroversi terkait dengan narasi kuliah sebagai kebutuhan tersier. Terkait hal ini, tentunya, orang bisa mengajukan pertanyaan, "memangnya, kuliah itu wajib ?" jawabannya, tentunya, adalah "tidak wajib". Sebab, kalau wajib, maka orang yang tidak kuliah akan diposisikan sebagai tindakan yang melawan hukum, atau melanggar ketentuan. Bila tidak demikian, pewajiban kuliah akan memberi dampak pada adanya kewajiban bagi Pemerintah untuk memfasilitasi lancarnya pelaksanaan kewajiban warga negara tersebut. Di sinilah, problemanya.
Lha, kalau kuliah dijadikan kebutuhan tersier, berarti masalah kuliah itu, menjadi sekedar alternatifnya, atau pilihan saja, dan tidak semua orang perlu kuliah ? jawabannya, tentunya, "ya". Kuliah adalah sebuah pilihan, setidaknya bagi orang yang mampu, baik secara intelektual maupun finansial.
Bila demikian adanya, maka, bisa jadi, kualitas sumberdaya manusia Indonesia akan tertinggal dong, akibat lemahnya angka partisipasi belajar peserta didik ?
Di sinilah problema lanjutan bangsa Indonesia. Sejatinya, pewajiban belajar bagi bangsa Indonesia, sampai detik ini, baru sampai usia 12 tahun, atau setara dengan SMA/SMK/MA. Baru pada level ini. Di level inilah, pendidikan berada pada posisi primer, dan hak-hak pendidikan warga negara di jamin oleh negara. Sementara di luar jenjang itu, atau lebih dari usia belajar itu, maka praktek belajar di lembaga pendidikan menjadi kewajiban individu atau kewajiban warga negara itu sendiri.Â
Selaras dengan hal inilah, maka adalah wajar, bila kemudian, biaya pendidikan di lembaga pendidikan tinggi ini, kemudian melejit dan melonjak sebagaimana yang terjadi hal ini. Andai saja, program wajib belajar di Indonesia sudah pada 17 tahun (wajib belajar 17 tahun), kelihatannya, biaya pendidikan di perguruan tinggi akan gratis, atau murah tapi tetap berkualitas.
Sekali lagi, dalam kaitan ini, dapat disimpulkan ada dua ranah pembicaraan yang berbeda mengenai status belajar di perguruan tinggi tersebut.Â
Pertama, dilihat dari kewajiban negara, program belajar di negara ini, masih pada level 12 tahun, atau setara pendidikan menengah. Di level inilah, pendidikan berada di posisi sebagai kebutuhan primer, mendasar, dan fondasi bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia hari ini, dan masa depan.