Sehubungan hal ini, sangat mudah dipahami bila kemudian para pengkhutbah mengatakan bahwa tujuan dari praktek ibadah shaum Ramadhan itu adalah untuk membenguk pribadi yang unggul secara teologi (muttaqin). Narasi ini, secara tidak langsung memberikan penguatan makna kepada kita semua mengenai fungsi derita dalam membangun karakter.
Dalam al-Qur’an ada firman Allah Swt yang mengandung makna bahwa “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 155-157).
Kemudian dalam konteks yang serupa, Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, besarnya pahala bersamaan dengan besarnya cobaan. Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang rela, maka baginya ridha-Nya, dan barang siapa yang benci, maka ia akan mendapatkan kebencian-Nya,” (HR. At Tirmidzi).
Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa andaipun kita mengartikan berpuasa adalah sebuah penderitaan (lapar, haus dan dahaga), namun dibalik itu semua memiliki makna untuk membangun karakter. Sakit memberikan fungsi dan makna penguatan karakter kepada si pelakunya !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H