Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Memancing, Parlemen Jalanan

27 April 2024   06:03 Diperbarui: 27 April 2024   06:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang bertanya-tanya, apa yang terjadi setelah putusan MK dalam masalah perselisihan hasil pemilihan umum ? apakah drama politik, yang dilakukan elit politik itu, akan berlanjut secara natural atau karikatural ? sebuah pertanyaan yang 'nyelekit' (mendalam), dan sekaligus kritis terhadap kelakukan elit politik di negeri kita ini.

Kita semua tahu, paham, dan menyaksikan bersama. Ide dan gagasan dari tiga paslon dalam pilpres itu berbeda. Andaipun tidak disebut kontras, tetapi jelas-jelas berbeda.  Setidaknya, visi dari ketiga kelompok itu adalah perubahan (01), melanjutkan (2) dan percepatan serta perbaikan (03). Kira-kira demikianlah, penyederhanaan visi dari ketiga kelompok itu. 

Tentunya, ketiga karakter visi kepresidenan itu, memiliki landasan pemikiran yang kuat, terkait situasi kondisi keindonesiaan, dan sekaligus juga kebutuhan masa depannya.  Karena ada kesadaran itulah, maka dukungan masyarakat pun, termasuk dukungan akademisi dan kaum intelektual terbelah menjadi tiga kelompok tadi. Kesadaran kolektif dari para kandidat itulah, yang kemudian mengkristal dari program, dan menjadi bagian kritis dalam debat-debat capres/cawapres.

Pertanyaan kita sekarang ini, apakah ketiga kelompok ini, dikemudian hari bisa bersatu, disatukan dan menjadi bagian penting dari penguasa yang akan datang ?

Pertama, strategi akomodasi. Dalam konteks antropologi politik, memang ada yang disebut pendekatan akomodatif dan akulturatif. Pendekatan ini dikenal sebagai kemampuan kedua belah pihak untuk saling menerima karakter dari pihak lain, dengan melahirkan sebuah gagasan baru, karakter baru, atau budaya baru. Untuk bisa mencapai derajat ini, tentunya harus hadir kesediaan untuk memiliki hati dan pikiran terbuka dalam menerima unsur luar masuk ke dalam dirinya.

Persoalannya, akankah, drama politik paska MK ini, menunjukkan bahwa kritik, ide dan gagasan dari kompetitor pilpres selama masa kampanye pilpres kemarin itu, kemudian diterima kebenarannya, dan kemudian diambil sebagian untuk dijadikan bagian strategi pengawalan pembangunan bangsa Indonesia ke depan ?  

semoga saja demikian adanya !

Kedua, hal yang mengerikan, adalah manakala, drama politik paska putusan MK ini, adalah drama kooptasi kelompok oposan oleh kekuasaan untuk menjaga kekuatan kaki-kaki kekuasaan di masa depan.

Publik sudah pernah mendengar, "selama saya jadi oposisi, banyak bisnis saya ini macet atau tidak berkembang....". Atau, ada juga yang berucap, "setelah berbeda jalan dengan kekuasaan, sejumlah projek dan bisnisnya mulai terganggu...". Andai saja, alam bawah sadar elit politik ini sampai ke aras ini, dan kemudian menjadikannya sebagai sebuah hantu di masa depan, maka drama politik paska putusan MK, tampaknya lebih merupakan sebuah indikasi kooptatif daripada akomodatif atau akulturatif.

Adalah hal yang sudah mudah dilihat, dan rakyat sudah sangat-sangat cerdas. Elit partai, terlebih lagi elit partai yang tidak lolos parlementary threshold maka mereka akan segera mencari gantungan-politiknya kepada kekuasaan. Minimalnya, gantungan-politik pribadinya, dengan harapan (mungkin) di lima tahun yang akan datang bisa menghidupkan kembali partai politiknya yang diusungnya selama ini. Mungkin demikian. Tetapi, gejala inilah yang kemudian tampak pada perilaku sebagian elit politik kita saat ini.

Ada satu kekhawatiran yang perlu diwaspadai oleh kalangan elit politik.  Media, netizen, dan kaum intelektual kali ini, khususnya selama pilpres sudah ada keberanian untuk menyuarakan nurani-politik-kebenaran. Setidaknya kebenaran yang mereka yakini kebenarannya secara rasional. Indikatornya tampak dengan keberanian kampus dalam menyuarakan nilai-nilai demokrasi dan kesediaan sejumlah orang dan pihak untuk menjadi sahabat pengadilan (Amicus Curiae) dalam perselisihan hasil pemilihan umum. Bila kemudian, seluruh partai politik menjadi bagian dari kekuasaan, dan tidak ada yang mengambil posisi sebagai penyeimbang kekuasaan dan penguasa, maka bukan hal mustahil selain (1) musnahnya kepercayaan kepada partai politik kritis, tetapi juga (2) kelompok terakhir tadi itu, akan menjadi (bagian) parlemen jalanan dengan suara-suara kritis yang digaungkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun