Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ramadhan, Mahkamah Konstitusi dan Emosi

28 Maret 2024   05:30 Diperbarui: 28 Maret 2024   05:40 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di depan hukum (sumber : pribadi, bing.com)

Ramadhan sudah lebih dari setengah perjalanan. Ragam rasa membuncah, khususnya antara bahagia mendekati idul fitri, dan bahagia berhasil melampaui halang rintang selama ramadhan. Hiruk pikuk, atau lebih santunnya, dinamika ramadhan, sudah mulai dapat dikendalikan dengan baik.  Bagi kebanyakan orang, perjalanan ramadhan sampai di titik ini, sudah tidak lagi menjadi beban diri. Sejumlah kegiatan sudah dapat dilakukan kembali secara normal. Walau  tetap harus menjalani shaum Ramadhan, namun rutinitas kegiatan dapat dilakukan dengan lancar dan baik.

Sementara di luar masalah Ramadhan, khususnya dalam konteks kenegaraan, masyarakat sedang disuguhi drama politik yang masih belum jelas ujungnya. Ekor dari pesta politik lima tahunan kemarin, masih terus berlanjut, dan  kini tengah ada di meja persidangan,  di Mahkamah Konstitusi. Media menyebutnya sidang sengketa pemilu 2024.  Satu kubu melihat ada aspek kecurangan yang perlu diberi sanksi, dan satu kubu melihatnya, proses pemilu sudah berjalan dengan baik sesuai dengan koridor peraturan perundahan. Pokok soal itulah, yang menjadi fokus perhatian mereka. Mereka akan mendebatkan, keabsahan dari proses pemilu yang baru saja berjalan.

Lantas, bila kita membincangkan masalah politik tersebut, dengan dinamika Ramadhan, adakah irisan-spiritual yang dapat kita ajukan kepada masyarakat, khususnya masyarakat politik ? Apakah irisan moral Ramadhan ini, adalah sesuatu yang dipaksakan, atau sesuatu yang alamiah muncul di tengah masyarakat kita, seiring dengan perlunya pendewasaan kita dalam berpolitik. 

Entahlah, narasi ini diserahkan kepada pembaca sekalian ...

Untuk sekedar membantu pemahaman. Penulis memandang bahwa puasa (shaum) memiliki esensi moral yang menekankan aspek kemampuan pengendalian diri. Mengendalikan diri terhadap hal-hal yang kurang tepat, walaupun itu adalah halal. Artinya, makanan, minuman, kedekatan dengan pasangan, semua itu adalah halal (sah). Tetapi,  Ramadhan mengajarkan mengenai pentingnya pengendalian atau pengaturan diri, untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih universal.  Ramadhan menerapkan hukum berdasarkan waktu. Hal yang halal sekalipun, kalau belum waktunya, ya, ditangguhkan dulu. Inilah salah satu esensi ramadhan.

Apakah moralitas ini, dapat diterapkan dalam konteks politik ? 

Pesan moral lainnya, yang juga bisa dikedepankan di sini, yakni Ramadhan mengajarkan keberanian seseorang untuk mengambil keputusan sendiri. Di bulan suci Ramadhan ini, setiap orang memiliki ruang terbuka dan hak yang tegas, untuk mengambil keputusan sendiri, mau  menjalankan puasa atau tidak puasa. 

Dalam kaitan ini, pengambulan  keputusan untuk puasa atau tidak puasa, tentu dapat dilihat dari ragam sudut pandang. Dalam kesempatan ini, setidaknya ada tiga cara melihatnya, yaitu persyaratan formal dan juga emosional atau kriminal.

Sebagai contoh. Seorang ibu hamil, secara formil boleh tidak melaksanakan ibadah shaum ramadhan, dan diganti dengan bayar fidyah (sumbangan pangan kepada fakir miskin).  Tidak ada penjelasan rinci, usia kehamilan yang dijadikan batasan waktu untuk tidak puasa Ramadhan.  Artinya, ada peluang boleh tidak puasa sejak diketahuinya bahwa dirinya hamil, kendati masih ada pada usia kehamilan satu atau dua minggu.   Pandangan inilah yang disebut formal material, merujuk pada peraturan hukum puasa yang ada di tengah masyarakat.

