Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marbot Masjid, Pensiunan atawa Mahasiswa

15 April 2024   04:23 Diperbarui: 15 April 2024   05:16 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, bagaimana cara supaya kuliah bisa sukses, dan hemat biaya?" salah seorang siswa mengajukan pertanyaan itu, di sela-sela pembinaan kepada lulusan tahun 2024.  Dia kelihatannya serius banget, mengajukan pertanyaan itu. 

"Memangnya, mau kuliah di jurusan apa, dan dimana ?" tanya gurunya, dihadapan forum tersebut. 

Dia menanyakan hal itu, sekedar meyakinkan diri, terhadap pertanyaan tersebut. Sebab, sebenarnya, dia sudah tahu mengenai latar belakang kemampuan intelektual anak dimaksud, dan juga pilihan jurusannya, serta kondisi ekonomi orangtuanya. Data tersebut, diberikan sehari sebelumnya dari tim BP/BK.

Mendengar pertanyaan itu, kemudian sang anak menyebutkan jurusan dan perguruan tinggi tujuannya. Tak ayal lagi, dengan mendengar minat, dan targetnya itu, sudah tentu harus ada persiapan mental, intelektual dan juga finansial. 

Melihat  latar belakang ekonomi keluarga yang dimilikinya, maka adalah wajar, bila kemudian dia akan secara ngotot mengajukan pertanyaan itu, dan mencari tahu bagaimana caranya, bisa kuliah tapi hemat biaya.

Pilihan terpahit dan terbaiknya, yaitu kuliah dan ngontrak kamar (ngekost). Itu adalah pilihan terbaik dan terpahitnya. Masalahnya, adalah biaya untuk ngekostnya itulah, yang dia pikir sebagai sesuatu yang berat. Karena, orangtuanya, selain harus memikirkan masalah biaya hidup, biaya kuliah dan juga biaya ngekost. Triple cost, akan terasa berat bagi orangtuanya.

Menyimak keluhan itu, saya teringat pada dua orang atau bahkan lebih dari dua orang. Mereka-mereka itu, saya tahu, kecerdasannya tidak istimewa. Rata-rata atau diatas rata-rata dibanding dengan teman sekelasnya, cuma yakin tidak genius-genius amat. Orang-0rang tersebut, kini sudah menjadi dosen bahkan guru besar di fakultas Ilmu sosial dan ilmu pendidikan di kampus ternama di Kota Bandung ini.

Subhanallah, luar biasa. Mereka bisa memanfaatkan situasi, kondisi dan lingkungannya sebagai sumber belajar, dan sumber kehidupan. Tentunya, mereka itu menggunakan modal kemampuan diri yang dibawa di kampung, yang kemudian dijadikan modal hidup di kota. Apa yang mereka lakukan ?

Jadi marbot masjid Masjid Kampus !

Tugas mereka apa ? secara umum, mengelola dan mengurusi masjid. Kegiatan hariannya, bila tidak salah ingat, sekitar ada3 orang petugas, semuanya berstatus mahasiswa, memiliki tugas sebagai muadzin, bilal dan juga operator elektronik di dalam masjid. Sementara petugas kebersihan masjid, di pegang oleh pegawai kampus yang berbeda lagi. 

Tugas tiga orang rekan kita ini, yang berstatus sebagai mahasiswa  ini, yang pokoknya yaitu sebagai tukang iqamat, azan, atau operator elektronik di ruangan masjid. Tidak lebih dari itu. Karena diposisikan sebagai petugas masjid, mereka mendapat sekedar makan harian dari DKM Kampus tersebut.

Apa kelebihannya ? satu sisi dekat dengan manajemen kampus, mudah untuk mengakses sejumlah beasiswa pendidikan, memiliki tempat tinggal yang cukup, dan mendapat biaya hidup kendati tidak melimpah, dengan akses sumber belajar akademik (perpustakaan dan lain sebagainya), serta lingkungan yang kental dengan kampus. Karena kelebihan lingkungannya itulah, dua orang diantaranya, yang saya tahu, mereka kini sudah jadi guru besar kampus tersebut !

Itulah fenomena pertama, mengenai marbot di masjid. Marbot masjid yang diisi oleh mahasiswa itu, tidak hanya masjid kampus. Masjid kampus kerap kali jadi sumber kompetisi yang tinggi bagi mahasiswa kampus, tetapi mereka yang gagal bersaing di masjid kampus, tetap berusaha mencari dan menemukan tempat persinggahan di masjid-masjid masyarakat di sekitar kampus tersebut. Mereka itu bertebaran. Jumlahnya tidak sedikit.

Mengapa hal itu bisa terjadi juga ? karena memang, pada umumnya, marbot masjid itu, umumnya adalah orang pensiunan. Sangat  jarang, marbot masjid di isi oleh pemuda bugar, masih muda usia. 

Kelompok terakhir ini, banyak yang mengisi kegiatannya di tempat kerja. Sedangkan marbot masjid, bila tidak mahasiswa, maka di isi oleh pensiunan, atau yang sudah tidak bisa kuasa kerja-kerja berat lagi. Karena itu, sangat wajar bila masjid di sekitar kampus, masyarakat kerap memanfaatkan mahasiswa untuk mengisi masjid-masjid tersebut.

Sehubungan hal ini, pertanyaan pokok dari diskusi ini adalah "perlukan meningkatkan kemakmuran marbot masjid?". Jawabannya, sudah tentu, HARUS. 

Untuk menjadi masjid yang makmur, pengurusnya juga harus nyaman bekerja. Bahkan, Dr. Imam Ad Daruqutni, Sekjen Dewan Masjid Indonesia, yang menjadi salah satu narasumber workshop tersebut juga menyampaikan potensi keberadaan masjid. 

"Masjid sebagai unsur yang sangat penting dalam masyarakat Islam, sesungguhnya mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sehingga dapat memberikan manfaat yang  lebih banyak dan luas", ucap Imam. 

Selain fungsinya sebagai tempat ibadah ritual, masjid  dapat menjadi pusat persemakmuran masyarakat (Community Centre) karena ia menjadi tempat  berkumpul para jamaah dari  berbagai komunitas yang berasal dari  beragam  suku, bahasa, adat, maupun tingkatan strata ekonomi. 

Lebih dalam lagi, masjid juga  dapat berfungsi sebagai agen perubahan (agent of change) dalam meningkat kesejahteraan jamaahnya sehingga terjadi integrasi antara jamaah untuk memakmurkan masjid.

Masjid Jogokaryan Jogjakarta, adalah contoh fenomenal yang bisa mengelola dana masjid untuk kepentingan umat. Pengelolanya pun, tampak bahagia mengelola dan nyaman bekerja !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun