Pada saat kau melatih kemampuan menulis saja, maka orang lain, akan mengatakannya padamu, "bagaimana nih, kok ketinggalan zaman terus...?!", kemudian, akankah kau masih sanggup mengatakan, "yang penting nyampai..". Â Budaya tetulisan mulai sekarat, dan wajahnya tampak usang. Â Tulisan sudah menjadi batu nisan kuno di petilasan kematian, munculkan kemampuan virtual dan digital yang berjaya.
Sahabatku.
Hidup. Tidak sekedar nyampai. Kalau sekedar nyampai, manusia mati, hewan pun mati. Jadi apa bedanya manusia dan hewan ? hidup tidak sekedar nyampa kematian !
Kalau sekedar makan. Â Aku makan. Kamu makan. Mereka pun, makan. Tapi aku makan tepat waktu, sementara kau makan, telat waktu, bahkan tak tentu waktu. Jadi apa bedanya aku dan kau ? hidup tidak sekedar nyampai bisa makan !
Kalau sekedar makan. Aku makan enak. Kau makan, enek. Jadi, apa bedanya makanan sehat dan makanan jahat, kalau sekedar makan ?
Kalau sekedar nyampai. Aku nyampai lebih dulu, dan sudah beristirahat. Kau baru datang, dan masih dalam kelelahan. Karena itu, apa nikmatnya hidup, kalau hanya sekedar, dan sekedarnya ?
Kemudian dia berusaha keras untuk mahir dalam kompetensi digital, dan juga virtual. Perjalanan Sejarah dunia saat itu,  demam virtual sudah mulai redup. Hoax, post-truth, hyperreality, dan superhiper  melanda penjuru dunia. Tidak ada batas, merah putih. Hanya ada abu-abu. Abu-abu moral. Abu-abu kekuasaan. Abu-abu kebahagiaan. Abu-abu kesejahteraan. Hingga, abu-abu kebanggaan dan kesuksesan. Mulai muncul  dan  hadir kefrustasian.
Manusia butuh sandaran Tunggal, sandaran agung, yang memberikan keyakinan dan ketegasan. Manusai butuh energi kokoh penguat keraguan, dan penghapus kehampaan.
Saat kau datang dengan penuh kebangaan, akan keagunga virtualisme, tetapi semua itu, sudah menjadi bayangan semata. "bagaimana nih, kok ketinggalan zaman terus...?!", kemudian, akankah kau masih sanggup mengatakan, "yang penting nyampai..".
Dua hal penting, yang ada pada orang yang hidup dengan sekedarnya. Satu sisi, tidak memiliki kemampuan membaca zaman. Setiap zaman ada karakternya, dan setiap karakter ada zamannya. Setiap zaman butuh teknologinya, dan setiap teknologi ada zamannya. Saat tidak mampu membaca zaman, yang akan terjadi ada ketertinggalan zaman. Pada sisi lain, orang yang hidup dengan sekedarnya, bukan saja memiliki kelemahan dalam mengeksplorasi kemampuan diri dalam menjawab tantangan zaman, tetapi gagal pula beradaptasi dengan perkembangan zaman. Inilah yang disebut dengan ketinggalan zaman, dan ditinggalkan zaman, sehingga di hadir di zaman baru, dengan karakter jadul.
"ah, yang penting bisa tetap hidup.." mendengar itu, cicak di dindingpun tetap merayap dan tersenyum, unta di padang pasir menyeringai, dengan riangnya.