Pandangan lain memberikan tanggapan, bahwa sepanjang ibu hamil itu bisa menjaga asupan gizi, dan tidak mengalami masalah kesehatan, maka  seorang ibu hamil boleh berpuasa pada trimester berapa pun. Malahan, puasa saat hamil diketahui bermanfaat untuk mencegah kenaikan berat badan berlebih dan menurunkan risiko Bumil mengalami diabetes gestasional. Sekali lagi dalam konteks ini, keberanian mengambil keputusan untuk kepentingan kesehatan, dan praktek keagamaan menjadi sangat penting. Pokok soalnya, adalah kejujuran terhadap diri,  dan memanfaatkan ruang-ruang peraturan yang ada.

Hal menariknya, Ramadhan pun mengajarkan proses pengambilan keputusan secara emosional, yakni berkaitan dengan persepsi subjektif pribadinya.  Bila pengalaman diri kerap mengalami masalah kesehatan, seperti mual, dan cenderung haus atau kekurangan nutrisi, maka Tanpa perlu memperhatikan rekomendasi dari dokter sekalipun,  merujuk keputusan sendiri pun, seseorang bisa mengambil keputusan untuk tidak puasa. 

Ada lelucon rekanan di sekitar rumah, yang  menggunakan pendekatan "nehnik", atau dapat juga disebut kriminal.  Bagi seseorang yang paham hukum, misalnya, perjalanan minimal 84 km, dapat dijadikan alasan untuk tidak puasa.  Di tambah lagi, katanya ada pendapat dari  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam 'Majmu Fatawa', bahwa  "Setiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syariat maka dikembalikan kepada 'urf (tradisi). Oleh karenanya, jarak yang dinilai oleh manusia bahwa hal itu adalah safar, maka itulah safar yang dimaksud oleh syari'at.". Bila demikian adanya, maka mudik ke kampung halaman, atau piknik ke satu tempat yang jauh dari rumah, dapat menjadi alasan untuk tidak puasa. 

Dengan alasan itulah, teman yang satu ini, rajin mudik ke luar wilayah, sekedar untuk menghindar dari kewajiban puasa. Atau, karena kerjanya di luar kota, maka dengan alasan itu jugalah, dia tidak pernah berpuasa. Inilah yang disebut 'nehnik'.

Secara aturan dibolehkan. Tetapi, jika motivasi dilandasi keinginan untuk 'memanfaatkan peluang hukum' untuk memenuhi kepuasan pribadi, maka itulah yang disebut nehnik, atau malah cenderung (maaf) kriminal, yakni lebih baik membayar fidyah kepada orang miskin, daripada harus berpuasa, maka persoalan nilai spiritualitas  (maaf, wallahu alam bishawwab), entahlah, bagaimana jadinya !!

Nah, sampai di sini, titik poin yang ingin disampaikan itu adalah bahwa perdebatan di Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya bisa saja, berusaha untuk 'menundukkan kepentingan diri, hawa nafsu diri dan kelompok dihadapan hukum', tetapi pada sisi lain, ada peluang juga untuk 'memanfaatkan celah hukum, untuk memuluskan kepentingan diri dan kelompoknya'. Ada yang mengatakan, motivasi kriminal, dapat hadir dalam masalah perdebatan hukum, yakni memanfaatkan bolong-bolong hukum untuk memuluskan kepentingan pribadi. 

Untuk menjawab masalah ini, maka kredibilitas, integritas dan motivasi merujuk pada acuan nilai mulia, akan menjadi bagian penting  dalam memperdebatkan  posisi diri di hadapan hukum, atau posisi hukum dalam kehidupan diri sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun