Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengejar Sejarah

2 Maret 2024   22:21 Diperbarui: 2 Maret 2024   22:45 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"bagaimana nih, kok ketinggalan zaman terus...?!", sebuah kata, yang disampaikan seorang sahabat, kepada temannya yang baru datang. Mendengar ocehan itu, dia hanya tersenyum. Tidak melakukan reaksi yang lebih, dan tidak pula  merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya.

"yang penting, nyampai.." ungkapnya jelas.

Pada saat budaya diam. Semua diam. Hanya yang bicara, yang dihargai orang. Orang yang pandai bicara disebut filosof, atau ulama. Di situlah, keunggulannya orang yang memiliki kemampuan retorika.

Tetapi zaman  berubah. Saat semua orang sudah bisa bicara. Maka Latihan berbicara yang anda lakukan, menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, tetapi tidak menjadi sebuah keunggulan di zamannya. Karena semua orang sudah bisa menjadi penulis. Orang yang menulislah, yang menjadi keunggulan.

Zaman itu. Lahirlah penulis-penulis luar biasa. Dia menulis sesuai hasil pemikirannya. Ada juga yang menulis hasil dari sebuah perjalanannya. Ada pula yang menulis, hasil dari sebuah perenungan. Bahkan, ada yang menulis dari sebuah imajinasi liarnya. Lahirlah budaya tetulisan yang mengisi peradabannya.

Pada era budaya tetulisan. Sepandai apapun orang, setinggi apapun gelar akademik. Apa yang dimilikinya menjadi tiada arti, bila kemudian tidak mewujud menjadi  karya ilmiahnya. 

Pada saat kau melatih kemampuan retorika saja, maka orang lain, akan mengatakannya padamu, "bagaimana nih, kok ketinggalan zaman terus...?!", kemudian, akankah kau masih sanggup mengatakan, "yang penting nyampai..". Diam sudah tidak lagi indah. Diam sudah bukan lagi, kini malah menjadi besi yang berkarat. Saat diam sudah berkarat, munculkan kemampuan menulis menjadi emas nan mengkilat.

Hari ini, zaman pun terus berubah. Bergulir tiada henti, dan bahkan sangat-sangat sulit untuk dihentikan. Tida ada kekuatan apapun yang bisa menghentikan. Bahkan untuk sekedar mengurangi kecepatannya pun, tiada yang mampu untuk melakukannya.

Akhirnya, semua orang belajar menulis. Menulis di media sosial, menulis di jurnal. Menulis di media massa. Apapun bisa dituliskan, dan dituliskan tema apapun. Hampir bisa dikatakan, tidak ada orang yang tidak memiliki kemampuan menulis. Setidaknya menulis kata-kata pendek dalam media sosial.

Aku pun demikian adanya. Sejumlah tulisan, baik opini, karya ilmiah, atau penelitian, dapatlah pula diwujudkan. Merasa punya makna. Karena sudah mampu menuangkan gagasan dalam bentuk sebuah tulisan.

Namun, sebagaimana yang dirasakan bersama.  Aku bisa menulis. Kamu bisa menulis. Mereka bisa menulis. Kita bisa menulis. Tetapi zaman sudah beralih ke budaya visual, budaya virtual. Di fase seperti ini, masih kau bisa membanggakan tetulisanmu saat itu ?

Pada saat kau melatih kemampuan menulis saja, maka orang lain, akan mengatakannya padamu, "bagaimana nih, kok ketinggalan zaman terus...?!", kemudian, akankah kau masih sanggup mengatakan, "yang penting nyampai..".  Budaya tetulisan mulai sekarat, dan wajahnya tampak usang.  Tulisan sudah menjadi batu nisan kuno di petilasan kematian, munculkan kemampuan virtual dan digital yang berjaya.

Sahabatku.

Hidup. Tidak sekedar nyampai. Kalau sekedar nyampai, manusia mati, hewan pun mati. Jadi apa bedanya manusia dan hewan ? hidup tidak sekedar nyampa kematian !

Kalau sekedar makan.  Aku makan. Kamu makan. Mereka pun, makan. Tapi aku makan tepat waktu, sementara kau makan, telat waktu, bahkan tak tentu waktu. Jadi apa bedanya aku dan kau ? hidup tidak sekedar nyampai bisa makan !

Kalau sekedar makan. Aku makan enak. Kau makan, enek. Jadi, apa bedanya makanan sehat dan makanan jahat, kalau sekedar makan ?

Kalau sekedar nyampai. Aku nyampai lebih dulu, dan sudah beristirahat. Kau baru datang, dan masih dalam kelelahan. Karena itu, apa nikmatnya hidup, kalau hanya sekedar, dan sekedarnya ?

Kemudian dia berusaha keras untuk mahir dalam kompetensi digital, dan juga virtual. Perjalanan Sejarah dunia saat itu,  demam virtual sudah mulai redup. Hoax, post-truth, hyperreality, dan superhiper  melanda penjuru dunia. Tidak ada batas, merah putih. Hanya ada abu-abu. Abu-abu moral. Abu-abu kekuasaan. Abu-abu kebahagiaan. Abu-abu kesejahteraan. Hingga, abu-abu kebanggaan dan kesuksesan. Mulai muncul  dan  hadir kefrustasian.

Manusia butuh sandaran Tunggal, sandaran agung, yang memberikan keyakinan dan ketegasan. Manusai butuh energi kokoh penguat keraguan, dan penghapus kehampaan.

Saat kau datang dengan penuh kebangaan, akan keagunga virtualisme, tetapi semua itu, sudah menjadi bayangan semata. "bagaimana nih, kok ketinggalan zaman terus...?!", kemudian, akankah kau masih sanggup mengatakan, "yang penting nyampai..".

Dua hal penting, yang ada pada orang yang hidup dengan sekedarnya. Satu sisi, tidak memiliki kemampuan membaca zaman. Setiap zaman ada karakternya, dan setiap karakter ada zamannya. Setiap zaman butuh teknologinya, dan setiap teknologi ada zamannya. Saat tidak mampu membaca zaman, yang akan terjadi ada ketertinggalan zaman. Pada sisi lain, orang yang hidup dengan sekedarnya, bukan saja memiliki kelemahan dalam mengeksplorasi kemampuan diri dalam menjawab tantangan zaman, tetapi gagal pula beradaptasi dengan perkembangan zaman. Inilah yang disebut dengan ketinggalan zaman, dan ditinggalkan zaman, sehingga di hadir di zaman baru, dengan karakter jadul.

"ah, yang penting bisa tetap hidup.." mendengar itu, cicak di dindingpun tetap merayap dan tersenyum, unta di padang pasir menyeringai, dengan riangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun