Di pos halang rintang, yang dikendalikan oleh anak-anak pramuka, tampak ada dua orang anak yang terkulai lemas dan duduk, dan kemudian disangga oleh petugas Palang Merah Remaja (PMR). Kemudian, tidak beberapa lama, sejumlah prajurit kesehatan datang, dan membopong peserta didik itu menuju klinik kesehatan.
Di luar kejadian itu, sejumlah prajurit lain, dengan sigap menyuruh peserta didik lainnya untuk menghentikan kegiatan, dan langsung masuk ke pos terakhir. "Cepat, langsung ke pos terakhir saja, berjalan saja, tidak usah ada kegiatan lain...!"
Mendengar peluit yang berbunyi berulang-ulang, dan teriakan sejumlah prajurit lapangan, anak-anak yang lain berlarian. Situasi hampir-hampir saya tidak bisa memahaminya, dan tidak mengerti dengan keadaan serupa itu.
Di lapangan. Panik. Gaduh. Banyak anggota panitia, baik panitia dari guru dan siswa saling bertanya, bahkan saling menatap wajah, penuh ketidakmengertian.
Saya yang berada di lapangan, dikecamukkan oleh sebuah pertanyaan besar, "apa yang terjadi, dan mengapa harus dihentikan sebelah pihak, bukankah kami adalah panitia kegiatan ?" itulah pertanyaan dasar, yang ada dalam benak dan nurani ini. Bukankah kami adalah pemilik kegiatan ini ? walaupun benar, kami adalah bertamu di sini, tetapi kami adalah pemilik kegiatan dan kewenangan kami untuk menghentikan atau melanjutkan kegiatan ini. Tetapi mengapa hal ini terjadi serupa itu ?
Kecamukan itu, sulit tenang kembali, karena tidak ada yang bisa menjawabnya, kecuali para pelaku yang harus menerangkannya. Mereka harus menjelaskan alasan dan maksud dari keputusan yang dilakukannya tersebut !
Langkah kaki, yang tengah berjalan di tengah lapang ini, kemudian dipercepat untuk menghampiri sang pemilik komando yang ada di tengah lapang. Maksud hati untuk mendapat kejelasan dan penjelasan, yang terjadi malah sebaliknya.
"kalau Anda tidak setuju, datang saja ke atasan kami, di sana, silahkan !" jawabnya dengan nada yang cukup keras. Maksud hati ingin mendapat jawaban, yang muncul malah sebuah kebingungan yang berkelanjutan.
Namun demikian, pikirku tidak ada salahnya untuk menemui pejabat yang lebih tinggi lagi. Untuk kali yang kesekiannya, maksud hati untuk mendapatkan kejelasan dan penjelasan, namun apa daya tangan tak sampai.
Diiringi oleh beberapa orang dibelakangku, kemudian berjalan dengan maksud untuk menuju kantor yang ditunjukkan sang pembentak awal tadi. Namun, di tengah perjalanan, dan benar-benar di tengah jalan, sudah hadir seseorang yang saya sendiri tidak tahu jabatannya.
"bagaimana tanggungjawab Anda, anak banyak yang pingsan dan sakit. Mana prosedur detil dari rundown acara yang kamu miliki. Kenapa begini?" Â bentaknya, saya ingin sebut bentak, karena nadanya cukup keras dengan emosi, bahasa yang kurang-berkenan dengan apa yang sedang terjadi saat itu.