Kita perlu untuk sampaikan mengenai panggung peristiwa  itu, supaya tidak salah paham. Kita perlu menjelaskan hal ini, supaya pembaca tidak banyak menduga-duga mengenai latar belakang kejadian saat itu. Karena itu, maka ada baiknya untuk kembali ke lokasi panggung kejadian. Karena di lokasi itulah, ada kisah yang perlu dicatat. Ada segment yang "dibuang, sayang". Sayang, bila sekedar menjadi ingatan sekelompok orang, dan tidak menjadi ingatan dalam memori kolektif masyarakat kita.
Kita sebut panggung kejadian, dengan makna panggung sandiwara, yang benar-benar sebuah sandiwara. Sandiwara  kehidupan, dengan para pelaku yang memainkan lakon masing-masing.
Peran kami dalam lakon ini adalah tamu. Kami yakin, bahwa kami bukan tamu tak diundang. Tetapi tamu dengan sebuah perjanjian. Kami hadir bertamu ke lokasi kemah pendidikan, dengan berbekal sebuah perjanjian dengan kontrak pembiayaan yang disepakati bersama. Itulah posisi kami. Sebagai tamu, dengan perangkat personil, acara dan juga peserta yang kami miliki.
Pelakon kedua adalah pemilik tempat. Ya, pemilik tempat. Tempat yang kami jadikan tempat pendidikan ini adalah lokasi miliki sebuah institusi, dengan kewenangan penuh dalam menjaga keamanan dan keterbitan wilayah ini. Â Sebut saja, tempat pendidikan calon prajurit di Indonesia. Rasanya tidak usah menyebut nama instansi ini dengan baik, karena hal itu tidak signifikan untuk dibicarakan. Substansi yang paling pokoknya, yaitu pemilik kekuasaan itu adalah pemilik tunggal yang menjadi mitra pendidikan dengan kelompok kami.
Lokasi kemah Pendidikan, berada di Kawasan prajurit. Lokasi Pendidikan calon pembela bangsa dan negara. Di lokasi inilah, kami melakukan kemitraan dalam penyelenggaraan  kemah Pendidikan. Iya, di tempat seperti ini.
Kejadian itu terjadi pada hari kedua pendidikan. Sebenarnya mereka, sebagai pemilik wilayah sudah hadir sedari buta juga. Semenjak shalat shubuh mereka sudah mendampingi ragam acara yang kami lakukan saat itu. Itulah protap (prosedur dan ketatapan) yang kami miliki dan sepakati. Sehingga sampai pada sekitar pukul 08.00 WIB, mereka hadir berjaga-jaga di setiap titik kegiatan.
Dalam prosesi kegiatan pagi itu, ketahanan fisik peserta pendidikan sudah mulai menurun. Mudah dipahami dan natural, karena proses pendidikan sudah berjalan satu hari. Oleh karena itu, kelelahan, kecapaian, atau kekurangan tidur sudah mereka rasakan. Bahkan, keadaan dan kondisi itu pula, yang kami rasakan bersama, sebagai panitia kegiatan. Tetapi, uniknya, saat mereka ditanya, Â mereka masih berani berucap "senang dan bahagia.." itulah suara lantang yang terlontar dari lisan.
Menyimak dan mencermati lontaran lisan itu, bagi kami, memiliki makna yang beragam. Kami mengartikan, lontaran itu adalah lontasan sikap yang jujur dan terbuka. Tetapi, dalam sisi lain, bisa jadi, lontaran itu adalah lontasan normal sebagai peserta Pendidikan kemah. Mereka, dimanapun dan dalam konteks apapun, kerap dipaksa untuk membangun sugesti secara emosional kepada dirinya sendiri, "senang, dan Bahagia !!!".
Sementara, bagi sebagian lagi yang bermental buruk, sudah minggir dari arena acara. Saya sendiri sempat bertanya, "mengapa duduk-duduk di sini..?" tanyaku terhadap sekumpul peserta didik yang beristirahat di sebuah gazebo. Â Dengan nada yang hampir sama dan berbarengan, mereka menjawab pendek, "sakit Pak.." mendengar jawaban serupa itu, kami tidak memaksa dan membiarkan mereka untuk beristirahat dengan didampingi oleh seorang mentor, akan kakak tingkatnya. Kami menyadari itulah, standar pelayanan kami yang biasa kami lakukan, dalam menjaga kelangsungan proses pendidikan di sekolah kami, atau lebih tepatnya proses Pendidikan karakter di Lembaga Pendidikan kami selama ini.
Fisik memang tidak bisa dibohongi. Mungkin itulah hukum alam yang bisa kita pahami bersama. Rasanya-rasanya, kalau tidak salah lihat, tinggal beberapa kelompok saja yang tersisa, tidak lebih dari 2 atau 3 kelompok atau sekitar 60 orangan lebih, tersisa. Â Di saat serupa itu, kemudian terdengar ada peluit mendenging dan berulang berbunyi.
"cepat.....cepat...... langsung saja, selesaikan !" ungkap seorang prajurit. Perintah itu, terjadi secara serentak, selepas ada dua orang peserta didik yang terkulai lemas di sebuah titik posko pendidikan.
Di pos halang rintang, yang dikendalikan oleh anak-anak pramuka, tampak ada dua orang anak yang terkulai lemas dan duduk, dan kemudian disangga oleh petugas Palang Merah Remaja (PMR). Kemudian, tidak beberapa lama, sejumlah prajurit kesehatan datang, dan membopong peserta didik itu menuju klinik kesehatan.
Di luar kejadian itu, sejumlah prajurit lain, dengan sigap menyuruh peserta didik lainnya untuk menghentikan kegiatan, dan langsung masuk ke pos terakhir. "Cepat, langsung ke pos terakhir saja, berjalan saja, tidak usah ada kegiatan lain...!"
Mendengar peluit yang berbunyi berulang-ulang, dan teriakan sejumlah prajurit lapangan, anak-anak yang lain berlarian. Situasi hampir-hampir saya tidak bisa memahaminya, dan tidak mengerti dengan keadaan serupa itu.
Di lapangan. Panik. Gaduh. Banyak anggota panitia, baik panitia dari guru dan siswa saling bertanya, bahkan saling menatap wajah, penuh ketidakmengertian.
Saya yang berada di lapangan, dikecamukkan oleh sebuah pertanyaan besar, "apa yang terjadi, dan mengapa harus dihentikan sebelah pihak, bukankah kami adalah panitia kegiatan ?" itulah pertanyaan dasar, yang ada dalam benak dan nurani ini. Bukankah kami adalah pemilik kegiatan ini ? walaupun benar, kami adalah bertamu di sini, tetapi kami adalah pemilik kegiatan dan kewenangan kami untuk menghentikan atau melanjutkan kegiatan ini. Tetapi mengapa hal ini terjadi serupa itu ?
Kecamukan itu, sulit tenang kembali, karena tidak ada yang bisa menjawabnya, kecuali para pelaku yang harus menerangkannya. Mereka harus menjelaskan alasan dan maksud dari keputusan yang dilakukannya tersebut !
Langkah kaki, yang tengah berjalan di tengah lapang ini, kemudian dipercepat untuk menghampiri sang pemilik komando yang ada di tengah lapang. Maksud hati untuk mendapat kejelasan dan penjelasan, yang terjadi malah sebaliknya.
"kalau Anda tidak setuju, datang saja ke atasan kami, di sana, silahkan !" jawabnya dengan nada yang cukup keras. Maksud hati ingin mendapat jawaban, yang muncul malah sebuah kebingungan yang berkelanjutan.
Namun demikian, pikirku tidak ada salahnya untuk menemui pejabat yang lebih tinggi lagi. Untuk kali yang kesekiannya, maksud hati untuk mendapatkan kejelasan dan penjelasan, namun apa daya tangan tak sampai.
Diiringi oleh beberapa orang dibelakangku, kemudian berjalan dengan maksud untuk menuju kantor yang ditunjukkan sang pembentak awal tadi. Namun, di tengah perjalanan, dan benar-benar di tengah jalan, sudah hadir seseorang yang saya sendiri tidak tahu jabatannya.
"bagaimana tanggungjawab Anda, anak banyak yang pingsan dan sakit. Mana prosedur detil dari rundown acara yang kamu miliki. Kenapa begini?" Â bentaknya, saya ingin sebut bentak, karena nadanya cukup keras dengan emosi, bahasa yang kurang-berkenan dengan apa yang sedang terjadi saat itu.
Kami yang hadir belum banyak bicara. Saya pun tidak banyak bicara. Hanya beberapa patah kata yang terpotong di tengah pembicaraan. "Kami, juga panitia, berharap........" ungkapku, yang kemudian dibentak lagi oleh sang pemilik wilayah itu.
"kamu ngeyel, tidak setuju dengan pandangan saya. Gimana kalau ada masalah dengan anak yang sakit, kamu tanggungjawab !" ungkapnya lagi. Mendengar itu, untuk sejenak gak hening, kemudian saya mengambil inisiasi untuk memecahkan kebuntuan itu.
"saya tanggungjawab..." ungkapku pendek, yang kemudian lahir sebuah perintah dari sang pemilik wilayah.
 "silahkan, kalau kamu tanggungjawab, bawa dia ke rumah sakit.. " titahnya.
Demi keselamatan anak, kemudian kami perintahkan, beberapa guru paniti untuk mengikuti perjalanan ambulan menuju sebuah puskesmas yang membawa seorang peserta yang pingsan. Kebetulan, panitia pun memiliki kendaraan operasional, sehingga proses pengawalan anak ke rumah sakit bisa dilakukan dan dikawal secara optimal.
Selepas itu, Sang Komandan memerintahkan untuk memanggil pos halang rintang yang digawangi pramuka  untuk dimintai keterangan. "panggil dia, jangan pergi, sini kamu..!" titahnya lagi.
Kami yang hadir, banyak diam. Bahkan, saya pun, mendapat sentuhan jari dari rekan dekat memberikan sebuah kode untuk bersikap pasif. Karena itulah, kami pun, diam dan lebih banyak mendengar siraman ruhani, eh..... mungkin lebih tepatnya siraman emosi dari seorang pemilik wilayah.
Diam. Dan lebih banyak diam. Itulah sikap yang kami banyak ambil. Andaipun menjawab pertanyaan, hanya satu keputusannya, mengiyakan apa yang dipandang benar menurut versinya, sang Komandan. Titah yang paling nyata dari Sang Komandan kepada tim Pramuka adalah jelas. "hentikan !"
Karena itu pula, maka acara di siang itu pun, dihentikan sesaat, menunggu reda dan pulihnya situasi emosi di level penguasa wilayah !!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI